Bab 6

3062 Words
“Apa kau mendengar kabar darinya?” tanya Arthur pada seorang pelayan yang dia tugaskan untuk mengantar Sebastian menuju kediaman Somerset. Pelayan itu menemui Arthur di perpustakaan, sedang duduk dikelilingi oleh buku dan tumpukan kertas seperti biasanya. Arthur memilin semua surat yang datang hari itu, berharap ia menemukan satu atau dua surat dari pengacaranya, namun hasilnya nihil. “Tidak ada kabar apapun My Lord.” “Tapi semuanya baik-baik saja, kan? Kau sudah mengantarnya sampai kesana?” “Ya, My Lord.” “Aku mau kau tetap berada disana, berjaga-jaga kalau dia butuh sesuatu. Dan tolong, berikan surat ini padanya. Katakan dia bisa meminta apa saja yang diperlukan.” Sang pelayan meraih surat yang dijulurkan Arthur kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Begitu mendengar suara pintu ditutup, Arthur memutar kursi rodanya dan berbalik ke arah jendela. Ia memandang langit pagi yang cerah di luar sana. Beberapa pelayan terlihat sedang sibuk bekerja mengurus kebun lavendernya. Ide untuk membuat sebuah kebun lavender terdengar terlalu konyol dan mencolok. Arthur tidak pernah menyukai tanaman hias, Sebastian mengetahui itu dengan jelas, namun Arthur berhasil menyakinkannya bahwa kebun lavender itu dimaksudkan untuk mengusir keberadaan serangga di manornya. Arthur cukup yakin kalau para pelayannya telah berbisik-bisik di belakang, bertanya-tanya mengenai sikapnya yang aneh beberapa bulan terakhir. Arthur bahkan telah membaca setiap kolam di surat kabar hanya untuk mengumpulkan semua informasi dan rumor yang menyebar tentangnya. Arthur mau orang-orang berpikir bahwa ia memang terdengar seburuk itu. Biar saja mereka menganggapnya sudah kehilangan kewarasannya, Arthur tidak peduli sekalipun para pelayannya juga berpikir demikian. Ada beberapa hal yang sebaiknya tetap tersembunyi. Ia menjaga rahasia itu selama belasan tahun, bahkan dari Sebastian - orang yang paling akrab dengannya sekalipun. Arthur juga bukannya melakukan semua itu tanpa sebab. Ia hanya berpikir bahwa dengan tidak melibatkan orang-orang terdekatnya dalam pekerjaan kotor yang sedang ia jalankan saat ini, maka semuanya akan semakin baik. Arthur mengerutkan dahinya, kemudian menurunkan tirai jendela sehingga tidak akan ada orang di luar sana yang bisa melihatnya di dalam perpustakaan. Kemudian, tanpa tergesa-gesa, Arthur bangkit berdiri dari atas kursi rodanya dan berjalan pelan ke arah pintu. Ia ingin memastikan pintu itu tertutup rapat, dan Arthur juga sudah memeringati para pelayannya, termasuk pelayan pribadinya, untuk mengetuk setiap kali mereka hendak masuk ke ruang pribadinya. Arthur tidak ingin orang-orang itu melihatnya berkeliaran di sekitar ruangan ketika dan membuka penyamaran yang selama ini sudah ia tutup rapat-rapat. Setelah yakin kalau suasana sudah lebih tenang dan tidak ada seorangpun pelayan yang berkeliaran di depan ruangan, Arthur mengelilingi perpustakaan itu dan berhenti tepat di depan rak yang menyembunyikan celah kecil pada dinding di belakangnya. Ia mengamati permukaan kayu yang menutupi sekat itu sudah menguning dan Arthur harus segera membereskannya kalau ia tidak mau mengambil risiko pelayannya akan menemukan sekat tersembunyi itu dan memutuskan untuk membukanya. Dari sana, Arthur mengeluarkan sebuah peti kecil yang sudah tersimpan begitu lama. Ia mengeluarkan kunci dari balik saku mantelnya kemudian menggunakan kunci itu untuk membuka penutup peti dan mengeluarkan sebuah buku catatan dan beberapa lipatan kertas berisi surat-surat penting yang sudah ia sembunyikan lama di dalam sana. Permukaan kertas itu kini telah menguning, stampel di permukaannya juga hampir memudar, tapi isi surat itu masih dapat dibaca cukup jelas. Setelah memeriksanya, Arthur bergerak cepat memasukkan semua buku dan kertas-kertas itu ke dalam kantong dari kain yang sudah ia selipkan di balik mantelnya. Kemudian, Arthur mengembalikan peti ke tempat semula dan memastikan sekatnya tertutup rapat. Pelan-pelan ia berjalan mendekati nakas tempat dimana pelayan meletakkan botol rumnya. Rasanya aneh menapakkan kaki di atas lantai setelah hampir dua hari Arthur terjebak di atas kursi roda. Namun Arthur sudah menjalani kehidupan ganda-nya itu selama bertahun-tahun. Ia mulai terbiasa dengan kebohongan yang dipertontonkannya di hadapan orang-orang termasuk Sebastian. Meskipun ia merasa bersalah karena menghianati sahabatnya, Arthur tetap tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Sebastian - tidak ketika Arthur masih melibatkan diri dengan semua urusan kotornya sebagai seseorang yang bekerja untuk pemerintah. Lebih sedikit yang tahu, akan lebih baik. Ketika mendengar suara derap langkah kaki yang pelan dari arah lorong, Arthur terburu-buru menghampiri kursi rodanya dan mengempaskan tubuhnya disana. Ia menarik kembali tirai jendela itu kemudian berpura-pura membolak-balik halaman buku persis ketika suara ketukan pintu terdengar. “Masuklah!” Wajah Albert muncul ketika pintu digeser terbuka. “Seseorang ingin menemuimu, My Lord. Dia bilang dia ingin membicarakan sesuatu yang penting.” “Apa dia menyebutkan namanya?” “Sayangnya tidak My Lord, saya sudah bertanya. Tapi dia meminta saya untuk mengatakan pada Anda kalau kebun Lavender itu telah menginspirasinya.” Sudut bibir Arthur sedikit terangkat. Kemudian dia berkata, “suruh dia masuk!” Pelayan itu mengangguk sekilas kemudian pergi. Anak panah melesat cepat melewati batang kayu tinggi yang dipasang di ujung ladang sebagai penanda, kemudian terus bergerak lurus membelah udara sebelum mengenai seekor punai yang sedan terbang dengan gelisah melewati puncak pinus dikejauhan sana. William dan Henry bersorak saat melihatnya, di belakang Sebastian mendengar Dale mengumpat kasar, menyadari bahwa aroma kekalahan sudah tercium begitu jelas. William menepuk-nepuk bahunya dengan bangga, kemudian mencoba keberuntungannya sendiri menggunakan busur dan panah, sayangnya bidikannya meleset melewati dahan pohon yang rindang dan berakhir di atas jerami. Jeffrey tersenyum lebar begitu melihat kesempatan emas sedang menantinya. Laki-laki itu memutar busur dan mengarahkan panahnya tepat ke arah mangsa. Satu detik.. dua detik.. busur ditarik kemudian panah dilepas. Bidikannya cukup jauh dan efektif. Laki-laki itu mengenai sasaran. Jeffrey mendekati sang Duke dan dengan percaya diri mengatakan kalau mereka akan menang dalam permainan itu. Namun kelompok Dale hanya memiliki satu kesempatan lagi untuk memenangkan pertaruhan, sementara Sebastian, William, dan Caspian menimpin skor di depan. Giliran Henry yang membidik. Tidak mengejutkan lagi bidikannya tepat sasaran. Satu skor tambahan bagi kelompok mereka, dan kelompok Sebastian masih memiliki dua kesempatan untuk memenangkan pertaruan. Bidikan Caspian meleset, tapi bidikannya itu justru memberi kesempatan emas bagi Sebastian karena begitu dua ekor burung terbang mengepakkan sayapnya dengan gelisah ketika menghindari bidikan Caspian, tanpa menunggu, Sebastian segera mengangkat busur dan menembakkan anak panahnya. Panah melesat dengan cepat mengenai tubuh dua mangsa sekaligus. William dan Caspian menyuarakan sorak kemenenangan, sementara Jeffrey mengumpat dengan kesal. “Sial! Kurasa aku minum terlalu banyak rum..” Dale menepuk pundak Jeffrey selagi meletakkan busurnya kemudian meraih botol minum dan meneguknya dengan cepat. “Maaf, seharusnya aku membidik dengan benar di awal..” ucap Henry, jelas merasa bersalah atas keteledorannya. “Tidak apa-apa, kita tetap akan kalah kalaupun bidikanmu tepat sasaran,” Jeff menenangkan bocah itu. “Kau sudah melakukannya dengan hebat, Henry. Sekarang beristirahatlah.” “Tidak, aku perlu menemui Jared dan menyiapkan kuda-kuda untuk besok.. Aku akan segera kembali.” “Tunggu, aku ikut denganmu!” Dale membuntuti. “Sungguh, tidak masalah, My Lord. Saya bisa mengurusnya sendiri.” “Tidak, kau pasti membutuhkan bantuan.” “Ya, kurasa aku juga perlu ikut,” sambung William kemudian berlari mendekati kudanya. “Kalian tahu jalan pulang, kan?” Di bawah terik matahari yang menyorot wajahnya, Caspian menyipitkan kedua mata kemudian menatap lurus ke kejauhan. Ladang membentang seluas satu hektar di sekeliling mereka sementara pohon pinus berbaris membatasi kawasan hutan terbuka tempat dimana mereka akan memulai pemburuan esok harinya. Tak jauh dari sana, ada jalur setapak yang mengarah persis ke manor. Perjalanannya cukup panjang tapi karena hanya ada satu jalur yang terbuka, mereka tidak akan kesulitan menemukan jalan untuk kembali ke manor. “Kecuali jika ada beruang di tengah jalan, kami akan sampai disana dengan selamat,” ucap Caspian. William melambaikan satu tangannya di udara kemudian naik ke atas pelana dan mengarahkan kudanya menyusul kepergian Dale dan Henry di depan. “Dari yang kudengar, tidak ada beruang.. Tidak di dekat sini..” “Bagus..” Sebastian, Jeffrey, dan Caspian memutuskan untuk pergi beberapa menit kemudian. Tapi mereka tidak berniat untuk kembali ke manor. Mereka mengarahkan kuda-kudanya menyusuri hutan yang lebat untuk memeriksa beberapa pita yang telah dipasang untuk musim pemburuan. Jeffrey mengajak mereka untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan seluas belasan hektar itu, dimana cahaya yang bergerak melewati celah dahan-dahan pohonnya yang rimbun perlahan mulai menjauh hingga tidak menyisakan apa-apa. Langit biru sepenuhnya tertutup oleh kabut dan pepohonan, dan jalur setapak yang mereka lewati kian menyempit. “Kurasa kita menemukan jalan buntu,” seru Jeffrey yang memimpin di depan. Suaranya menggema di antara pepohonan tinggi. Dalam jarak lima puluh meter jauhnya, Sebastian masih bisa mendengar laki-laki itu. “Tidak perlu terburu-buru, Jeff.. Kita bisa kembali besok,” ujar Caspian. “Cleveland?” Jeff berseru. “Kita harus segera kembali, kabut akan segera menutup jalan.” Sebastian tidak berbohong. Kabut memang sudah terlihat menyelimuti jalan. Sebentar lagi, sore akan bergulung digantikan oleh langit gelap malam yang menggantung rendah di atas dahan rimbun pepohonan. Mendapati dirinya kalah suara, Jeffrey memutuskan untuk memutar kudanya dan kembali ke jalan yang mereka lalui sebelumnya. Sebastian dan Caspian menyusul di belakang. Mereka berkuda dengan cepat melewati jembatan dan tebing batu yang mengarah langsung ke manor. Di pertengahan jalan Sebastian kehilangan jejak dua temannya itu. Ia sengaja memelankan laju karena kuda yang ditungganinya terluka akibat menembus hutan lebat. Tahu bahwa Sebastian tidak akan bisa mengejar ketertinggalannya, ia memutuskan untuk berkuda dengan pelan. Ia tahu jalan untuk kembali ke manor, selain itu Sebastian bermaksud menikmati waktunya untuk berjalan sore mengelilingi kawasan itu. Ia baru saja melewati jembatan ketika menyadari sebuah pergerakan di antara semak-semak tinggi. Puncak manor terlihat jelas tak jauh disana. Sebastian bisa saja mengacuhkan apa yang dilihatnya di dekat jembatan dan langsung bergegas masuk ke dalam menyusul dua temannya yang lain, namun pergerakan di antara semak-semak itu terdengar semakin jelas hingga ia memutuskan untuk menghentikan kudanya. Sebastian melompat turun dari atas pelana. Ia menarik tali kekang kudanya sembari melongok ke bawah sana, tepat dimana sumber suara itu berasal. Sebastian tidak mungkin salah mengenali sosok yang muncul di antara semak-semak tinggi itu. Wanita yang mengenakan dress satin berwarna biru itu tampak kesulitan melepaskan diri dari sesuatu yang sepertinya sedang menahannya di balik semak-semak. Ia beberapakali menarik gaunnya, tapi tindakan itu hanya memperburuk keadaan. Merasa cukup yakin dengan apa yang dilihatnya, Sebastian mulai menyerukan nama wanita itu dari atas jembatan. “Greta!” Wanita itu menengadahkan wajah dan seketika merasa jengah. Sebastian terburu-buru menautkan tali kekang kudanya pada dahan pohon terdekat, kemudian berlari menuruni undakan tanah untuk membantu Greta yang kesulitan. Tepat ketika Sebastian sudah berada dalam jarak beberapa langkah jauhnya, wajah wanita itu memerah. Sebastian tidak tahu apakah kehadirannya disana akan membantu atau membuatnya malu. “Oh, Lord Cleveland..” Greta mengamatinya dari kaki hingga kepala, tepat ketika kedua matanya terperangkap dalam tapapan Sebastian, wanita itu mengucapkan kalimatnya dengan suara bergetar. “Aku tidak menduga akan melihatmu disini.” “Aku juga begitu.. tapi aku melihatmu kesulitan..” “Oh...” sang Lady menatap bagian bawah dressnya yang tersangkut semak-semak, kemudian memandangi Sebastian. Wajahnya kini memerah sempurna. “Ini konyol..” Sebastian merasa iba atas masalah yang menimpa wanita itu, tapi disisi lain ia juga tidak bisa menahan tawanya. Tapi karena Sebastian tahu hal itu akan membuat Greta semakin malu, ia-pun menjaga ekspresinya tetap datar meskipun jelas bahwa Greta telah menyadari kilat geli yang melintas di kedua matanya. Wanita itupun menghela nafas gusar. “Aku tahu.. aku tahu.. aku memang ceroboh,” Greta mengakui. “Aku tidak belajar dari pengalaman dan liat aku sekarang. Perangkap itu berhasil mengenaiku.” “Biarkan aku membantumu.” Greta tidak menolak ketika Sebastian menunduk untuk menarik dressnya dari semak-semak. Tapi kondisinya ternyata lebih buruk dari yang ia kira. Renda di bagian dalam dress itu terjepit oleh perangkap yang dibuat dari kawat-kawat tajam. Sebastian bahkan dibuat terkejut karena perangkap itu tidak menyakiti Greta. Wanita itu cukup beruntung meskipun kelihatannya, ia harus mengorbankan dressnya. Sebastian berusaha keras untuk membuat dress itu tidak rusak, tapi ia sendiri mengalami kesulitan. Sementara Greta yang sudah tidak sabar berdiri dengan gelisah dan mulai bertanya-tanya seburuk apa perangkap itu mengenainya. “Apakah sesulit itu?” “Sebenarnya..” Sebastian menyesal harus memberitahu wanita itu. “Aku tidak bisa menarik gaunmu tanpa kemungkinan kalau aku akan menyobeknya. Tidak ada cara untuk membuka perangkap ini dengan mudah..” “Oh..” wanita itu tampak terguncang, tapi setelah beberapa detik terdiam, Greta menarik nafas panjang dan memantapkan dirinya. “Baiklah.. lakukan saja apa yang perlu kau lakukan.” “Berpeganganlah denganku!” “Apa?” “Pegang pundakku, ini sedikit sulit ditarik. Aku tidak ingin kau jatuh..” “Baiklah..” Wanita itu menurutinya. Greta sedikit membungkuk kemudian meletakkan kedua tangannya di atas pundak Sebastian selagi ia menarik dress itu kuat-kuat. Sang Lady terkesiap ketika mendengar suara sobekan bajunya. Meskipun tidak melihat langsung ke wajahnya, Sebastian dapat merasakan kegugupan yang dialami wanita itu dari cengkramannya yang semakin kuat di pundaknya. Kemudian, pada tarikan terakhirnya, sobekan gaun itu menyingkap sepasang kakinya sampai atas lutut. Sebastian tidak bisa menghindari pemandangan itu tertutama ketika sang Lady berdiri goyah dan nyaris terjerembab ke arah semak-semak. Beruntung Sebastian bergerak cepat untuk menangkapnya. Tapi karena Greta tidak menjaga keseimbangannya, mereka berdua jatuh di atas tanah berumput itu dalam posisi duduk. Sebastian merasakan permukaan batu menusuk bokongnya hingga ia meringis kesakitan, namun ia lebih menghawatirkan wanita itu karena kini Greta tampak sedih memandangi sobekan gaunnya yang masih tesangkut di kawat-kawat perangkap. Dan begitu menyadari roknya tersingkap, wanita itu cepat-cepat menutupi kakinyanya yang terekspos. Sulit untuk tidak merasa geli atas kejadian itu. Dan meskipun malu, Greta sendiri tidak bisa menahan tawanya saat bertemu tatap dengan Sebastian. Mereka terdiam selama beberapa saat sebelum tawanya kembali meledak. “Oh Tuhan..” Sebastian bangkit berdiri dan langsung menjulurkan tangan untuk membantu wanita itu. Ia mendekap pinggul Greta dengan kuat sehingga wanita itu tidak hilang keseimbangan lagi. Sementara Greta masih merasa geli atas kejadian barusan, Sebastian mendapati tatapannya terpaku pada wajah wanita itu. Tubuh mereka yang berada begitu dekat menguarkan aroma menyenangkan yang menguar dari kulitnya yang lembut. Kedua mata sang lady membesar dan wajahnya yang memerah karena malu hanya membuat wanita itu terlihat semakin cantik. Ikatan rambutnya yang mengendur, telah membebaskan beberapa helai ikal sewarna coklat kayu itu di kedua sisi wajahnya. Seolah hal itu belum cukup menguji Sebastian, bibir wanita itu sedikit terbuka dan dadanya bergerak naik turun dengan cara yang menggoda. Segera setelah Greta menemukan keseimbangannya, Sebastian melepas wanita itu. Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering dan ia merasakan sedikit kekecewaan atas tindakannya sendiri. Seharusnya Sebastian tidak melepas Greta secepat itu, seharusnya ia memberi dirinya kesempatan untuk memandangi sang lady lebih lama. Tapi tentu saja, hal itu akan terlihat konyol. Jadi begitu Sebastian melepaskannya, ia tidak bisa menyembunyikan bukit gairah yang tiba-tiba mengeras di balik celananya. Greta tampaknya menyadari hal itu karena kini kedua matanya membesar dan rona merah kembali menghiasi wajahnya. “Maaf.. ini.. ini konyol sekali..” Sebastian merasa sedikit kesal karena Greta menyebut situasi itu konyol setelah bagaimana wanita itu membuatnya begitu b*******h. Ia dengan cepat menundukkan kepalanya, berusaha meredam hasratnya dan mengembalikan kewarasan yang sempat hilang selama beberapa detik terakhir. “Well.. jelas kalau aku tidak bisa membiarkanmu berjalan sendirian lagi mengingat kau tidak bisa menjauhkan dirimu dari semua perangkap di sekitar sini.” Greta tertawa malu. “Ya, kurasa begitu.” Kini wanita itu bergerak-gerak dengan gelisah. Sebastian masih berpikir kalau Greta merasa malu sampai ia menyadari kalau wanita itu hanya berusaha menutupi bagian gaunnya yang tersingkap. “Oh.. ya.. itu..” Begitu melihatnya, Sebastian segera membuka mantelnya kemudian mengikatkan pakaian itu di pinggul ramping Greta. Mantelnya itu cukup panjang sehingga menutupi sobekan pada bagian belakang gaun Greta. Dan meskipun kelihatan aneh, Greta tampaknya merasa sedikit lega. “Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau kau tidak datang membantuku.” Sebastian mendengus keras, kemudian membimbing wanita itu berjalan menjauhi perangkap. Mereka memutuskan untuk tidak segera kembali ke manor dan berjalan-jalan di sekitar danau. Melihat kondisi pakaiannya yang sobek, para Lord dan Lady akan bertanya-tanya dan karena itu, Greta memutuskan untuk masuk melalui pintu belakang. Meskipun masih ada pelayan yang bekeliaran di sekitar sana, Greta mengatakan kalau tidak akan banyak orang yang menyadari kehadirannya dengan pakaian sobek itu. “Aku minta maaf karena sudah menyulitkanmu,” ucap Greta saat mereka berjalan bersisian di tepi danau yang hening. “Tidak sama sekali. Kenapa kau berpikir kalau kau menyulitkaku?” “Aku tidak tahu, hanya saja.. aku tidak pernah merasa lebih malu daripada sekarang.” Sebastian menatap wanita itu dengan bersungguh-sungguh dan menyunggingkan senyuman tulus saat berkata, “tidak perlu merasa malu. Aku cukup menikmati pemandangannya.” Sebastian sepenuhnya menyadari bahwa ia berusaha menggoda wanita itu, dan usahanya berhasil ketika melihat bagaimana Greta bereaksi atas ucapannya barusan. “Itu bukan sesuatu yang akan diucapkan oleh pria terhormat..” “Siapa peduli?” Sebastian memasang senyum jahil dan ketika wanita itu memandanginya lama, ketenangannyapun runtuh dan senyum lebar mulai menghiasi wajah cantik itu. Sebastian menyadari bahwa Greta bahkan terlihat lebih memikat saat tersenyum lebar. Wanita itu bisa membuat Sebastian memikirkan dirinya sepanjang malam. “Oh tentu saja benar..” “Apa?” “Aku mendengar rumor tentang betapa angkuhnya dirimu dan bahwa kau begitu misterius karena kau begitu sibuk dengan usahamu merayu para wanita di luar sana..” “Para wanita!” Sebastian mengulanginya dengan tidak percaya. Ia melempar pandangannya ke sekeliling, tapi tidak lama sebelum ia kembali menatap Greta yang berdiri memandanginya dengan penasaran. “Berapa banyak?” “Aku tidak tahu.” “Mereka tidak menyebutkan jumlahnya?” “Jadi apakah itu benar?” “Apa kau memercayainya? Kukira kau bukan termasuk orang-orang yang memercayai rumor.” “Aku tidak bergantung pada rumor-rumor itu.. Aku hanya kebetulan mendapati beberapa diantara rumor itu terbukti benar. Jadi aku hanya ingin memastikan yang satu itu.” “Bagaimana menurutmu?” goda Sebastian, jelas bahwa ia tidak ingin memberi wanita itu jawaban yang memuaskan. “Apa aku terlihat seperti yang dikatakan rumor itu?” Greta terdiam sembentar saat mengamati wajah Sebastian, kemudian sembari menyunggirkan senyuman tipis, wanita itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, kupikir tidak. Mereka mengatakan beberapa hal yang sudah jelas salah tentangmu.” Sebastian menjadi penasaran. “Sebutkan satu!” “Rumor itu mengatakan kau seharusnya berambut gelap.” Pernyataan itu nyaris membuat Sebastian terlonjak kaget, tapi ia hanya bergeming selama beberapa saat kemudian mengangkat kedua alisnya. Well, yang satu itu tidak sepenuhnya salah. “Berambut gelap, suka merayu wanita, apa lagi?” “Mereka bilang kau cukup mengecewakan.” “Oh?” “Yang mana kupikir itu tidak sepenuhnya benar.” “Benarkah?” “Ya.” “Apa yang membuatmu berpikir aku tidak begitu mengecewakan?” “Karena aku mendapati kau begitu menarik.” Sebastian berdiri diam, tapi tidak menunjukkan reaksi apa-apa sebelum berkata, “aku tidak pernah mendengar seseorang mengatakan itu padaku.” “Sekarang kau mendengarnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD