Prolog

1006 Words
"Sayang, aku mau menikah lagi," ucap Arfan suamiku. Pria yang sudah lima tahun menikahiku dengan penuh kasih sayang dan cinta. "Menikah? Kenapa harus menikah lagi, sayang?" tanyaku lembut berusaha bersikap santai dan berharap semua itu hanya gurauan saja. Dilihat dari wajahnya dia tampak serius mengatakan hal itu sehingga membuat hatiku mulai gundah gulana. "Mas, kamu bercanda? Jangan main-main, Mas," ucapku tak percaya. Aku tentu tidak siap jika harus di madu Mas Arfan. Selama ini aku sudah menjadi istri yang penurut pada Mas Arfan. "Tidak, sayang," ucap Mas Arfan. "aku memang berniat menikah lagi, izinkan aku menikah, ya." Permohonan Mas Arfan serius sekali bahkan dia sampai berlutut di depan aku yang sedang duduk di tepi ranjang. "aku janji akan adil padamu dan istri keduaku." Adil? Mana mungkin bisa adil? Mas Arfan benar-benar gila mau memaduku. Alasannya memang untuk kebaikan tapi apa harus perasaanku yang dia korbankan. "Beri aku waktu berfikir, Mas," kataku. Aku terus memikirkan permohonan Mas Arfan hingga kerja pun tak fokus dan makan pun tak enak. Aku terus termenung hingga lupa bahwa aku seorang istri. "Kinan, kamu dari tadi melamun saja," kata sahabatku-Erina. "Aku lagi pusing, Rin. Rasanya kepalaku mau pecah mengingat Mas Arfan memohon untuk menikah lagi." Aku dan Erina sudah seperti saudara. Kami biasa curhat jika ada masalah dalam rumah tangga kami. Erina tercengang melihat apa yang barusan aku katakan. Dia membelalakkan matanya. "Arfan mau menikah lagi? Siapa calonnya?" tanya Erina serius. "Entahlah, dia ingin punya istri yang solehah," jawabku. "Hah itu alasan Arfan saja, aku gak nyangka Arfan sama kaya pria lain yang suka berpoligami." Komentar Erina. "Jangan mau! Dia pasti tidak akan bisa adil." Ditambah ucapan Erina aku jadi semakin pusing. Bagaimana aku bisa menjalankan hidupku di tengah pikiran yang semrawut ini. Satu minggu kemudian Mas Arfan membawa seorang wanita yang memang menutut auratnya. Bahkan dari cara dia berbicara saja sangat lembut. "Sayang, perkenalkan dia Khasanah. Dia wanita yang akan menjadi madumu," kata Mas Arfan. Ya ampun! Mas Arfan serius dengan ucapannya. Bahkan sebelum aku menyutujui hubungan mereka, Mas Arfan sudah membawa wanita ini. "Mas, kamu yakin bisa adil?" tanyaku penuh intimidasi. "Iya, aku akan adil pada kalian berdua. Aku yakin Khasanah madu yang baik untukmu," jawab Mas Arfan yakin. Tiba-tiba ponsel Mas Arfan berdering, Mas Arfan keluar untuk mengangkat panggilan itu. Dia meninggalkan aku dengan wanita itu. "Apa alasanmu mau menjadi istri kedua Mas Arfan?" tanyaku datar. Dia tersenyum,"Maaf sebelumnya, Mbak. Saya melakukannya karena Mas Arfan bilang ingin belajar agama lebih dalam. Sebagai seorang muslimah yang faham agama saya tidak mungkin menolaknya. Jika saya bisa membantu Mas Arfan dan keluarga lebih baik, kenapa tidak saya lakukan," jawabnya panjang lebar. "Tapi apa yang kamu lakukan menyakiti hati wanita lain. Apa dalam ajaranmu menyakiti wanita lain diperbolehkan?" tanyaku sedikit menyudutkan dia. "Saya mengerti, namun saya yakin bisa menjadi madu yang baik untuk Mbak," jawabnya. Mas Arfan sudah kembali," Kinan, saya akan tetap menikahi Khasanah, tolong restui kami!" pinta Mas Arfan. "Mas, beri Mbak Kinan waktu. Kita tidak boleh memaksanya. Saya tidak akan menikah denganmu tanpa restu Mbak Kinan," kata Khasanah. Mulai hari itu Mas Arfan terus membujukku. Tidak hanya dia, Khasanah juga datang ke rumah dan berusaha mendekati aku. Entah mengapa aku melihat Khasanah sangat baik padaku dan putriku--Kiara. Bahkan Kiara sudah dekat dengan dia. Dia juga setiap sore datang ke rumah mengajari Kiara mengaji. Melihat kedekatan Kiara dan Khasanah aku merasa iri. Namun, disisi lain aku senang Kiara mulai bisa mengaji. Hingga suatu malam Mas Arfan meminta izin padaku lagi untuk menikahi Khasanah segera. "Kinan, aku harap kamu merestui hubunganku dengan Ana," kata Arfan. Ana adalah nama panggilan Khasanah. Aku masih terdiam, perasaanku mulai dilema. Haruskah aku berbagi suami? Berbagi kasih sayang suamiku? Akankah aku bisa? "Kinan, jawab sekarang. Aku tidak mau terjadi fitnah antara aku dan Ana, jadi aku ingin meresmikan hubunganku dengan dia," kata Mas Arfan. Diam-diam aku sudah menyuruh orang menyelidiki Khasanah. Ternyata dia anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Bapak dan ibunya sudah meninggal sejak Khasanah kelas lima SD. Entah mengapa aku tiba-tiba prihatin dengan keadaan dia yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. "Mas, apa keluarga kamu sudah tahu?" tanyaku. "Belum, aku akan memberitahu mereka setelah mendapatkan restu dari kamu, Kinan," jawab Arfan. "Baiklah, Mas. Aku restui kalian, tapi ingat kamu harus memperlakukan kita dengan adil," ucapku akhirnya mengalah. Dua hari kemudian Mas Arfan mengajak kita datang ke rumah orang tuanya. Dia akan meminta restu pada kedua orang tuanya. "Kinan, kamu yakin?" tanya Sofia--ibu mertuaku. "Jika Mas Arfan sendiri sudah yakin, saya tidak bisa berbuat apa-apa, Ma. Semoga Mas Arfan memenuhi janjinya untuk adil," jawabku. "Baiklah, jika keputusan kalian sudah bulat. Papa tidak bisa bicara apa-apa lagi. Namun, Arfan kamu harus adil dan minta restu juga pada orang tua Kinan," kata Siswo--papa Mas Arfan. Selang beberapa hari Mas Arfan mengajakku dan Khasanah ke rumah orang tuaku. Mereka terkejut saat Mas Arfan mengatakan niatnya menikah lagi. Papa marah padaku karena aku merestui Mas Arfan. "Kinan, kamu sudah gila. Kenapa kamu restui mereka? Kamu yakin Arfan akan adil?" tanya Papa marah. "Maaf, Pa." Hanya itu yang bisa aku katakan. Meskipun tidak mendapatkan restu dari orang tuaku, Mas Arfan tetap menikahi Ana. Mereka sudah merencanakan tanggal pernikahan. Aku hanya menjadi pendengar setia saat mereka membahas pernikahan di depanku. Banyak orang yang mengatakan aku bodoh karena mau dimadu. Bahkan orang tuaku sudah tidak mau ikut campur jika nanti Mas Arfan tidak berlaku adil padaku. Para tetangga, sanak saudara dan teman-teman kantorku menggunjingkan aku di belakang. "Kinan itu bodoh, dia cantik dan punya karir mau aja dimadu. Kalau aku mendingan minta cerai dari pada dimadu," kata salah satu teman kantorku. Saat itu aku sembunyi di belakang tembok. Aku menangis tanpa suara hanya air mata yang sudah luruh ke pipiku. Tidak kuat menahan tangis aku berlari ke kamar mandi. Ku tumpahkan air mataku di sana. Ku nyalakan kran air agar tidak ada yang mendengar tangisku. Dan hari dimana pernikahan suamiku sudah di depan mata. Mata ini menyaksikan suamiku yang mengucapkan ijab qobul untuk wanita lain. Air mata ini luruh seketika, aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD