Pukul 17:06
Hujan masih turun dengan deras, sedangkan lampu jalanan sudah menyala dan gelap menyapa. Ruangan luas dengan dinding kaca, di dalam sana banyak kursi, meja, dan orang-orang yang sedang menghabiskan waktu mereka.
Seorang wanita duduk dan menatap keluar ruangan, sejak dua jam lalu ia sudah ada di tempat itu, menunggu seseorang untuk memenuhi janji bertemu dengannya.
Meja nomor sebelas, terletak pada bagian sudut cafe, dan sangat pas untuk menatap jalan raya yang saat itu sedang agak padat.
Suara lonceng berbunyi, menandakan seseorang baru saja masuk. Wanita itu segera mengalihkan tatapannya, ia memaksakan senyum kala bertemu tatap dengan orang yang baru saja tiba.
Pria itu Alterio Kalandra, pria tampan bergelar dokter spesialist ahli bedah yang baru saja menyelesaikan gelar S3 nya. Pria Tampan, dengan mata sipit, tubuh yang tinggi, dan kulit yang tidak begitu gelap, membuat wanita manapun enggan melepas pandangan mereka darinya.
Alterio duduk di kursi tepat dihadapan Kiran sambil menaruh jasnya.
"Maaf lama, jalanan macet banget. Udah pesen makanan?" ujar Rio sambil tersenyum.
Wanita itu menggelengkan kepalanya,
"Aku gak lapar, pesen aja untuk kamu."
Dia, Kiran Teona. Wanita yang dikencaninya sejak delapan tahun yang lalu saat mereka masih duduk di bangku SMA.
Rio mengangguk lalu memanggil waiter dan memesan hot chocolate favorite nya. Tak membutuhkan waktu lama, pelayan tersebut kembali membawakan pesanan Rio.
"Terima kasih." Ucapnya pada sang pelayan. Pelayan itu mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan meja mereka.
Kiran menatap dalam pada Rio, "Ada yang mau aku bicarakan Rio," ujar Kiran.
Rio menoleh setelah menaruh kembali gelasnya di atas meja.
"Ada apa? Serius banget." Jawab Rio sambil menggenggam tangan Kiran, Namun perlahan Kiran menarik tangannya, melepas genggaman Rio.
Rio mengerutkan keningnya tak mengerti, untuk pertama kalinya sejak delapan tahun bersama Kiran, Kiran melakukan itu.
"Ada apa?" tanya Rio dengan wajah yang mulai menegang.
Kiran menarik nafas dalam, menghembuskannya secara perlahan, lalu menelan salivanya kasar.
"Hubungan kita, kita akhiri sampai disini Rio," ujarnya sambil menunduk.
Hancur, sehancur-hancurnya. Sakit tapi tak mengeluarkan darah, sakit mendengar apa yang baru saja Kiran ucapkan. Rio berusaha menghadapinya dengan kepala dingin dan tetap menahan emosinya.
"Kenapa?" tanya Rio lirih.
"Aku gak bisa ngasih alasannya, Aku hanya ingin kita berpisah." Jawab Kiran, 'karena aku tidak ingin menyakiti perasaanmu jika aku tiada nanti.' Lanjutnya dalam hati.
"Tapi aku butuh penjelasan Ki," pinta Rio.
Seketika Kiran merasa sesak melihat wajah sendu pria yang dicintainya, matanya mulai memanas dan Kiran berusaha menyembunyikannya di hadapan Rio. Kemudian, Kiran berdiri dari tempatnya, mengambil tasnya lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Rio yang sedang termenung,
Langkahnya terhenti ketika Rio menyambar tangan Kiran tanpa menoleh sedikitpun.
"Kenapa kamu seperti ini? apa yang salah? Katakan Kiran." Lirih Rio memohon sambil terus menunduk.
"Karena aku udah gak bisa melanjutkan hubungan ini. Maaf jika aku menyakiti perasaanmu," Jawab Kiran, 'dan ini jalan yang terbaik untuk kita Rio.' Lanjutnya dalam hati.
Mendengar jawaban Kiran, Perlahan Rio melepaskan genggamannya pada lengan Kiran, dan Kiran dengan mantap berjalan keluar cafe sambil sesekali menghapus air matanya.
Gadis itu berjalan di tengah guyuran hujan, hingga airmatanya tersamarkan. Kiran bersembunyi di balik cafe, bersandar pada dinding kokoh di belakangnya dan menangis melepaskan semua kesedihannya.
'Aku gak mau melihat kamu terluka Rio, terluka karena kematianku.'
***