Demian terkekeh sampai tak menyadari kalau pramusaji memperhatikannya dengan tatapan bingung. Setelah sadar jika dirinya tengah diperhatikan, Demian lantas kembali berwajah kecut sambil mencicipi menu berikutnya yang akan dihidangkan pada pelanggan.
Tibanya ia selesai dengan desert, Demian kembali mencicipi pasta sebelum akhirnya ia bisa berdiri di dapur untuk membuat menu special. Setelah mencicipinya, wajahnya berubah mengkerut. Setelahnya ia langsung membuang pasta tersebut ke dalam tong sampah yang ada didekatnya.
Chef Reyn yang kebetulan melihat itu, langsung menghampiri Demian setelah kepala chef itu memanggilnya lewat satu jarinya dan tatapan bengisnya itu. Dapur bagian pasta tentu saja penasaran, apa yang akan terjadi kali ini. Mereka menghentikan aktifitas mereka memasak pasta sampai instruksi dari Demian dilontarkan.
“Apa ini?” tanya Demian. Tentu saja dengan nada yang begitu menekan bathin.
Chef Reyn yang kebetulan mengeksekusi bagian akhir, tentu saja harus bertanggung jawab dengan kesalahan yang ia buat.
“Pasta oglio dengan saus kerang –“
“Kau sudah mencicipinya?”
Chef Reyn terdiam. Dapur bagian pasta pun hanya bisa terdiam. Staf mereka hanya bisa saling pandang sambil sembunyi-sembunyi mencicipi hasil terakhir. Padahal sebelumnya tidak masalah, tapi setelah kali kedua pengecekan, Demian mengklaim bahwa ada perbedaan rasa kali ini.
Salah satu staf pasta mencoba mencicipinya dan ia bergumam kepada teman sebelahnya, “Ini asin.”
“Bagaimana bisa keasinan?”
Mereka berbisik-bisik mencari tahu apa penyebabnya. Dan hal itu didengar oleh Demian dan chef Reyn sendiri.
“Bagaimana menyelesaikan hal ini? sekitar seratus kilo kerang telah direbus untuk stok hari ini. Dan semuanya menjadi asin.”
Semuanya tampak terdiam dan menunggu. Sementara staf yang tak memiliki masalah dengan dapur pasta, mereka memilih kembali melanjutkan pekerjaan mereka dengan hati-hati.
“Kita bisa menambahkan sedikit lebih banyak gula kan?” bisik salah satu staf kepada rekannya. Seperti tak setuju dengan pernyataan rekannya itu, mereka malah saling berdebat di belakang Demian dan chef Reyn yang tengah diinterogasi.
“Haiis kau ini. ciri khas pasta ini kan aroma dan rasa yang terkeluar dari kuah kerang dan abalone. Mana mungkin menambahkan lebih cita rasa asli dengan gula,” ketusnya yang tak dia sadari didengar oleh Demian dan chef Reyn.
Sejak tadi Reyn sudah tahu akan resikonya. Karena itu ia hanya diam karena mencoba cara tersebut setelah menyadari bahwa kerang tersebut terlalu asin. Sialnya, Demian bisa mendeteksi kesalahan tersebut dengan tepat.
“Jadi itu mengapa kau mencoba menguatkan rasanya dengan gula?”
Reyn mengangguk, “Iya chef –“
“Apa kau seorang pemula?!” bentak Demian. Hingga meja dapur stainless itu bahkan bergetar karena pukulannya yang kuat.
Semuanya tertunduk. Chef kepala lain yang kebetulan datang untuk berganti shift atau menyelesaikan sesuatu di dapur, hanya bisa menggeleng mendengar suara Demian yang mendominasi di dapur tersebut.
“Dia itu –“
“Ah sudahlah. Itu ciri khasnya, kan?” tutur kepala chef senior yang sudah bekerja di hotel Margareth itu. Ia dengan rekannya lantas menuju ruangan lain setelah cukup menonton aksi Demian hari ini lewat pintu dapur.
Sudah menjadi pemandangan yang hampir ‘biasa’ untuk mereka. Aksi Demian yang ekstrem untuk mendikte setiap pekerjaan teamnya. Tidak ada kata penyesalan baginya jika itu harus memindahkan pekerja baru maupun lama ke posisi manapun. Demian Souta yang berhati sedingin es gunung Fujiyama itu, memang tak ada yang bisa membantahnya. Para chef senior juga tak bisa mencegahnya karena mereka mengakui kemampuan lidah Demian yang akurat.
Demian Souta, chef lulusan Le Cordon Bleu itu tak perlu diragukan lagi kemampuannya. Ia bahkan lulus dengan predikat terbaik di angkatannya. Sebagai informasi, Le Cordon Bleu merupakan sekolah kuliner (Culinary) tertua di dunia. Memiliki kampus di berbagai belahan negara, Paris, London, Australia, dan Kanada. Silabus pelajaran mereka berdasarkan ajaran Bapak dari masakan Prancis, Auguste Escoffier, namun juga memasukan cara modern dalam menyajikan makanan. Beberapa lulusannya bekerja sebagai chef di restoran dan hotel ternama, bahkan banyak diantara mereka pun yang menjadi jurnalis kuliner (Culinary), membuka bisnis restoran, dan konsultan makanan.
Pria kelahiran Kyoto – Jepang itu bahkan baru menginjak umur dua puluh tiga tahun saat lulus dari sekolah tersebut. Dan catatan pekerjaannya juga selalu memuaskan di beberapa rastauran ternama dunia. Namun memang harus diakui kekurangannya adalah, ia sama sekali tak punya hati. Dingin dan sombong adalah sebutannya. Itu semua juga sudah tergambar jelas dari kemampuannya. Selalu saja akan berbanding lurus antara jenius dan kesombongan.
“Tapi..apa dibiarkan saja? Aku terus mendapatkan complain dan beberapa curhatan dari staf yang bekerja dengannya,” keluh salah satu kepala chef lainnya.
Tak ada yang bisa mereka lakukan. Para staf harus bisa menyesuaikan diri dengan itu.
“Mereka tidak setiap hari berhadapan dengannya. Jadi..jangan terlalu terbebani.”
Kedua chef senior itu hanya bisa mengangguk sembari menyelesaikan absensi mereka. Tanpa mengetahui dari balik pintu, Demian berdiri sambil mendengarkan. Mereka tak sengaja saling bersinggungan tanpa mengatakan apapun selain tegur sapa seperti biasanya. Benar-benar suasana yang canggung dan kurang akrab untuk pekerja yang bekerja di sebuah tim. Namun Demian tampak tak terganggu dengan hal itu. Apalagi membuat keputusan yang mungkin membuat semua orang akan membencinya.
Beberapa waktu yang lalu sebelum Demian beranjak ke ruang ganti, ia sudah memutuskan bagaimana menyelesaikan masalah kerang yang keasinan dengan cara mengganti posisi Reyn pada rekannya yang menjawab dengan benar masalah yang tengah terjadi itu.
Reyn terlihat pasrah. Mau tak mau ia harus terima jika dipindahkan ke bagian dapur lain yaitu dapur yang menyiapkan dessert atau makanan penutup. Keputusan Demian adalah mutlak. Protes berarti beresiko dipecat dari restaurant tersebut yang itu berarti siap mendapatkan surat pengunduran diri dengan kinerja kurang baik. Bagaikan buah simalakama. Tindakan terbaik adalah legowo dengan apa yang diberikan.
Waktu berlalu begitu cepat. Tim Demian selesai dengan bagian mereka hari ini. Jika semua berjalan sesuai jadwal, harusnya Demian hanya akan datang pada hari senin dan rabu. Namun dalam keadaan tertentu, seperti acara besar dan sebagainya, Demian harus siap hadir bahkan ketika dirinya tengah memiliki jadwal mengajar kelas memasak, panggilan menjadi model atau wawancara. Bahkan waktu untuk memantau restaurannya sendiri juga harus ia atur ulang jika terdapat panggilan darurat memasak di Margareth.
Ketika pulang, suasana yang tadinya terasa menegangkan di dapur, berubah menjadi lebih ceria dan santai. Terlihat Demian juga bisa diajak bercanda di setiap kesempatan. Tapi kali ini, mungkin itu agak sedikit canggung karena insiden chef Reyn hari ini. Beberapa stafnya tampak tidak setuju dengan tindakan Demian hari ini. Mereka kepergok tengah menghindari Demian yang tengah berjalan santai keluar dari dapur. Tapi mungkin tidak bagi Julian yang hari ini ditunjuk untuk menggantikan Reyn. Tampak sikap Julian kali ini sebagai tingkah mencari muka di hadapan Demian. Beberapa staf mulai membicarakan tindakannya itu.
“Chef! Apa kau punya acara sepulang kerja?”
Julian mencoba akrab dengan Demian. Tapi seperti yang telah berjalan selama ini, Demian lebih suka menikmati hidupnya sendiri dengan mengurangi pergaulan dengan orang yang ia anggap tidak terlalu penting itu.
“Kalau kau ingin mengajakku minum sebagai tanda terima kasih, maaf..aku tidak menerima gratifikasi,” ungkap Demian yang terdengar kaku bagi Julian yang dikenal humble oleh yang lainnya. Tapi kali ini dia harus merelakan hatinya sedikit terluka setelah mendengar penolakan Demian itu. Apalagi mendengar alasannya menolak ajakannya.
“Ouh. Sayang sekali. Maaf chef –“ keluh Julian terlihat menyesal namun terlihat pula tak begitu tulus. “Aku akan mengajakmu lagi saat tak ada momen tertentu. Boleh?” ucap Julian, masih berusaha mengakrabkan diri.
Demian terlihat menghentikan langkahnya, kemudian berbalik. Tak lama iapun mengangguk setuju lalu pergi lagi meninggalkan Julian yang akhirnya bisa menyunggingkan senyum lebarnya dibalik punggung Demian yang kian menjauh.
Jalanan cukup lenggang sore itu. Padahal di saat seperti inilah biasanya jalanan kota akan dipadati oleh orang-orang yang hendak pulang ke rumah masing-masing ataupun yang akan melaksanakan kegiatan mereka di sore hingga malam hari. Demian bersyukur, waktunya tidak terbuang di dalam bus. Ia akhirnya sampai ke tempat yang ingin ia tuju bahkan sejak tadi pagi.
Turun dari bus, Demian cukup berjalan santai memasuki sebuah gang sampai ia menemukan pohon mahoni tua yang tumbuh tepat di pinggir jalan. Dan di sebelah pohon itulah, ada sebuah kedai sederhana yang diapit dua gedung bertingkat tiga. Begitu masuk ke kedai, Demian langsung semringah dengan bau yang ia hidu sekarang ini. Bau rempah dan saus yang dapat menggoyang lidah siapapun. Apalagi aroma teh hijaunya. Itu semakin mengingatkan Demian dengan tanah kelahirannya itu.
Bunyi dari bel yang sengaja di gantung di tengah area keluar masuk, menginterupsi seorang lansia yang tengah sibuk menyeduh teh di belakang pantrynya. Sama seperti sang pengunjung, si pemilik yang berkewarganegaraan Korea itu ikut semringah menyambut kedatangannya. Demian merasa tersanjung dengan sambutan tersebut. Apalagi dengan suara super kencangnya -- lansia yang akrab dipanggil Mr. Han itu datang menghampiri Demian yang telahpun duduk nyaman di salah satu spot kesukaannya.
“Kau rupanya. Bagaimana kabarmu?” sapa Mr. Han yang ikut duduk berhadapan dengan Demian di sana. Demian yang biasanya irit bicara dan senyuman, terlihat nyaman bicara dengan sang pemilik kafe. Demian bahkan tak sungkan menghampiri lansia berusia tujuh puluh dua tahun itu dengan pelukan setengah badan.
“Baik. Kau sepertinya semakin sehat Mr. Han,” terka Demian yang dibalas dengan kekehan mister Han yang besar itu.
“Oh tentu. Sehat itu amat penting bagiku diusia seperti sekarang. Apa yang membuatmu mampir ke sini? Aku dengar sekarang kau sangat sibuk.”
“Hum..tentu saja aku datang untuk menikmati mie dingin buatanmu itu.”
“Oh kebetulan sekali! Aku sedang membuatnya bersama muridku,” ucap Mr.Han yang sama sekali tak menyingkirkan senyumannya saat melihat Demian.
Demian sampai menganggap bahwa Mr.Han terlihat bahagia karena kedatangannya.
“Murid? Kau punya murid dan aku ditolak untuk menjadi muridmu?”
Demian terlihat kesal. meski begitu masih saja Mr.Han menanggapinya dengan senyuman bahkan sebuah tawa. “Tunggu di sini. Akan kusiapkan –“
“Aku hanya makan mie dingin buatanmu mister Han!”
“Kau diamlah! Dan duduk saja menunggu miemu datang!” balas mister Han yang tak kalah galak. Demian memilih menuruti permintaan mister Han yang sudah ia anggap seperti orang tuanya itu.
Tak sampai lima menit, mie dingin ala Korea yang biasa disebut naengmyeon itu tersaji di hadapan Demian. Awalnya Demian ragu karena mie tersebut bukan dibuat langsung oleh sang pemilik. Akan tetapi karena mister Han terus membujuknya dengan puppy eyesnya itu, Demian pun setuju untuk mencicipi mie dingin buatan murid Mr. Han langsung.
“Jangan marah jika aku mengkritiknya tajam.”
“Aku menunggu hal itu,” balas mister Han yang tak sabar melihat reaksi Demian sang koki galak.
Mukbang pun dimulai. Demian terlihat berhati-hati untuk menilai. Mulai dari kuah lalu mie berwarna agak keabu-abuan itu, Demian cicipi dengan tenang dan seksama. Setelah semua itu lolos melewati tenggorokannya itu, Demian lantas berkomentar.
“Tidak ada bedanya. Ini mie buatanmu.”
Mr. Han tersenyum lebar. Ia seperti puas sekali mendengarnya, “Benarkah? Tak ada perbedaan sama sekali kan?”
“Yah! Aku yakin. Apa kau sedang bercanda? Bilang padaku kalau muridmu yang membuatnya?”
“Tentu saja tidak. Ini benar-benar dia yang membuatnya.”
Demian melanjutkan menyantap makanan kesukaannya yang bahkan tak bisa ia buat sama persis seperti buatan mister Han. Penasaran, iapun meminta mister Han untuk bisa bertemu dengan murid yang membuatnya iri tersebut.
“Dia membuatku iri. Apa aku boleh berkenalan dengannya?”
“Tentu saja. Dia sedang belajar membuat pasta sekarang,” ucap mister Han yang langsung membuat Demian semakin heran.
“Kau juga yang mengajarinya?”
Mereka jalan bersama menuju dapur yang sederhana dan kecil itu, “Pasta buatanku tak sebaik buatanmu,” gelak mister Han yang langsung memperkenalkan seorang wanita yang tengah berdiri membelakangi mereka itu.
Demian sampai dan terkejut melihat apa yang tengah ia lihat sekarang. Wanita tersebut berbalik begitu mister Han memanggilnya.
“Dia yang membuatnya. Murid yang sudah kuanggap seperti anakku juga, Renata.”
Keduanya saling tunjuk dan terkejut tak percaya, “KAU!!”
.
.
bersambung