Bab 3 Dipermalukan

2241 Words
Tubuh Claris dibalik cepat dengan kasarnya oleh sebuah kekuatan yang menarik lengan kanannya. Kepalanya yang sudah pusing, dan mata sudah berkunang-kunang karena kelelahan hampir membuatnya jatuh terduduk ke lantai. Kejadian tiba-tiba itu, malah menubruk tubuh sang penarik tadi, membuat suara jeritan kembali terdengar. “DASAAAR!!! MENYEBALKAN!” Claris tidak sengaja menabrak tubuh wanita yang menariknya tadi, gaun yang kotor oleh tumpahan minuman di tubuh sang peneriak jadi semakin kotor, dan seragam pelayan Claris juga ikut-ikutan kotor. Wajah wanita di depan Claris, memerah seperti ingin meletus. Sebuah tamparan keras mengenai pipi Claris. “Apa kau buta? Tidak bisa bekerja?!” Wanita cantik bergaun merah muda anggun itu memasang tampang tidak terima, terisak karena kesal, dan melotot hebat ke arah Claris yang tertegun kaget bagaikan disambar petir menyadari apa yang tengah terjadi. Pipinya yang berdenyut dan panas, diabaikannya begitu saja. Itu bukanlah hal yang penting saat ini. Pikiran sang pelayan cantik mulai kacau bagai dikerubungi ratusan lebah yang berdengung. Dia buat masalah? Di pesta akbar besar ini? Bukan mimpi, kan? Hati Claris seperti dicubit keras, alam bawah sadarnya terguncang sampai tidak jadi pingsan karena kelelahan. Wanita bergaun merah muda yang tampaknya adalah seorang nona kaya, kembali menjerit histeris seperti orang gila, mengepalkan kedua tangannya di sisi kepalanya. Kaki dihentakkan ke lantai. Masih tidak terima dengan noda minuman cokelat dan krim yang tampak konyol menghiasi gaunnya, yang Claris yakin harganya bisa puluhan juta. Tubuh pelayan ini menggigil kedinginan, pucat dan suram. Kepalanya menoleh kaku bagaikan robot ke segala arah. Tatapannya berkaca-kaca meminta bantuan, tapi sepertinya tidak ada yang mau membantunya. Claris tertawa dingin dalam hati. Tentu saja begitu, kan? Orang biasa sepertinya, mana ada yang mau repot-repot menolongnya? Apalagi hanyalah seorang pelayan rendahan. Nona kaya tadi, kembali menarik Claris hingga kakinya keseleo, lalu dia kaget melihat wajah cantik sang pelayan, membuat hati nona kaya ini seketika saja panas bertubi-tubi. Tamparan keras didaratkan untuk kedua kalinya di pipi Claris. Suara bisik-bisik mulai terdengar di sekitar kedua orang itu. Musik yang tadi menghiasi ruangan, tiba-tiba berhenti mengalun. Sang nona kaya, mengencangkan urat leher. Memaki dengan suara nyaring dan lantang, terdengar bergetar menahan amarah. Kedua tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Gaun ini aku dapatkan susah payah dari desainer terkenal! Dipesan khusus dengan harga selangit! Masuk daftar antriannya saja butuh berbulan-bulan! Kau jual diri saja tidak akan bisa menggantinya! Dasar tidak berguna!” Tangan sang tamu kembali melayang! Pipi Claris ditampar untuk sekian kalinya. Claris tertegun linglung, kepalanya berdenging hebat. Kakinya mundur beberapa langkah. Cairan merah dan kental seketika menghiasi sudut bibir sang pelayan. Bau karat segera menusuk hidungnya. Pipi juga sudah memerah dan bengkak. Sang nona kaya sepertinya tidak puas kalau hanya sekedar menamparnya dua kali. Perbuatan Claris dan perpaduan wajah cantiknya membuat hatinya seperti terbakar api dari dalam! Bagaimana bisa ada pelayan rendahan secantik dia?! Merasa tersaingi kecantikannya, kemarahan nona kaya ini teralihkan dari gaun miliknya ke wajah cantik Claris. Dia merasa kalau seorang berstatus rendah seperti seorang pelayan, tidak pantas punya kecantikan selevel itu! Pemandangan heboh tersebut tidak ada yang berani melerainya, karena para tamu tahu siapa wanita bergaun merah muda di sana. Dia adalah putri tunggal dari keluarga kaya dari salah satu 5 besar pebisnis terkuat di ibukota. Menyinggungnya berarti sama saja menyinggung keluarganya. Sungguh sial Claris hari ini! Kekagetan Claris masih belum membuatnya bisa mengendalikan diri dengan baik. Baru saja dia diperingati oleh Bu Mirna, malah mendapat musibah. Pikirannya tidak bisa berpikir baik, dia setengah melamun seperti orang bodoh. Sekujur tubuhnya macet seperti karatan. Pikirannya tiba-tiba kosong. Detik berikutnya, bergerak secara impuls secara semborono. “Sa-saya akan membersihkannya, nona!” Claris dengan canggung dan panik, berbalik hendak meraih sebuah tissu di atas meja, tapi karena pikirannya kacau balau dan tidak terkoordinasi baik, saat sudah menarik selembar tissu, tidak sengaja tangan satunya menyambar sebuah gelas berisi setengah anggur merah yang diletakkan sembarangan di sana. Segera saja melayang dilemparkan ke arah sang tamu, jatuh dengan bunyi pecah yang nyaring di udara. “TIDAAAK!!!” Nona kaya tadi menjerit kesal untuk kesekian kalinya. Ubun-ubunnya mungkin sudah berasap sekarang. Hempasan gelas anggur itu mengenai tepi gaun mewahnya. Noda baru itu membentuk sebuah pola kemerah-merahan memanjang jelek, menusuk mata sang pemilik gaun. Mata nona kaya ini memerah bagaikan sudah ditumpahi darah! Kini, bukan hanya noda minuman cokelat dan krim di sana, tapi juga ada noda anggur merah yang sulit untuk dibersihkan. Pecahan gelas berhampuran di lantai, seolah itu adalah masa depan sang pelayan yang hancur di depan matanya. Umur Claris seperti berkurang 100 tahun melihat hal itu! Hati wanita ini tenggelam berat, terasa sesak di dadanya. Kedua bahunya melorot lemas, wajahnya semakin pucat dan semakin tidak bertenaga, berdiri dengan tubuh limbung bersandar di tepi meja menatap semua kekacauan yang dibuatnya dengan mata setengah hampa. Hanya sebuah senggolan kecil.... Hanya sebuah senggolan kecil, dan kini hidupnya berada dalam kekacauan! Wajah pucat Claris yang sudah mirip hantu ini, hanya bisa diam membisu. Bibir gemetar melirik takut-takut sang nona kaya tengah dihampiri oleh beberapa pelayan wanita lain. Itu adalah arahan Bu Mirna yang berjalan tergesa-gesa mendekatinya sambil meminta maaf berulang kali. Tiba-tiba, pendengaran Claris mengecil, pandangannya mengabur. Tissu yang dipegangnya diremas kuat-kuat, dan kini merasa dirinya sangat menyedihkan dan memalukan. Begitu kerdil di mata semua tamu hebat di ruangan ini. Mau pingsan saja tidak bisa! Sungguh benar-benar sial! Rasa sakit menusuk dan menyebar di dadanya. Membuatnya ingin lari dan mengubur kepalanya di tanah. Dari mata paniknya yang bergetar, Claris menelan ludah berat melihat Bu Mirna mulai marah-marah memakinya. Menunjuk-nunjuk entah mengatakan apa, karena saat ini telinga Claris tengah berdenging hebat. Jantungnya berdetak gila hingga sudah naik ke telinganya, merasakan ketakutan dan rasa tidak berdaya yang belum pernah dirasakannya seumur hidup. Dia ini hanyalah orang tidak mampu. Tidak memiliki banyak orang yang berada di sisinya. Makan 2 kali sehari saja sudah terbilang luar biasa walaupun seadanya. Itu pun kadang-kadang adalah hasil sisa dari restauran dari tempatnya bekerja, atau makanan sisa yang hampir basi atau kadaluwarsa yang dibeli setengah harga dari tempat langganannya. Bagaimana kalau dia benar-benar disuruh ganti rugi? Sang nona kaya sangat berang, menggertakkan gigi menatap penuh benci kepada Claris. Dengan kekuatan besar menyingkirkan semua pelayan yang sibuk hendak menolongnya, kemudian berjalan maju bagaikan badai yang mengamuk. Napas Claris sudah nyaris berhenti melihat kejadian super cepat itu. Mata membesar syok. “Bagaimana kau akan bertanggung-jawab, hah?! Dasar pelayan tidak tahu diri!!!” makinya lagi kepada sang pelayan, mendorong sebelah bahunya hingga Claris kembali keseleo. Rasa sakit di kaki Claris membuatnya meringis kesakitan. Belum sempat menstabilkan kedua kakinya, sebuah dorongan datang lagi ke bahunya, dan akhirnya membuatnya jatuh terduduk ke lantai seperti orang bodoh memalukan. Semua orang tertawa melihatnya. Sekujur tubuh Claris tercoreng merah. Kepala tertunduk malu. Simpati? Sangat menggelikan! Yang ada ini malah menjadi tontonan menarik di mata semua orang! “Sa-sakit!” pekik Claris tertahan, melihat tangan kirinya sudah diinjak menggunakan sendal hak tinggi secara tiba-tiba. Mungkin tulangnya sudah ada yang patah! Sang nona kaya menyeringai jahat. “Sakit?! Masih bisa mengeluh sakit? Apa kau tidak tahu betapa malunya aku gara-gara sikap cerobohmu itu? Bagaimana bisa orang sepertimu diterima kerja di tempat berkelas ini? Jangan-jangan kau memakai jalan belakang, ya? Siapa pria tua bodoh yang kau seret tidur bersamamu, hah?!” Entah kenapa, tiba-tiba saja kejadian itu menjadi serangan pribadi kepada Claris. Tangan yang diinjak itu ditekan semakin kuat, membuat Claris menatapnya mendongak dengan wajah meluruhkan air mata. Bibir digigit kuat-kuat. Wajah memucat dan keringat dingin. Dengan tubuh gemetar menggigit bibir, dia mencoba melepaskan sendal hak tinggi itu dari punggung tangan kirinya, tapi semakin dia mencoba semakin kuat ditekankan oleh sang nona kaya itu. Claris tidak berdaya. Dia tahu batasan dan dirinya dalam menghadapi orang semacam itu. Dia sangat tahu diri! “Sa-saya minta maaf, nona! Saya tidak sengaja! Benar-benar tidak sengaja!” ucap Claris buru-buru, gemetar dingin karena rasa sakit menyengat di tangannya. “Maaf? Apa maaf bisa memperbaiki semuanya?! Hah! Penjara bakal kosong kalau maaf bisa menjadi solusi!” Kaki yang menginjak tangan Claris dengan sengaja di arahkan keras ke wajahnya, membuat tubuh sang pelayan terhempas ke lantai. “JILAT! JILAT SEMUANYA SAMPAI BERSIH!” raung nona kaya ini penuh murka sembari menunjuk ke arah lantai yang kotor oleh tumpahan minuman cokelat dan anggur merah. Tidak lupa di sana juga masih ada beling yang berserakan di mana-mana. Napas Claris tertahan sejenak, mata membesar dengan keterkejutan itu. Kulit wajahnya memucat kelam lebih parah dari sebelumnya. Apa dia sudah gila?! Menjilat lantai yang kotor dan penuh beling di depan semua orang? Hawa dingin menusuk Claris dari dalam, wajah memucat pasi. Nona kaya itu berkacak pinggang dengan sombongnya, dagu dinaikkan tinggi, kerutan jelek dan jahat menghiasi wajah cantiknya, menatap sangat jijik ke arah Claris yang duduk lemas di lantai. Semua orang berbisik-bisik dalam keterkejutan itu. Tapi, tidak ada yang peduli nasib Claris sama sekali. Seolah-olah malah menunggu adegan menarik berikutnya. Claris melirik ke arah Bu Mirna, meminta bantuan, tapi langsung membuang muka di sana dengan dengusan puas dan sombong. Perasaan Claris belum pernah seburuk ini. Hatinya tenggelam hebat. Dunianya seolah runtuh hingga ke dasar. Gelap dan sepi. Jika saja dia kaya. Jika saja dia punya kuasa. Tidak perlu diperlakukan kejam begini, kan? “Apa kau tuli? Tidak dengar apa kataku tadi?” sindir sang nona kaya sombong, meludah dengan jijik ke tubuh Claris, lalu mendengus angkuh. “Aku bilang jilat! JILAT LANTAINYA SAMPAI BERSIH!” Claris terkejut hingga menundukkan kepalanya malu, meringkuk di lantai seperti bola. Ini adalah hal paling memalukan seumur hidupnya! “Jangan-jangan, kau ini tipe seperti itu, ya? Wajah cantik, tapi otak sangat bodoh? Apa isi dalam kepalamu itu hanya jaring laba-laba? Tidak heran kau memanjat paha pria tua hanya untuk dapat pekerjaan sebagai pelayan di sini. Murahan!” lanjut sang nona kaya, menyeringai jijik penuh rasa iri di hatinya. Berkata seolah-olah seperti memang benar adanya kalau Claris seperti itu. Wajahnya sangat jelek meledek Claris, gelap bagaikan sebuah awan mendung penuh dengan keburukan di sana. Detik berikutnya, rasa tidak puas kembali mengisi hatinya ketika sang pelayan berlutut di depannya sambil memohon dengan kedua tangan seperti pengemis menyedihkan. “Ma-maafkan saya, nona! Maafkan saya! Tolong maafkan saya! Saya tidak bisa menggantinya! Tolong izinkan saya mencucinya saja! Saya benar-benar tidak sengaja! Tolong