Acuh Tak Acuh

937 Words
Kekecewaan yang aku rasakan membuatku mengacuhkan Mas Arfan. Aku benci hal seperti ini. Bukannya aku tak boleh dia tidur dengan Ana tapi mengapa di saat dia jadwal denganku malah meminta kepuasan pada Ana. "Kinan, bisa kita bicara," kata Mas Arfan malam itu. "Bicara saja, aku akan mendengarnya," ucapku sinis. "Maafkan aku. Aku tak bermaksud membuat kamu kecewa," kata Mas Arfan. "Apa kamu terlalu bernafsu semalam? Sampai tak kuat menahannya?" tanyaku tanpa rasa malu. Di kamar ini tidak ada Kiara jadi aku bebas membicarakan hal pribadi dengan Mas Arfan termasuk urusan ranjang. "Aku khilaf," kilahnya. "Khilaf? Akh tak yakin jika kamu khilaf, Mas. Apa tujuanmu pilogami hanya biar bisa dapat jatah ranjang tiap malam? Jika aku halangan kamu meminta Ana, tapi apa jika Ana halangan kamu juga akan memintaku? Egois kamu," ucapku sarkas. "Mentang-mentang punya istri dua jadi seenaknya saja," kataku. "Apa itu yag dinamakan adil?" tanyaku. "Aku sudah meminta maaf kenapa kamu masih menyalahkan aku?" tanya Arfan. "Bukan menyalahkan tapi kamu emang salah. Ternyata alasan kamu saja poligami agar bisa belajar agama," bantahku. Aku benar-benar sudah emosi padahal belum genap sebulan Mas Arfan berpoligami. Tapi dia sudah tidak bisa adil padaku. "Jangan salahku aku, Mas. Jika nanti aku pergi," kataku keluar dari kamar. Aku masuk ke kamar Kiara menemui gadis kecilku yang tertidur pulas. Ku dengar suara Ana dan Mas Arfan di ruang keluarga mereka menonton terlevisi. Aku melewati mereka jadi aku melihat kedekatan mereka. "Berhubung aku lagi halangan aku halalkan kamu tidur di kamar Ana, Mas. Aku bukan wanita egois," kataku. Ku kunci pintu kamarku agar Mas Arfan tak bisa masuk. Dari pada dia diam-diam memasuki kamar Ana lagi jadi aku bebaskan dia untuk tidur di kamar Ana selama aku halangan. *** Seminggu kemudian Halanganku sudah selesai jadi aku siap jika Mas Arfan meminta jatahnya. Hanya saja aku masih acuh tak acuh pada Mas Arfan. Rasa kecewaku belum juga sembuh. Sore itu aku menemani Kiara bermain di taman belakang. Sementara Ana terlihat sedang menyiram bunga. Mas Arfan yang baru pulang menghampiri kami. "Sayang, aku harus ke luar kota. Tidak apa kan kalian aku tinggal," kata Mas Arfan. "Kapan kamu berangkat?" tanyaku. "Malam ini, sayang," jawab Mas Arfan. Ya malam itu di saat aku sudah siap memberi nafkah batin pada Mas Arfan justru dia berangkat ke luar kota. "Jangan lupa hubungi aku ya, Mas," ucapku. Meskipun aku acuh padanya tapi melihat dia pergi aku merasa sedih. Malam ini lagi-lagi aku sendiri. Karena itu aku mengajak Aira tidur di kamarku. Pagi itu aku khawatir karena Mas Arfan belum memberiku kabar. Ku lihat ponsel juga tak ada panggilan darinya. Aku keluar kamar saat melewati kamar Ana aku berhenti. "Mas Arfan udah nelfon Mbak Kinan?" tanya Ana yang ternyata sedang menerima telfon dari Mas Arfan. Entah apa jawaban Mas Arfan tapi aku dengan Ana marah pada Mas Arfan. "Kamu kok gitu, Mas. Mbak Kinan itu istri pertama kamu dia pasti lebih mengkhawatirkan kamu. Kalau gak mau nelfon setidaknya kirim pesan," tegur Ana. "..." "Aku gak suka kalau kamu bedain aku sama Mbak Kinan, Mas," kata Ana lalu mematikan panggilannya. Aku segera ke dapur membantu Bibik menyiapkan sarapan. Ku lihat Ana menyusul. "Kenapa An, kok kayak lagi kesel?" tanyaku. "Oh gak, Mbak," jawab Ana. "Mas Arfan udah hubungi kamu belum? Soalnya gak ada hubungi aku," tanyaku. "I-iya, Mbak," jawab Ana sedikit takut. "Ternyata Mas Arfan lebih peduli sama kamu ya," kataku. "Ya udah ayo kita makan! Ngapain aku mikir Mas Arfan kalau yang dipikirkan Mas Arfan itu kamu," sindirku. Aku berusaha membuat Ana tidak betah di rumah ini. Agar dia meminta pindah, syukur-syukur dia malah minta cetai sama Mas Arfan. Ana hanya makan dalam diam sejak mendengar jawabanku tadi. Aku yakin dia pasti merasa bersalah. "Kalah gitu titip Mas Arfan, Na. Ternyata kamu lebih pandai menjaga suamiku dari pada aku," kataku pada Ana lalu mengajak Kiara berangkat. Sampai di kantor aku mengecek ponselku, ada pesan dari Mas Arfan memberitahukan bahwa sudah sampai dan bersiap untuk kerja. Aku enggan membalasnya. *** Dua hari kemudian Mas Arfan pulang dari dinasnya di luar kota. Ku lihat Ana tersenyum menyambut Mas Arfan. Berbeda denganku yanv masih acuh dan jutek. "Suami pulang kok malah acuh gitu, Nan," tegur Mas Arfan. "Bagaimana gak acuh, istri kedua di telfon terus tapi istri pertama hanya di kirim pesan," ucapku sinis lalu masuk ke dalam kamar. Mas Arfan menyusulku ke kamar," Kamu berubah, Nan. Kamu gak seperti Kinan yang dulu," kata Mas Arfan. "Apa kamu gak sadar yang buat aku kayak gini itu kamu, Mas. Kamu gak pernah adil sama aku dan Ana," bantahku. "Kalau kamu emang lebih butuh Ana dari pada aku mendingan aku pergi, Mas," sambungku. "Pergi...mau pergi kemana? Kamu makin lama makin berani membantah Kinan." Mas Arfan justru marah padaku. "Kamu sendiri gak sadar kan kalau kamu juga berubah sejak ku izinkan poligami," kataku. "Kinan..tolong jangan bikin aku pusing!" pinta Mas Arfan mencoba menahan amarahnya. Ku tatap wajah Mas Arfan, dia tak berani menatapku. "Jika kamu ingin poligami ini berjalan baik, kamu harus perbaiki diri," kataku. Aku hendak melangkah keluar kamar. Namun, tangan kekar Mas Arfan menarikku dengan kasar. "Kamu yang harus memperbaiki diri, contoh Ana dia lebih menurut pada suami. Selalu ada waktu buat suaminya bukan seperti kamu yang kerja dan kerja," bantah Mas Arfan. "Bukan itu sebenarnya masalahnya. Toh aku kerja juga tidak pernah meninggalkan kewajibanku sebagai seorang istri dan ibu. Masalahnya ada pada kamu, Mas. Hanya saja kamu egois untuk mengakuinya," ucapku. Plak Tangan itu tiba-tiba menampar pipi mulusku hingga terasa panas. Ku palingkan wajahku. Ini pertama kali Mas Arfan melakukanku dengan kasar. Aku keluar dari kamar dan meninggalkan rumah. "Kinan...mau kemana kamu!" teriakan Mas Arfan tak lagi aku dengarkan. Hatiku sudah terlanjur sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD