Seorang pria dengan tubuh besar dan tinggi menjalankan kakinya menuju salah satu kamar di dalam mansion gelap miliknya, pria itu membuka knop pintu kemudian mendorong pintunya perlahan, bunyi decit pintu mengisi keheningan membuat seorang bocah kecil bangun dari simpuhannya ia menatap ke arah sosok pria di ambang pintu dengan air mata yang menggenang di pipinya, bocah itu berjalan dengan merentangkan kedua tangannya meminta pelukan, ia memeluk paha sosok pria tersebut dan menumpahkan air matanya di paha pria itu. "Uncle Gustav, Mommy dia berdarah ... Dia di bawah Uncle, I'm so scared," cicit anak itu dengan menenggelamkan wajahnya di paha pria dengan balutan coat hitam dan jeans senadanya.
Pria bernama Gustav itu berdecak, ia mendudukkan tubuhnya tepat di hadapan bocah tadi lalu merangkum wajahnya yang basah, ia tatap manik bocah itu tajam. "Dengarkan aku Christian, seseorang akan membuatmu kuat ia akan melatihmu dalam berbagai hal, Paman hanya bisa mengurusmu dan kau, kau harus ingat nama ini, Arthur De Lavega. Camkan nama itu dan pastikan kau membalas dendam Daddymu."
"Maksud Uncle Gustav?"
Gustav menyeka keringat di dahi Christian, ia tersenyum lembut kemudian ia memeluk erat Christian sesekali mengecup dahinya. "Uncle sangat mengerti perasaanmu Tian, namun kau harus ingat kau akan di didik keras oleh seseorang dan pastikan kau dapatkan semua yang ia ajarkan," Gustav menjeda kalimatnya ia menatap Christian lekat. "Kau mengerti?" tanyanya memastikan dibalas anggukan dari Christian kecil.
Keesokan harinya, Christian bangun dengan menjulurkan kedua kaki kecilnya di tepi ranjang namun sesaat setelah itu ia mendengar suara pecahan kaca kemudian di susul teriakan histeris dari kamar sang Mommy, dengan penuh keingintahuan yang tinggi ia menuruni tangga dan menemukan Mommy-nya sudah berdarah-darah di tengah ruang keluarga. Tak lama setelah itu para bodyguard dan maid bergerombol datang dan memeriksa keadaan Mommy-nya namun sesaat setelah itu wajah mereka pucat pasih.
"Apa yang terjadi dengan Mommy?" tanya Christian dengan alis yang saling menaut.
"Tuan muda, anda harus segera masuk ke kamar kembali."
"No, aku ingin melihat Mommy!" Namun jeritan dan teriakan Christian tak diindahkan oleh mereka, bodyguard yang bertubuh besar itu membawa tubuh kecil Christian menuju kamar dan mengunci pintunya. Christian menangis di sebalik pintu, ada apa dengan Mommy-nya?
Tepat beberapa jam kemudian Christian baru sadar, sang mommy sudah meninggalkannya untuk selamanya ia menangis kembali secara histeris. Tragis mungkin satu kata itu mampu menjabarkan keadaannya saat ini, baru beberapa hari daddy-nya tiada lalu hari-hari ia lewati dengan mommy-nya yang sering berperilaku aneh dan berakhir meninggalkannya.
***
"Bangun! Kau harus bangun Christian! Ini jadwal mu bertarung!" sentakan tajam dari suara bariton dengan tangan yang sudah melayang berisi rotan yang berakhir di punggung Christian berhasil membuat anak itu meringis kesakitan. Ia menatap sosok pria dengan tubuh besar dan berewok lebatnya menakutkan.
"Hugo, aku terlambat bangun. Maaf, semalam aku berlatih" ucapnya dengan suara rendah. Pria bernama Hugo itu menggelengkan kepalanya. "Ayo bangun Tian! Kau harus kuat dan balaskan dendam ibumu! Wanita yang aku cintai! Cepat bangun!"
"Uncle, tubuhku sakit jangan di pukul lagi," lirihnya dengan air mata yang sudah terkumpul di sudut matanya.
Plak!
"Akh, sakit Hugo!" Christian meringkuk dibalik selimutnya sesaat setelah Hugo memukul punggung dan lengan kanannya. Pria besar itu meraih lengan Christian dan mencengkeram dagu Christian. "Aku membentukmu untuk menjadi mesin pembunuh bagi Arthur De Lavega, dia harus mati di tanganmu Christian! Balaskan dendam mu pada Arthur atas kematian ibumu! Dia depresi karena Arthur! Balaskan Christian! Jangan menjadi orang bodoh yang kalah dengan takdir! Lawan Christian! Lawan Arthur De Lavega!" desis Hugo tajam lalu melepaskan kasar dagu Christian hingga menimbulkan jejak merah di dagu Christian.
Di didik sekeras batu dan di bentuk layakanya robot pembunuh adalah makanan sehari-hari bagi Christian selama dua puluh tahun di masa hidupnya, pria itu tumbuh dengan kegelapan yang menyertainya ia menghormati Hugo melebihi siapapun tanpa terkecuali pamannya, Gustav. Pamannya sudah membawa Hugo untuk membentuknya dan Christian baru sadar Hugo sangat berarti dalam hidupnya hingga ia bisa memulai rencananya dan mulai membalaskan dendam.
"Christian," panggil suara bariton dengan deru napasnya yang hangat menerpa tengkuk Christian.
"Ya, Hugo? Ada apa?" tanya Christian balik dengan sedikit menundukkan kepalanya. Hugo mengangguk kemudian mendudukkan tubuhnya tepat di samping Christian. Ia mengusap sisi wajah Christian lalu mengepalkan kedua telapak tangannya menahan amarah.
"Ibumu adalah napasku Christian, aku hampa saat ia mati. Dan lihatlah Arthur dan keluarganya mereka sangat bahagia layaknya tak memiliki dosa. Haruskah aku yang membalaskan dendam ibumu Christian? Haruskah aku yang membunuh Arthur De Lavega?" teter Hugo dengan menatap langit-langit ruangan. Christian menatap Hugo kemudian menggelengkan kepalanya.
"Uncle ku sudah membuangku dua tahun yang lalu, Hugo. Kau adalah satu-satunya orang yang aku percayai untuk hidupku. Aku tak akan merepotkan mu lagi, akan aku pastikan Arthur De Lavega dalam masalah saat aku mulai menjalankan rencanaku. Terimakasih karena sudah membentukku dan menunjukkan jalanku, kau sangat berjasa melebihi apapun dalam hidupku Hugo. Aku hormat padamu, kau layaknya ayah untukku."
Hugo tersenyum manis saat mendengar ucapan Christian, namun bukan senyum tulus melainkan senyum miring menakutkan yang terukir di bibirnya. "Aku menunggu waktu itu Christian, aku menunggu kehancuran Arthur dan keluarganya." Christian mengangguk dan menatap Hugo dengan bara api di maniknya. "Pasti!"
♣♣♣