maafkan saya! Maafkan saya! Saya mohon teramat sangat!” Claris hanya bisa mengatakan hal sederhana itu. Sukses atau tidaknya, sama sekali tidak ada dalam pikirannya. Apa lagi yang bisa dilakukannya coba selain merendahkan diri seperti ini? Melawan dan membantah? Itu sama saja semakin mempersulit diri dan masa depannya! Kalau dia ditandai olehnya, nasib keluarganya akan bagaimana? Operasi ayahnya akan bagaimana? Bagi orang-orang kaya angkuh, menindas orang biasa sudah seperti menepuk lalat. Tidak ada kepedulian sama sekali. Sementara di sisi lain, orang yang ditindas itu, hidupnya bisa saja hancur lebur dan tidak bisa bangkit lagi. Ini sudah jadi rahasia umum di belahan dunia mana pun. Si kaya dan si miskin. Sebuah dongeng klasik yang masih terjadi di zaman modern dan canggih ini. Claris tidak menyangka kalau malam ini dirinyalah yang akan bernasib sial berikutnya. Kedua tangannya dengan gugup meraih sebelah kaki sang nona kaya, terus meminta maaf berulang kali. Kepala tertunduk menyedihkan. “Saya mohon, nona! Tolong maafkan saya! Maafkan saya! Maafkan saya!” “LEPASKAN! JANGAN SENTUH AKU! DASAR WANITA KOTOR!” Dengan penuh emosi, Claris dihempaskan dengan sebuah tendangan. Tubuhnya jatuh ke arah pecahan gelas yang berhamburan di lantai. Semua napas para tamu terkesiap kaget melihat kedua tangan sang pelayan dipenuhi beling, dan cairan merah mulai mengalir dan menetes-netes mengotori lantai marmer mewah hotel itu. Hawa dingin menusuk tulang menghinggapi Claris, tubuhnya semakin gemetar dan canggung. Tubuhnya seketika lemas. Kedua mata Claris mulai kembali berkunang-kunang, menatap kedua telapak tangannya yang gemetar berhiaskan beling dan cairan merah menarik. Kepalanya seperti kejatuhan batu besar, membuat telinganya sekali lagi berdenging hebat. Walaupun sudah berantakan di lantai seperti gembel, ternyata kecantikan Claris masih tidak luntur juga, malah sikap lemah itu membuatnya jadi semakin bersinar dan memberikan rasa kasihan yang melihatnya. Diam-diam, sebenarnya ada banyak pria yang ingin menolongnya, tapi saat melihat siapa lawannya, lebih baik menjaga nyawa sendiri daripada menolong wanita cantik yang bisa ditemukan di mana saja. “Kenapa kau masih saja seperti orang bodoh di situ?! Cepat jilat lantainya! Tidak bisa mengganti gaun mahal ini, maka turuti kata-kataku! Atau kau suka aku membawa ini ke ranah hukum?!” Ranah hukum? Tubuh Claris membeku dingin, mendongak kaku menatap ngeri ke arah nona kaya yang terlihat cantik tapi ternyata adalah perwujudan dari iblis neraka. “JILAT!” pekiknya murka, kembali menghentakkan kaki kesal, dan menunjuk ke arah lantai yang kotor. Clarisha menelan ludah gugup. “Ta-tapi nona, ada banyak pecahan gelas di sana...” gumamnya dengan wajah lesu, memelas dengan nasibnya. Dia tidak keberatan jika memang harus menjilat lantai di depan semua orang. Dipikirnya itu lebih baik daripada harus menanggung ganti rugi atas gaun mahal itu. Tapi, ada beling di sana. Apa dia benar-benar serius menyuruhnya menjilati lantai yang kacau itu? “Memang apa peduliku? Kalau kau bisa mengganti gaun mahal ini yang sama persis, maka tidak perlu menjilatnya,” dengusnya penuh kemenangan, melipat tangan di dadanya dengan sangat angkuh, karena tahu hal itu tidak mungkin bisa dilakukan oleh pelayan miskin sepertinya. Claris menolehkan wajahnya yang pucat ke segala arah sekali lagi, tapi semuanya seolah pura-pura tidak melihatnya. Sepertinya nona kaya di depannya ini bukanlah orang biasa. Dia segera paham situasinya. Kalau hanya sekedar wanita biasa, pasti sudah ditegur karena semena-mena, bukan? Bahkan di sini ada pejabat dan juga orang-orang yang dituakan, tapi tidak ada satu pun yang mau maju memberikan tangan kepadanya. Hati Claris mendingin hebat. Darah surut dari wajahnya. Apa dia sungguh harus menjilati lantai penuh beling itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD