Mau

1036 Words
'Harapku bukan tentang kebaikanmu karena aku juga tidak baik. Harapku hanya semoga kita bisa bekerja sama untuk mencapai surga.' My Halal Badboy ~Thierogiara *** Zayn hanya diam bahkan sampai acara makan malam itu selesai, dia juga terus memperhatikan Ulya, gadis itu beberapa kali terlihat ingin membantah namun dia tak punya pilihan lain, sedang Zayn sendiri memang terbiasa tak banyak omong, menyangkal pun nanti Zayn sendiri yang malu dibuat kedua orang tuanya. Zayn bahkan harus pulang dengan naik motornya sendiri karena Rayn dan kedua orang tuanya naik mobil saat ke rumah Ulya tadi. Sampai di rumah setelah memarkir motornya Zayn berjalan cepat menuju ke dalam rumah. "Kenapa ada keputusan seperti itu tanpa ada pemberitahuan sama aku sebelumnya?" tanya Zayn dan kenapa harus dia? Kenapa bukan Rayn saja yang selalu menjadi anak penurut selama ini. "Memangnya kamu nggak mau?" tanya Annita, padahal dia kira Zayn diam karena anaknya itu menerima, rupanya karena memang mau protes di rumah. "Nggaklah! Mau dikasih makan apa anak orang!" kata Zayn, ya walau agak sedikit gila dan tak pernah peduli dengan hidupnya sendiri, tapi Zayn juga tak siap dengan sebuah tanggung jawab sebesar pernikahan. "Tenang pintu rezeki akan terbuka selebar-lebarnya ketika menikah," ujar Briawan dengan santainya. "Pa, anak orang bukan lelucon untuk dibawa ke dalam kehidupan Zayn yang masih kayak gini," kata Zayn. "Kamu nggak perlu memikirkan soal keungan, karena tugas kamu hanya menjaga Ulya." Annita ikut membuka suara. Sementara itu Rayn hanya diam di depan pintu kamarnya memperhatikan semua orang, sungguh dia ada namun seolah tak terlihat, jujur sejak awal mengenal Ulya dia merasa tertarik dengan gadis itu. Ketika mendengar Ulya akan dijodohkan dengan Zayn tentu saja hatinya merasa tak baik-baik saja. Sayangnya Zayn terlahir lebih cepat dari Rayn hingga membuat Rayn harus menerima kenyataan kalau laki-laki itu adalah abangnya. "Tapi Zayn nggak mau nikah Ma, masih umur segini gimana masa depan Zayn?" tanya Zayn, meski hidupnya b****k tetap saja Zayn tak mau menghabiskan waktu menjaga anak orang, bertanggung jawab atas dirinya sendiri saja Zayn belum bisa, apalagi bertanggung jawab atas seorang gadis. "Udah disepakati," kata Annita. "Aku nggak mau pokoknya!" "Kami nggak butuh pendapat kamu, pokoknya kamu akan tetap menikah." Dan semua orang langsung bubar menjadi pertanda kalau Zayn sudah tidak punya pilihan. *** Pagi ini Zayn enggan sarapan pagi dengan kedua orang tuanya, dengan tas tersampir di bahu kirinya dia berjalan santai melewati meja makan, melewati kedua orang tuanya dan juga Rayn. "Zayn, sarapan dulu!" ingatkan Annita. "Nggak laper," jawab Zayn tanpa menghentikan langkahnya. Annita menatap Briawan pasti ini bentuk dari rasa protes anak itu. "Tapi kamu tetap haru makan!" "Nggak laper!" "Nggak usah bawa motor kamu!" ancam Briawan. Zayn yang semula terduduk memasang sepatu langsung berdiri menatap kedua orang tuanya. "Nggak bisa sekali aja nggak usah ngancem-ngancem? Kalian pikir aku nggak punya kehidupan sendiri? Capek tau lahir jadi anak kalian." Setelah sekian lama diam, akhirnya Zayn kembali protes hari ini, menurutnya kedua orang tuanya terlalu jauh mengatur hidupnya. "Nggak bisa kamu jadi penurut kayak Rayn?" tanya Briawan. "Nggak bisa karena aku emang bukan dia! Lagian kalau emang kalian ngerasa Rayn lebih baik dari aku ya udah dia aja yang dinikahin kenapa harus aku?" tanya Zayn, dia tak menyesal terlahir di keluarga ini, namun kenapa mereka tak ada satupun yang berpihak padanya? "Papa akan menghentikan biaya kuliah kamu," ancam Briawan. Zayn membanting tasnya. "Ya udah terserah!!" Dia kemudian berjalan keluar dari rumah naik ke atas motor kemudian memacu kendaraannya itu dengan kecepatan di atas rata-rata, hal itu ditandai dengan gaungan motornya yang sangat memekkan telinga. Zayn menuju tempat pelariannya biasanya yaitu tongkrongan, sebuah warung kecil yang tak jauh dari SMA Pengubah Bangsa, sekolah Zayn dulu semasa SMA. "Udah sampe sini aja lo pagi-pagi," ujar Bram keluar dari warung, sepertinya malam ini Bram memang tidur di sana. "Yang lain ada rencana kumpul nggak?" tanya Zayn. "Katanya pada mau ke gedung tua sih," ujar Bram, gedung tua adalah sebuah gedung terbengkalai yang ada di dekat SMA Pengubah Bangsa, gedung tersebut biasanya menjadi sarang anak nakal ketika cabut kelas. "Suruh pada ke sini ngapa!" "Ya lo suruh sendiri lah manja banget!" "Oke." Zayn lantas mengirim pesan ke grup chat gengnya lalu menunggu semua orang datang. "Kenapa lo?" tanya Bram. "Galau," jawab Zayn diiringi tawa, tawanya penuh kepalsuan sangat kentara kalau dia sedang bosan hidup. Sekitar sepuluh menit kemudian Timot bersama Neo. "Ken mana?" tanya Zayn. "Kuliah, ada kelas pagi," jawab Neo. Zayn mengangguk. "Kenapa lo?" tanya Timot dengan suara menggelegarnya khas orang Medan, menggunakan logat medan tapi bahasanya bahasa Jakarta. "Gue mau dinikahin." Dan kontan saja apa yang keluar dari mulut Zayn itu membuat teman-temannya terpingkal mendengar itu, seorang Zayn menikah? "Gue serius, gue udah nolak, tapi lo pada tau kan selama ini gue diancem terus," jelas Zayn. "Kalau lo nikah bakal tetep tinggal di rumah orang tua lo?" tanya Neo yang tentu saja lebih waras dari Timot juga Bram. "Nggak tau sih." "Mungkin itu bisa jadi jalan lo keluar dari rumah." Neo memberi saran, selama ini rumah Zayn bahkan tak bisa mereka pijak sangking Zayn tak boleh nakal. "Bener juga, kan kalau udah nikah bebas," kata Bram. "Bisa gratis lagi lo sama bini lo." Zayn meninju lengan Timot tentu saja dia tak berpikir sampai sana, apa dia akan tega, melihat wajah menyedihkan Ulya saja rasanya dia ingin ikut menangis. "Lo bakal punya alasan keluar dari rumah lo sekarang, alasannya, ma pa aku kan udah nikah, masa mau tinggal sama kalian terus? Sisanya lo tinggal bujuk bini lo," jelas Neo. Ada benarnya, sangat benar malah. Zayn mengangguk-angguk. "Terus gue cari makannya gimana?" tanya Zayn. "Lo yakin orang tua lo bakal sepenuhnya lepas tangan?" tanya Neo. *** Zayn pulang hampir tengah malam, Rayn masih bangun bahkan masih mengerjakan tugas di meja makan. Zayn mendudukkan dirinya di hadapan Rayn. "Lo kenal kan sama tuh cewek kenapa nggak lo aja sih?" tanya Zayn. "Gue bukan anak pertama." "Lah kita lahir di jam yang sama lagi," kata Zayn, tak yang anak pertama atau kedua, karena kan mereka memang ada berdua dalam kandungan, sayangnya hanya tidak bisa keluar secara bersamaan saja. "Ya udahlah Ulya juga baik." "Yang baik itu cocoknya sama yang baik juga, sama lo," kata Zayn. "Jadi lo nggak mau." "Mau sih setelah gue pikir-pikir, biar gue keluar dari rumah ini." Dan Rayn hanya mengangguk. ***        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD