Bab 2: Kenangan Masa Lalu

1247 Words
*** Saat meeting bersama kliennya tadi, Marina sulit untuk fokus karena pikirannya terus bergelut tentang Luke dan Vamela. Ketidaksengajaannya bertemu dengan mereka di restoran yang sama membuat Marina curiga mengenai kedekatan mereka. Apalagi ketika Marina melihat keduanya saling bertatapan dan melemparkan senyum, hati Marina semakin gelisah. ‘Rasanya tidak mungkin mereka membahas pekerjaan dengan tawa lepas seperti itu,’ bisik Marina dalam hatinya ketika mengingat kejadian tadi. Pikiran Marina menjadi kacau karena prasangka buruknya terhadap Luke dan Vamela. Namun, untungnya Marina dapat bersikap profesional saat meeting dengan klien sehingga pertemuan berjalan lancar seperti yang diharapkan oleh kedua belah pihak. Setelah selesai meeting, Marina langsung meninggalkan restoran. Dia tidak menemukan keberadaan Luke dan Vamela disana, yakin bahwa mereka pasti sudah pergi. Kembali ke kantor karena jarum jam baru menunjukkan pukul 2 siang saat Marina meninggalkan restoran. Meskipun sebenarnya Marina sudah tidak bersemangat lagi, dia memutuskan untuk melanjutkan sisa pekerjaannya dengan profesionalisme. Meski pikirannya melayang ke kecurigaan tentang Luke dan Vamela, Marina tetap fokus pada tugasnya serta tanggung jawabnya sebagai Manajer keuangan (Chief Financial Officer/CFO) di perusahaan keluarganya. *** Beberapa saat kemudian, di Addison Corporation... Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuat Marina terlonjak kaget di kursi kerjanya. Sebelum mengizinkan masuk, Marina mengangkat pandangannya ke arah pintu. "Masuk," ucapnya memberi perintah kepada seseorang yang mengetuk pintu ruang kerjanya. Pintu dengan segera terbuka lebar. Marina melihat sosok kakak keduanya, Axel, memasuki ruang kerjanya. "Bagaimana hasil meeting tadi?" tanya Axel setelah duduk di salah satu kursi di depan meja kerja Marina. Marina menatap sejenak kakaknya sebelum meraih map pertama di atas tumpukan map lain di samping laptop. Ia menyodorkan map tersebut pada Axel. "Pertemuan berjalan lancar, hasilnya sesuai harapan kita. Semuanya sudah terdokumentasi di sini, kamu tinggal memeriksanya saja," jawab Marina dengan tegas. Axel melirik Marina sebentar sebelum membuka map tersebut. Setelah membaca dengan seksama, ia melipat berkas tersebut dengan rapi. "Baiklah, akan aku periksa nanti," gumam Axel. Marina diam, tidak memberikan respon apapun. Axel kemudian menatap fokus pada adiknya. "Aku dan Clarissa berangkat nanti malam. Kamu bagaimana? Tetap pada keputusanmu?" tanya Axel. Marina menghela napas pendek, "Ya," jawabnya singkat. "Nicolas dan Nicola pasti sangat kecewa," gumam Axel sambil bersiap untuk berdiri dari kursinya. "Aku akan menghubungi mereka nanti. Aku akan kirim hadiah terbaik untuk mereka berdua," ujar Marina, membuat gerakan Axel terhenti dan menatap serius padanya. “Mereka tidak pernah bahagia menerima itu semua. Mereka hanya ingin bibinya ikut merayakan ulang tahunnya, Marina,” ungkap Axel. “Maafkan aku... aku tidak bisa ikut, Xel” Marina bergumam pelan, membuat Axel mendesah kasar. Pria beranak tiga itu langsung berdiri dari duduknya dan segera keluar dari ruang kerja Marina sambil membawa berkas yang diserahkan sebelumnya oleh wanita itu. Marina menatap nanar pintu ruangan yang ditutup agak kasar oleh Axel tadi. Dia paham bahwa pria itu pasti kesal dan kecewa padanya karena, lagi-lagi, dia menolak untuk ikut merayakan pesta ulang tahun keponakannya yang dilangsungkan di Wellington. Selama tiga tahun berturut-turut, keponakan kembar Marina merayakan ulang tahun mereka di Wellington, kota asal kakak iparnya, Clarissa. Namun, Marina tidak pernah ikut merayakan pesta tersebut karena alasan tertentu. Marina menolak pergi ke sana karena dia tidak ingin bertemu dengan seseorang yang telah mematahkan hatinya dan menghancurkan harga dirinya. Pria itu adalah Willem Roberto, yang masih merupakan keluarga dekat dengan kakak iparnya. Enam tahun yang lalu, Marina menjalin hubungan asmara pertamanya dengan Willem. Mereka saling mencintai hingga Marina memutuskan untuk menyerahkan segalanya kepada Willem. Namun, Willem tiba-tiba meninggalkannya tanpa alasan yang jelas, hanya karena kesalahan yang dilakukan oleh Axel, kakaknya. Keputusan Marina untuk tidak bertemu dengan Willem di acara ulang tahun keponakannya merupakan langkah untuk melindungi dirinya sendiri dari rasa sakit yang mungkin kembali muncul. Kenangan buruk dari hubungan masa lalunya masih membekas dalam hati Marina, membuatnya enggan untuk menghadapi situasi yang membuatnya merasa tidak nyaman. *** Flashback 6 tahun yang lalu… “Aduh, Will… rasanya sakit,” keluh seorang gadis berusia 20 tahun. Tubuhnya yang polos diliputi oleh keringat, sementara di atasnya, seorang lelaki berusia 23 tahun menatapnya dengan penuh kasih dan gairah. “Tahan sebentar… sedikit lagi,” bisik sang lelaki, Willem Roberto, kepada kekasihnya, Marina. Mereka baru satu bulan resmi berpacaran setelah lama saling menyimpan perasaan. “Sakit… terasa perih, Will. Aku tidak kuat,” Marina mengeluh, mencengkram bahu kekar Willem dengan kuat. Willem, dengan napas terengah-engah, menggeleng pelan sebelum menempelkan wajahnya di leher Marina. “Kau merintih seperti itu membuatku tak tahan, kau tahu?” bisiknya dengan suara serak. “Batalkan saja, ya. Rasanya sangat sakit, Will. Sungguh, aku tidak berbohong,” Marina merintih lirih dengan suara bergetar. Willem mengangkat wajah— menatap Marina dan menopang bobot tubuhnya dengan satu tangan. Tangan yang lainnya diarahkan ke d**a Marina, menyentuh dengan lembut salah satu area sensitif wanita itu. Dengan reflek desahan Marina mengalun merdu akibat sentuhan lembut tangan lebar Willem. Meskipun masih merasakan perih, tubuhnya juga merespons sentuhan lembut Willem. Willem memperhatikan wajah Marina yang terlihat sayu dan menggoda, ia memanfaatkan momen ketika Marina mulai terlena. Dengan penuh perhatian, Willem bergerak lembut dan berhati-hati, hingga ia berhasil menembus sesuatu yang menghalanginya sejak tadi. Marina, merintih kesakitan dan refleks mencengkram punggung Willem. Wajahnya mendongak ke langit-langit, kedua matanya terpejam rapat, dan ekspresinya jelas menunjukkan rasa sakit yang mendalam. Dengan lembut, Willem merendahkan punggungnya dan membenamkan wajahnya di leher Marina. Ia berbisik di dekat telinga gadis itu, “Terima kasih,” kemudian mengecup lembut telinga Marina sebelum turun ke leher dan memberikan ciuman hangat pada kulitnya yang putih dan mulus. Desahan dan erangan penuh kenikmatan pasangan muda itu terus menggema di udara, memenuhi kamar utama apartemen pribadi milik Willem. Mereka bercinta dengan perasaan menggebu-gebu, saling memuaskan hingga Marina terkulai lemas. * Beberapa hari kemudian, setelah percintaan panas Willem dan Marina di apartemen kemarin, pasangan muda itu tidak pernah melakukannya lagi. Sebab setelah itu, tiba-tiba Willem mendapat kabar kurang mengenakan tentang sepupunya Clarissa. Willem pergi ke Los Angeles karena Clarissa meminta bantuannya. Di sisi lain, Willem tidak memberitahu Marina mengenai kepergiannya. Rumah tangga Clarissa bermasalah pada saat itu. Wanita itu dikhianati oleh suaminya, Axel, yang tidak lain adalah kakak kandung Marina. Clarissa meminta bantuan Willem untuk membawanya pergi jauh dari Axel. Setelah mengetahui pengkhianatan Axel terhadap sepupunya, Willem murka terhadap pria itu. Dengan tindakan gegabah, Willem memutuskan hubungan dengan Marina melalui telepon. “Maaf, Marina, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini,” kata Willem pada Marina lewat sambungan telepon. “Kenapa? Kenapa, Will? Apakah karena Axel menyakiti Clarissa, makanya kamu memutuskan hubungan denganku?” “Aku yakin kamu akan menemukan pria yang lebih baik. Lupakan aku, lupakan semua yang pernah terjadi di antara kita,” ujar Willem dengan kejamnya. “Setelah kamu mendapatkan semuanya? Kamu tega berkata seperti itu padaku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku, Willem?” “Maafkan aku, Marina.” “Kamu… kamu sungguh jahat. Kamu… adalah pria paling jahat yang pernah aku temui, Willem. Aku benci sama kamu!” Tutt… tutt… tuttt… “Will…? Willem?! WILLEM..!” seru Marina setelah panggilan berakhir. Willem memutuskan panggilan sepihak. Gadis itu menunduk ke lantai, meratap dalam tangis pilu. Marina meremas dadanya, menepuk keras berharap dapat mengusir rasa sesak. “Kamu jahat, Willem… kamu…” gadis itu sesenggukan. “Aku benci sama kamu. Aku benci…!” Hancur sudah semua mimpi indah Marina bersama lelaki itu. Harga dirinya diinjak habis-habisan oleh lelaki yang sangat ia cintai. Setelah Willem mengambil sesuatu yang sangat berharga darinya, lelaki itu kini mencampakkan dirinya. Willem meninggalkan Marina hanya karena kesalahan yang dilakukan oleh kakaknya, Axel. “Aku tidak tahu apa-apa, Will… kenapa kamu melibatkan aku?” lirih Marina di sela-sela tangis pilu. Flashback and... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD