Sebastian tidak pernah begitu menikmati permainan kartu sebelumnya, tapi malam itu ia bisa duduk selama berjam-jam, membolak-balik kartu dan menebak kartu mana yang mungkin akan dilempar oleh teman-temannya ke atas meja, tanpa merasa bosan sedikitpun. Bahkan meskipun hari sudah begitu larut, dan para pelayan mulai memeringati mereka bahwa lilin-lilin sudah dinyalakan dan seluruh kamar sudah disiapkan untuk tidur, Sebastian dan teman-temannya tidak mengacuhkannya dan memilih untuk duduk memulai putaran kartu berikutnya.
Henry juga ada disana. Bocah itu yang paling bersemangat saat Jeffrey mengajarinya memilih kartu yang tepat dan mengalahkan lawannya. William duakali kalah dalam beberapa putaran, sementara itu Caspian tampaknya tidak memedulikan sama sekali berapa banyak koin emasnya yang habis dalam taruhan itu. Sebastian bertaruh dengan lebih berhati-hati. Bukan uang yang ia khawatirkan, melainkan fakta bahwa setiap kemenangan itu terasa begitu penting baginya. Ia melirik lawannya, Wellington, yang duduk begitu tenang di atas kursi sebelum mengeluarkan kartu AS nya. Setelah merasakan darahnya berdesir cepat, Sebastian dapat mengembuskan nafas lega begitu melihat kartu yang dilemparkan sang Duke. Ia kemudian melempar dua kartu AS terakhirnya ke atas meja, merasa lega karena pada putaran kali ini, Sebastian dapat mengalahkan teman-temannya secara telak.
“Sial kau, Cleveland!” gerutu William yang berdiri di belakang sang duke.
“Lihat? Dua kali!” Jeffrey menimpali kemudian merenggut botol brendinya dan meneguk alkohol itu dari sana. “Dua kali!” ia menegaskan dengan suara kesal.
“Kurasa itu hanya masalah keberuntungan,” Caspian berjalan mendekati sofa kosong di sudut ruangan kemudian mengempaskan tubuhnya yang kelelahan disana seolah-olah semua kegiatan hari itu benar-benar telah menguras tenaganya.
“Bagaimana mungkin kau berkata begitu setelah dia mengalahkanmu duakali?!”
“Yah, kita bisa mencobanya lagi..” William mengusulkan, tapi dengan segera ditentang oleh sang Duke.
“Tidak, tidak malam ini. Aku minum terlalu banyak..”
“Oh, ayolah..” William berkeras menarik kursinya dan duduk disana. “Kita bisa bermain lebih baik.”
“Simpan tenagamu untuk pemburuan besok, Will..” Wellington melenggang pergi dari kursinya dan berjalan mendekati periapian untuk menumpuk lebih banyak kayu bakar disana. Ketika tidak ada yang menanggapi permintaannya, William melirik mereka satu persatu.
“Cleveland?”
“Aku menikmatinya, tapi kurasa Wellington benar. Besok adalah hari besar, kita butuh istirahat.”
“Jeff?”
Dengan sama tidak acuhnya Jeffrey mengangkat kedua bahu selagi menyandarkan tubuhnya di atas kursi. Sementara itu, Caspian yang tampak begitu kelelahan, sudah tertidur di atas sofa. Kedua matanya tertutup rapat dan nafasnya berembus dengan teratur.
“Henry?”
“Maaf, tapi saya kehabisan koin yang Anda berikan, My Lord.”
Selagi menumpuk kartu-kartu itu, William menggerutu.
“Kita bahkan belum mencapai bagian menyenangkannya.”
“Simpan itu untuk besok,” gumam Jeffrey. “Bagaimana dengan jalurnya? Apa kau sudah memeriksanya, Henry?”
“Ya, jalur sudah dibersihkan.”
“Bagus,” Jeffrey memejamkan matanya saat berusaha untuk tidur. “Aku hanya perlu beberapa jam untuk tidur.”
Kesunyian mengisi ruangan itu selama beberapa saat. Cahaya keemasan dari lidah api di perapian menari-nari, kemudian disusul oleh suara ranting yang patah setelah dilalap api. Sekitar pukul satu, Sebastian memutuskan untuk pergi meninggalkan ruangan. Henry yang masih terjaga di atas sofa sempat meliriknya dan bertanya,
“Apa kau membutuhkan sesuatu, My Lord?”
“Tidak, aku hanya perlu mencari udara segar. Aku akan kembali ke ruanganku jika ada yang bertanya.”
“Tentu saja.”
Henry kembali menyandarkan tubuhnya di atas sofa sebelum Sebastian bergerak keluar melewati pintu belakang di pondok itu. Jalanan tampak gelap dan senyap. Cahaya dari lampu minyak berpendar di beberapa tempat, tapi tidak cukup terang untuk menjangkau setiap sudut jalan. Sementara itu, angin berembus kencang dari arah utara. Di kejauhan, kabut menyelimuti bukit-bukit rendah dan permukaan tanah yang berumput, menghalau pandangannya dari pintu masuk utama Housted Hill.
Sebastian berjalan sekitar seratus meter keluar dari pintu belakang untuk menemui seorang kusir yang ditugaskan Arthur untuk mengawasinya jika Sebastian membutuhkan sesuatu. Kereta kudanya terparkir tidak jauh dari kandang ternak. Disana lahannya masih terbuka, dan tidak ada semak-semak dan juga pohon-pohon tinggi seperti kawasan lain dalam properti itu. Ketika berjalan mendekat, Sebastian melihat kuda-kuda sedang beristirahat, sementara tirai jendela kereta ditutup dan kusir yang bertugas sedang tertidur disana.
Melawan hawa dingin yang menyergapnya, Sebastian mengencangkan ikatan mantel dan juga topinya kemudian berjalan lebih cepat untuk sampai di dekat kereta itu. Ia menatap ke sekeliling untuk memastikan tidak ada seseorang yang melihatnya mengendap-endap keluar untuk menemui kusir malam itu, kemudian mengangkat satu tangannya yang terbungkus oleh sarung tangan kulit dan mulai mengetuk pintu kereta beberapakali sampai sang kusir membuka pintu dan turun dari dalam sana.
“Maaf, Sir. Saya tertidur.”
“Tidak masalah. Kau boleh pulang malam ini.”
“Tapi Lord Cleveland ingin saya tetap tinggal untuk memastikan..”
“Semuanya baik-baik saja. Aku tidak memerlukan bantuan sementara ini. Sampaikan itu pada Arthur.”
Sang kusir mengangguk. “Kapan Anda ingin saya kembali, Sir?”
“Lusa. Aku akan mengirim surat jika memang ada kebutuhan mendesak.”
“Baiklah, Sir. Saya izin pamit.”
Sebastian mengawasi kepergian kusir hingga kereta kudanya itu menghilang di ujung jalan. Setelahnya, ia tidak segera kembali ke kamar yang disediakan untuk para tamu. Sebastian memutuskan pergi ke istal untuk memeriksa kuda-kuda. Sejak dulu, Sebastian gemar mengendap-endap keluar diwaktu malam dan menghabiskan beberapa jam waktunya untuk memeriksa kuda-kuda milik Arthur. Sebastian akan memastikan kuda-kuda itu mendapat apa yang mereka butuhkan. Terkadang, pada musim kawin, Sebastian bisa menghabiskan waktunya seharian untuk mengawasi kuda-kuda itu. Ia membantu kuda-kudanya melahirkan bayi mereka, dan Sebastian akan merawatnya dengan hati-hati.
Di rumahnya, Sebastian memiliki peternakan kudanya sendiri. Hampir sepuluh tahun yang lalu, ia membeli sebuah tanah kosong untuk memulai usaha pacuan kuda. Usahanya itu cukup sukses sampai Sebastian memutuskan untuk meninggalkan Yorkshire dan pergi untuk berperang. Sekarang ketika ia sudah kembali, Sebastian bermaksud untuk menghidupi kembali usaha lamanya itu. Meskipun begitu, bisnis panti yang sudah ia hidupi selama sekitar tiga tahun terakhir benar-benar menyita perhatiannya saat ini. Dalam tiga bulan terakhir, Sebastian menerima banyak surat dari beberapa donatur yang bersedia menyumbangkan uang mereka untuk membantu perkembangan bisnis itu. Tahun lalu, Sebastian sempat terpikir untuk menutup bisnis yang didirikannya di London itu, tapi sekarang ketika bisnis itu mulai membesar, Sebastian mengurung niatnya. Dan karena ia tidak akan kembali ke London dalam waktu dekat, Sebastian memutuskan untuk mengalihkan tanggungjawabnya terhadap bisnis itu pada seorang teman lama yang sudah dikenalnya cukup dekat. Temannya itu masih sering mengiriminya surat, meminta persetujuan Sebastian terkait semua kegiatan operasional yang dijalankan. Sejauh ini, semuanya berjalan baik-baik saja, kecuali karena Sebastian tidak yakin ia memiliki rencana yang matang tentang berapalama ia akan menetap di Yorkshire dan niat untuk menjalankan kembali bisnis pacuan kudanya.
Kegiatan berkuda sudah lama menjadi sebuah kesenangan tersendiri untuknya. Bisa dikatakan, Sebastian mengurus kuda-kuda itu lebih baik daripada dia mengurus dirinya sendiri. Dan karena ketekunannya itu, Sebastian mampu membesarkan usaha peternakannya menjadi bisnis yang menghasilkan keuntungan melimpah. Setelah belasan tahun hidup dalam jerih payah, Sebastian akhirnya dapat menuai hasil usahanya itu dalam tujuh tahun terakhir. Uang tidak lagi menjadi masalah utama dalam hidupnya. Setidaknya, ia memiliki tabungan yang cukup untuk menjamin hidupnya selama beberapa tahun ke depan. Namun bukan itu yang menjadi masalah utamanya saat ini. Masalahnya adalah, Sebastian belum memikirkan rencana apapun untuk beberapa tahun ke depan. Ia tahu bisnis pacuan kuda akan tetap berjalan untuk lima atau sepuluh tahun ke depan, tapi Sebastian menyadari bahwa diusia tua, mungkin ia tidak akan cukup bugar untuk menjalankan bisnis itu lagi. Sebastian perlu memikirkan cara lain untuk menjaga bisnisnya tetap bertahan.
Meskipun hidupnya sudah berubah, Sebastian tidak pernah benar-benar meninggalkan kebiasaan lamanya yang suka berkeliaran pada tengah malam untuk mengunjungi istal dan memeriksa kuda-kudanya. Sesekali ia pergi ke bar-bar di pinggiran kota, menikmati alkohol murahan yang dijual disana, atau sekadar bersenang-senang dengan permainan kartu. Hidupnya dapat dikatakan cukup bebas, tidak seperti Arthur yang akan selalu diawasi karena posisinya sebagai pewaris tunggal seluruh properti dan gelar Earl of Cleveland.
Terkadang, Sebastian merindukan momen kebersamaan mereka sewaktu remaja ketika diam-diam ia membantu Arthur melarikan diri dari pengawasan bibinya untuk mengunjungi sebuah bar di pinggir kota. Sebastian dengan senang hati akan membantu Arthur melakukan penyamaran. Dan karena kondisi Arthur yang cacat, Sebastian harus menemaninya sepanjang waktu. Bahkan, mereka melewati pengalaman pertama mereka bersama wanita di tempat itu. Siapa sangka kalau wanita pertama yang disentuh mereka merupakan seorang penghibur yang bekerja untuk bar di pinggir kota? Sebastian mengingat bagaimana mereka menghabiskan malam yang terasa amat panjang itu bersama-sama. Arthur pulang dalam keadaan mabuk, dan Sebastian harus memastikannya sampai di kediamannya tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun dari semua pelayan yang bekerja disana.
Meskipun sudah lama berlalu, semuanya masih terasa jelas dalam ingatannya. Sekarang, ketika mereka sudah lebih dewasa, baik Sebastian maupun Arthur jarang memiliki waktu untuk mengulang kesenangan yang mereka lakukan bertahun-tahun silam. Keputusannya untuk pergi ke medan perang nyatanya mengubah hidupnya – nyaris seutuhnya, kecuali karena Sebastian masih memiliki Arthur dan kuda-kudanya.
Ia benar-benar merindukan kuda-kuda itu, sampai Sebastian tidak sabar untuk memulai kembali bisnisnya. Malam ini ia memadangi kuda-kuda di istal milik Somerset, sembari sibuk memikirkan langkah apa yang perlu diambil untuk memulai kembali bisnis pacuan kudanya. Sebastian menghabiskan tiga puluh menit berikutnya untuk memenuhi ember-ember yang telah kosong dengan air dan meletakkan lebih banyak jerami di dalam kandang mengingat udara malam itu terasa sangat dingin. Begitu merasa cukup kelelahan, Sebastian memutuskan untuk kembali ke kamar tamu. Namun langkahnya sempat terhenti ketika ia mendengar suara gemerisik dari arah semak-semak yang berada tidak jauh darinya. Sebastian melihat siluet hitam bergerak melintas memasuki lorong dan berlalu dengan cepat. Ia sempat terpikir untuk mengejar siluet itu sebelum pemandangan dari balik jendela di bangunan utama mengalihkan perhatiannya.
Dari kejauhan, ia mendapati lilin masih menyala di salah satu jendela kamar tamu di sayap kanan. Ruangannya terletak di bagian paling ujung bangunan, dengan jendela yang menghadap persis ke lahan kosong tepat dimana ia sedang berdiri. Dari sana, Sebastian melihat siluet hitam memantul pada tirai putih. Siluet hitam itu memperlihatkan sosok wanita berambut ikal bergelombang dan tubuh ramping yang hanya dibalut oleh piyama satin tipis, sedang berjalan mendekati jendela. Sebastian terpaku menatap selagi merasakan darahnya berdesir cepat. Ia sudah tahu siapa yang akan muncul, bahkan sebelum tirai jendela disibak terbuka. Wanita itu adalah Greta. Sebastian langsung mengenalinya bahkan dari kejauhan. Segala sesuatu tentangnya masih terasa familier, kecuali karena untuk kali pertama, Sebastian menyaksikan helai-helai ikal rambutnya yang berwarna coklat kayu tergerai dan membingkai wajahnya yang tampak begitu anggun. Bibirnya yang ranum sedikit terbuka, sementara itu pemandangan lekuk tubuhnya di balik kain satin tipis yang dikenakannya malam itu terliat begitu indah.
Greta sedang menatap lurus ke arah bukit-bukit di kejauhan sana ketika Sebastian berdiri diam mengamatinya. Cahaya temaram dari lilin yang masih menyala di dalam kamar tidur itu menonjolkan setiap sudut kecantikannya dengan tegas. Tiba-tiba Sebastian melupakan rasa kantuknya. Seluruh perhatiannya terpusat pada wanita itu dan udara dingin di luar sana tidak lagi mengusiknya.
Saat Greta menyadari keberadaannya, Sebastian sekilas menangkap gerakan kaget yang tampak dalam raut wajah wanita itu. Meskipun wajahnya tampak pucat seperti baru saja melihat hantu, Greta tidak segera berajak dari jendela. Malahan, wanita itu sengaja berlama-lama berdiri disana sembari mengigit bibirnya.
Sebastian nyaris tidak mengedipkan matanya sampai ia melihat Greta memberi anggukan singkat, kemudian menutup kembali tirai jendelanya dan mematikan lilin. Tubuhnya yang mendamba masih berdiri mematung disana. Dengan susah payah Sebastian menelan liurnya. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan menatap lahan kosong yang gelap itu mengelilinginya. Angin dingin menyelinap masuk ke dalam mantelnya dan menyadarkan Sebastian kembali dari lamunannya. Hari itu terasa amat panjang dan setelah melihat Greta, Sebastian cukup yakin kalau tidurnya tidak akan nyenyak malam ini.
Sembari membawa ingatan akan sosok angun itu di kepalanya, Sebastian berjalan cepat memasuki pondok menuju kamarnya. Diam-diam ia mengutuki dirinya karena tidak mampu menahan hasratnya sendiri terhadap sang Lady. Sebastian cukup yakin bahwa ia sudah menarik sebuah masalah besar dalam penyamarannya ini. Itu hanya masalah waktu sebelum semuanya menjadi kacau.