Hampir enam bulan lamanya Sekar menjadi pelayan pribadi Prameswari. Segala macam perlakuan dia terima. Dari sifat lembut dan manis wanita itu, terutama ketika ada Wijaya, juga perlakuan kasar saat dimarahi.
Putri yang katanya memiliki sifat dan budi pekerti yang baik, ternyata juga memiliki kekurangan. Prameswari akan mengamuk jika apa yang diinginkan tidak sesuai dengan kehendaknya.
Seperti sekarang, saat air mandi yang harusnya diisi dengan kembang tujuh rupa, tetapi hanya tiga yang ada. Itu membuat Sekar pusing tujuh keliling.
"Kangmas mau menginap di kamarku malam ini. Aku harus tercium harum supaya dia betah dan merasa senang," sungut Prameswari sambil masuk ke dalam bak manadi.
Sekar mengambil kain dan mulai menggosok punggung sang putri. Dia membuang pandangan saat melihat bekas tanda merah yang memenuhi hampir seluruh tubuh wanita itu.
Sekar menjadi takut. Dalam hati dia berdoa agar jangan sampai menjadi selir lelaki itu.
"Ambilkan aku handuk. Lalu siapkan pakaian yang paling bagus."
"Baik, Ndoro."
Sekar meninggalkan Prameswari dan membuka lemari, mengambil sebuah handuk dan kebaya berwarna kuning gading. Seingatnya Wijaya sangat suka warna ini. Dulu saat remaja, setiap kali dia memakai baju dengan warna ini, lelaki itu akan memujinya.
Tangan mungilnya mengusap kebaya yang lembut dan bagus itu. Kainnya pasti terbuat dari benang sutra. Baunya harum karena ditaburi minyak wangi. Ada payet-payet cantik yang dijahitkan di sekitar leher.
"Mana bajuku?"
"Ini, Ndoro."
"Pakaikan."
Tanpa malu Prameswari membuka handuk dan membiarkan Sekar memasangkan semua pakaiannya.
"Duduk, Ndoro." Sekar menarik kursi karena dia akan menyanggul rambut panjang milik sang putri.
Tangannya mengambil botol minyak rambut dan menuang isinya di tangan, lalu menggosoknya pelan. Dengan perlahan, gadis itu melumuri setiap helai rambut Prameswari hingga terlihat mengkilap.
"Yang rapi sanggulnya, Kar. Biar Raden makin senang," titahnya.
"Nggih, Ndoro."
Tangan Sekar sangat lincah menyisir dan membentuk rambut itu menjadi sebuah lilitan yang rapi. Hasilnya sungguh memuaskan sehingga wajah Prameswari terlihat semakin cantik.
"Aku cantik, ndak?" Dia bertanya sambil tersenyum senang yang terpantul di kaca.
"Cantik sekali. Ndoro sangat cocok dengan Raden."
Dahi Prameswari berkerut, lalu berkata, "Kalau memang aku cantik, mengapa Wijaya menyukai wanita lain?"
Sekar tersentak akan ucapan itu. Dia tahu apa maksudnya. Prameswari sedang menyindir.
"Saya ndak tau, Ndoro."
"Dia tidur denganku. Tapi selalu bermimpi dan menyebut nama wanita lain."
Pramewari menatap Sekar dengan tajam, seolah-olah mengatakan bahwa gadis lain itu adalah orangnya.
"Saya ndak ngerti maksud, Ndoro Ayu," elaknya.
Sekar tak mau berasumsi siapa wanita yang selalu disebut Wijaya dalam mimpi. Bisa saja putri dari kerjaan lain. Bukankah dia pernah menempuh pendidikan di negara seberang.
"Kami sudah enam bulan menikah dan aku belum hamil sampai sekarang. Aku dengar Wijaya akan segera mengambil selir," lanjut Prameswari. Ada nada kecewa dalam suaranya, tetapi wanita itu berusaha tegar.
Sekar meneruskan pekerjaannya tanpa menjawab. Pembicaraan ini ibarat simalakama. Jika dia mengomentari nanti bisa salah menjawab. Jadinya lebih baik mendengarkan. Prameswari sedang membutuhkan seseorang untuk mendengarkan keluh kesahnya.
"Kalau kamu yang dipilih menjadi selir, apa kamu mau menerima, Kar?" pancing Prameswari. Matanya melirik gadis itu berulang kali untuk memastikan.
"Tentu saja ndak mau, Ndoro. Saya masih mencintai Panglima walaupun dia sudah ndak ada," jawabnya jujur.
"Memangnya calon suami kamu itu benar-benar menghilang?" tanya Prameswari penasaran. Berita ini sempat dia dengar dari cerita pelayan ratu, saat mereka datang berkunjung.
"Nggih, Ndoro. Sampai sekarang belum ditemukan jasadnya. Saya merasa dia masih hidup. Tapi entah di mana," ucap Sekar. Matanya menerawang dengan pikiran yang berkelana.
"Tapi aku lihat Wijaya dekat denganmu, Kar." Ternyata Prameswari masih penasaran dengan pelayannya itu.
"Itu dulu sewaktu masih kecil, Ndoro. Saya cuma abdi. Mana berani dekat dengan pangeran," jelasnya lagi.
Semakin lama, pertanyaan Prameswari semakin menyudutkan. Sekar harus berhati-hati saat menjawab. Jika tidak dia bisa celaka. Wanita yang sedang cemburu itu berbahaya. Apalagi suaminya berencana memiliki istri baru.
"Jangan-jangan kamu yang dipilih jadi selirnya," tuduh Prameswari. Sejak tadi dia berusaha mengorek info dari gadis itu, tetapi jawaban Sekar kurang memuaskan.
Mendengar ucapan tak enak dari Prameswari, Sekar segera mengambil minyak wangi dan mengoleskan cairan itu ke baju sang putri.
"Ndoro sudah cantik. Saya mau ke dapur mengambil makan siang. Habis mandi Ndoro pasti lapar," katanya mengalihkan pembicaraan.
"Ya sudah. Sana pergi!" ucapnya dengan sedikit ketus.
Sekar membungkukkan badan kemudian keluar dan menutup pintu dengan pelan. Langkah kakinya sedikit tergesa-gesa saat menuju ke belakang keraton tempat, di mana dapur berada.
"Kar!"
Sebuah suara mengagetkannya. Wanita itu menoleh dan mendapati Wijaya tersenyum melihatnya.
"Raden," sapanya hormat.
"Mau kemana buru-buru?" tanya Wijaya berbasa-basi.
"Ke dapur menyiapkan makan siang Ndoro Ayu," jawabnya.
"Biar pelayan yang lain saja, Kar. Kamu ikut aku sebentar," pinta Wijaya.
Sekar menggeleng. Dia pernah dijebak satu kali saat membawakan makan untuk lelaki itu. Lagipula, tadi katanya Wijaya akan datang mengunjungi Prameswari. Lalu mengapa malah mengajak dia? Sungguh mencurigakan.
"Kamu kenapa, toh? Setiap ketemu aku begitu." Mata lelaki itu menatapnya tajam.
"Ndak apa-apa, Raden."
"Apa mau aku gendong biar menurut?" tawar Wijaya.
Mata Sekar melotot. Dia hendak melangkah menjauh saat lengannya dicekal dengan keras.
"Ikut aku sekarang! Jangan mbantah, Kar."
Suara Wijaya yang mulai meninggi itu membuat Sekar takut. Apalagi tubuh lelaki itu itu cukup besar dan jangkung.
"Raden mau apa?" tanya Sekar penuh selidik.
"Waktu ke kota aku membeli sesuatu untukmu. Barangnya ada di kamar."
Mereka berjalan kembali menuju keraton. Sekar seperti diseret karena Wijaya tak mau melepas tangannya. Gadis itu semakin melotot saat sang raden menyuruhnya masuk ke kamar.
"Ndak mau!" tolaknya tegas.
Mendapat penolakan, Wijaya membuka pintu dan mendorong tubuh mungil itu hingga terhuyung ke dalam. Sekar berjalan menjauh dan menatap sekeliling dengan waspada.
Wijaya yang bisa menebak pikiran gadis itu hanya mengulum senyum. Lalu, dia membuka lemari dan mengeluarkan sebuah kotak perhiasan.
"Untukmu." Wijaya menyodorkan kotak itu kepada Sekar.
"Apa ini?"
"Buka saja."
Tampaklah sebuah kalung emas yang sangat bagus dan jumlah gramnya lebih besar dari yang dipakainya sekarang. Sekar menatap Wijaya dengan penuh tanda tanya.
"Pakai," titah Wijaya.
"Tapi saya sudah punya kalung," jawabnya.
"Kalung kamu yang lama dibuka saja. Ganti sama yang ini," kata lelaki itu membujuk.
"Ndak mau. Ini sangat berarti untuk saya," jawab Sekar lagi. Tentu saja dia tak mau melepasnya. Kalung ini ada hadiah pertunangan dari Kamandanu.
"Ya dilepas sebentar. Nanti dipasang lagi."
Sekar menggeleng. "Terima kasih Raden sudah membelikan ini. Mungkin nanti saya akan memakainya, tapi ya ndak sekarang."
"Tapi aku ingin melihatnya sekarang, Kar. Jauh-jauh aku pergi ke kota karena tugas. Lalu mampir dan mencari kalung ini untukmu."
Sekar menatap Wijaya dengan gamang dan tetap bersikukuh untuk tidak memakainya sekarang. Lagipula ini sudah siang. Prameswari belum makan sejak tadi. Wanita itu bisa mengamuk dan dia yang menjadi sasaran.
"Nanti kalau sudah saya pakai, saya akan memperlihatkannya kepada Raden," ucapnya memohon.
"Apa perlu aku bantu melepasnya, Kar? Kamu masih saja keras kepala seperti dulu," ucap Wijaya sembari berjalan mendekat.
Sekar merespons itu dengan berjalan mundur. Gadis itu berusaha menghindar ketika Wijaya hendak meraih tubuhnya.
"Kalau boleh, milih aku lebih suka melepas kembanmu dari pada kalungnya," ucap Wijaya tanpa ragu. Tangannya meraih tubuh mungil itu dengan cepat, namu gagal. Sekar berhasil mengelak.
"Raden mau apa? Mau menjebak saya?" tuduhnya.
"Kalau iya?" tanya Wijaya memancing.
"Licik!" umpatnya.
Sekar tak menyangka jika sahabat kecilnya telah banyak berubah. Wijaya yang dulunya sopan dan baik, kini berubah keji dan hendak menjebaknya.
"Kalau ditangkap kita pasti dinikahkan. Dan memang itu yang aku mau sejak dulu," kata Wijaya tenang. Lelaki itu mencoba meraih lagi dan kali ini berhasil.
Sekar berusaha meronta. Kotak kalung itu terjatuh dan isinya berhamburan di lantai.
Wijaya menatapnya marah. Lelaki itu mendorong Sekar hingga tubuhnya jatuh ke tempat tidur. Dengan cepat dia mengunci kedua lengan gadis itu agar tak bisa bergerak.
"Kamu ini memang bandel, Kar. Ndak mau nurut apa kataku."
Napas Wijaya memburu. Hasratnya kembali bangkit dan ingin disalurkan sekarang. Lekaki itu sudah tak peduli jika sikapnya bisa nencemarkan nama baik mereka.
Sekar kembali meronta, tak terima jika diperlakukan seperti ini. Entah setan apa yang sedang merasuki Wijaya hingga berbuat nekat. Gadis itu masih berusaha mempertahankan kehormatan diri.
"Tolong!" Wanita itu berteriak saat Wijaya mulai menguasainya.
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dengan keras. Beberapa orang masuk dan tercengang melihat mereka berdua. Beberapa yang lain malah membuang pandangan karena malu melihatnya.
"Kalian?"
Sekar dan Wijaya terbelalak saat melihat siapa yang muncul di depan pintu. Raja dan Ratu menatap mereka dengan geram. Sementara para menterri menutup wajah dengan tangan. Apa yang mereka lakukan memang tak pantas.
Sekar mendorong tubuh Wijaya dengan keras, kemudian bangun dan membetulkan pakaiannya yang sebagian terbuka. Gadis itu langsung berlutut memohon maaf.
"Ampun, Kanjeng Ratu. Saya ndak melakukan apa-apa."
Sekar bersimpuh di kaki Ratu sembari meneteskan air mata. Dia takut jika dituduh telah berbuat macam-macam dengan Wijaya. Padahal lelaki itu yang menjebaknya.
"Kamu memang keterlaluan, Wijaya!" Raja berjalan mendekati putranya dan menampar lelaki itu dengan keras.
Wijaya meringis kesakitan dan mengusap darah yang menetes di bibirnya. Sementara itu Sekar menangis dalam pelukan Ratu.
"Suruh orang untuk memanggil Daksa dan Ratih. Mereka berdua harus dinikahkan!" titah Raja.
Sekar meraung tidak terima. Sementara itu, Wijaya tersenyum menang. Rencananya berhasil sempurna. Lelaki itu melirik ratu dan mengangguk sebagai tanda terima kasih. Tak mengapa jika raja marah dan menamparnya. Asalkan Sekar menjadi miliknya.