Sepuluh

711 Words
Singkat cerita, akhirnya dua pengkhianat ini dinikahkan. Ya, mereka menikah disaksikan warga yang sudah kepalang kesal oleh Papi secara langsung. Jika tadi aku mendapatkan omelan dan makian tentang seorang kakak yang tidak becus menjaga adiknya dan mempermalukan adiknya, maka tidak ada kata-kata apapun yang terucap untuk adik kembarku, alih-alih mendapatkan kemarahan yang sama seperti yang aku dapatkan, Jelita justru mendapatkan tangis menyedihkan dari Mami. Mami sangat sedih anak kesayangannya harus menikah dengan cara yang sangat memalukan seperti ini, bahkan beliau mengatakan pada adik kembarku itu jika segalanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada yang berani menggunjingnya karena Mami dan Papi adalah garda terdepan yang akan membela adikku tercinta ini, Miris bukan? Sayangnya hal ini selalu dapatkan dari kecil. Ketidakadilan yang tidak hanya mencolok mataku, namun langsung menohok wajahku dan menamparku dengan sangat menyakitkan. Disini, akulah yang tersakiti namun tidak sedikitpun aku ditoleh oleh orangtuaku. Lucu sekali rasanya menyaksikan bagaimana pacarku menikah dengan saudari kembarku sendiri. Ingin sekali rasanya aku tertawa keras-keras menyaksikan betapa kadang hidup sebercanda itu dalam mempermainkan setiap pemainnya. "Sekarang, silahkan kalian pergi. Sebelum Mas Juna menikah dengan benar, jangan pernah balik lagi ke komplek ini. Kami para warga sudah sepakat tidak mau menampung warga yang sudab berbuat m***m. Tidak peduli rumah ini punya Anda, kami tidak menerima kalian disini." Kira-kira itulah yang diucapkan oleh Pak RT yang langsung diaminkan oleh warga yang lain sebelum akhirnya satu persatu berpamitan untuk pulang. Baik Mami atau Papi dan kedua pasangan Dajjal tersebut tidak ada yang berani membantah, dan yang paling menggelikan dari semuanya adalah Jelita yang masih berani menantang ucapan dari Pak RT barusan. "Oke kalau begitu, segera saya dan suami saya ini akan melegalkan pernikahan kami. Tapi setelah itu Bapak dan warga sini nggak ada yang boleh larang kami untuk tinggal disini." Semuanya menggeleng. Terheran-heran dengan sikap tidak tahu malu Jelita, bahkan kini pun dia dengan tidak tahu dirinya memamerkan senyum penuh kemenangan kepadaku seakan-akan dia baru saja memenangkan sebuah pertandingan. Hal yang sangat seorang Jelita yang tidak mau kalah dalam hal apapun. Kanaya, anak Pak RT yang hendak pergi tersebut menghampiriku, kembali lagi aku menjadi pusat perhatian dari warga yang hendak pergi. "Yang sabar ya Mbak Juwita, syukur Alhamdulilah Allah kasih lihat sebelum terlambat." Aku tersenyum kecil menanggapi kalimat penyemangat tersebut, aku hendak mengucapkan terimakasih meskipun sebenarnya hatiku amatlah sakit. Orang waras mana yang tidak terluka jika mendapati hari berat sepertiku, walau aku tidak menangis meraung-raung tapi percayalah ada lubang besar bernama kekecewaan di dalam hatiku sana. Sayangnya belum sempat kalimat terimakasih itu aku ucapkan, sudah terdengar lagi Jelita yang main samber kayak angkot kejar setoran, kebiasaannya yang tidak mau kalah dan ikut nimbrung memang sudah berada di tahap yang mengkhawatirkan. "Apaan sih, nggak usah lebay bilang-bilang sabar segala Mbak. Sebelum janur kuning melengkung segalanya bisa terjadi. Kalau belum jodoh bakal tersingkir dengan sendirinya, nih sono buruan pergi." Dengan sikapnya yang memuakkan Jelita mendorongku, tidak hanya itu, kue brownies coklat kesukaan Juna yang sedari tadi terlupakan pun dikembalikan pada tanganku. Sungguh aku benar-benar dibuat tidak habis pikir dengan jalan pikiran Jelita, dia yang antagonis, dia pula yang bersikap galak. Untuk sekilas aku melihat ke arah Juna, dan terlihat jelas sekali jika dia malu dengan sikap istri yang dinikahinya secara siri ini. Senyuman miris terbit di bibirku saat melihat kue indah yang ada di tanganku, aku tidak menyukai coklat namun untuk Juna aku khusus membelinya, dan inilah yang aku dapatkan dari kejutan yang sudah aku rencanakan jauh-jauh hari. Bukan Juna yang terkejut, namun juga diriku yang terkejut mendapati lagi-lagi aku menjadi korban rusuh adik kembarku. Aku tidak pergi seperti yang diminta oleh Jelita, aku justru melangkah menghampiri Juna, senyuman itu masih ada di bibirku saat berhadapan dengan Sang Arsitek yang pernah membuatku terlena dengan segala janji manisnya. Bibir itu bergerak, seakan ingin mengatakan sesuatu namun tidak ada yang terucap. Benar-benar pengecut, pengkhianat rendahan. "Selamat ulang tahun, Juna." Sebelumnya aku melayangkan tamparan kepadanya, tapi kali ini kuelah yang melayang ke wajah pria pengkhianat ini dengan sangat sukses hingga disambut pekik dan sorak dari warga yang belum pulang. Yaaah, ternyata tradisi lempar kue sangat cocok untuk manusia seperti Juna ini. Meski tidak seberapa sakitnya, namun aku puas sudah memberinya sedikit pelajaran. Arjuna, terimakasih ya karena kamu sudah menambah daftar panjang orang yang pernah mengecewakanku karena adik kembarku. Ya, adik kembarku, perusak kebahagiaanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD