Kepulangan

1178 Words
Hiruk pikuk terdengar seantero tempat ini. Hilir mudik orang beraktivitas sejak subuh tadi hingga siang ini tiada henti. Keraton sudah disulap menjadi lebih cantik dengan berbagai macam hiasan. Suara gamelan juga sejak tadi terdengar, ditabuh oleh beberapa abdi dalam dengan suka cita. Para abdi berbagi tugas. Ada yang membersihkan halaman, ada juga yang berjaga-jaga dan mengawasi keraton. Sementara itu, para pelayan di dapur sibuk menyiapkan hidangan terbaik untuk disajikan. "Sekar! Bawa rangkaian bunga ini ke depan," perintah salah satu pelayan. Sekar tergopoh-gopoh mengambil nampan yang berisikan berbagai macam kelopak bunga. Harum aromanya menguar hingga ke indra penciuman. "Hati-hati jangan sampai jatuh," ucap pelayan itu mengingatkan. Sekar bergegas membawa nampan itu ke ruang pertemuan, tempat para petinggi keraton berkumpul. Dia meletakkannya dengan hati-hati lalu melihat suasana sekeliling pendopo. Lalu, setelah merasa puas, gadis itu kembali ke tempatnya untuk menyelesaikan pekerjaan. "Radenmu akan pulang. Apa kamu ndak senang?" tanya pelayan itu menggodanya. Sekar mengulum senyum tetapi dengan cepat menguasai diri. Tentu saja dia merasa senang, hanya tak terlalu mau menampakannya. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi setelah ratu memutus berita mengenai putranya. Sekar tentunya menyimpan rasa penasaran dan keingintahuan mengenai kondisi Wijaya. "Semua orang pasti senang karena Raden akan pulang. Begitu pula denganku," jawab Sekar. "Aku jadi penasaran. Bagaimana wajahnya setelah bertahun-tahun pergi merantau untuk belajar," lanjut pelayan tadi. "Pasti ndak banyak berubah. Sama seperti dulu," ucapnya. Sekar sibuk memotong tangkai bunga. Jika kelopaknya tadi akan digunakan untuk taburan, maka yang ini akan disimpan di pot-pot yang akan menghiasi ruangan. "Apa kamu ndak menaruh hati kepadanya? Bukankah dari kecil kalian selalu bermain bersama?" Sekar tersenyum menjawab pertanyaan itu. Memang dia dan Wijaya sejak dulu sangat dekat. Namun, menginjak usia remaja, putra ketiga dari raja itu dilarang bergaul dengan sembarangan orang. Sebagai salah satu penerus keraton, seorang Raden dituntut untuk banyak belajar. Apa saja, tak hanya berkuda dan memanah. Dia juga diajari berdagang dan mengelola wilayah. Sejak itu, mereka jarang bermain bersama. Apalagi menginjak usia lima belas tahun, Sekar sudah mulai diminta menjadi pelayan. Ibunya masih bekerja sebagai juru masak, sedangkan ayahnya beralih tugas mengurus peternakan kuda. "Aku hanya pelayan. Ndak ada kisah cinta antara kaum Sudra dan Ksatria." Sekar mengucapkan itu dengan yakin. Lagipula dia memang tidak menaruh hati kepada Wijaya. Ada laki-laki lain yang saat ini menarik perhatiannya. "Jika aku jadi kamu, maka aku akan mendekatinya. Usia Raden sekarang sudah menginjak dua puluh tahun. Sepertinya Kanjeng Ratu menginginkan dia menikah," lanjut si pelayan tadi. Sekar termenung sejenak. Jika Wijaya berusia dua puluh tahun, itu berarti dia sendiri sudah delapan belas tahun. Pantas saja ayah dan ibunya kerap menjodohkan dengan beberapa lelaki. "Aku dengar juga begitu. Kenjeng Gusti sering sakit-sakitan. Mungkin Raden akan meneruskan tahta." Sekar kembali teringat akan kebersamaannya dengan Wijaya dulu. Mereka yang begitu akrab satu dengan yang lain. Lalu, saling merasa sungkan setelah sama-sama dewasa. "Satu lagi. Akan ada banyak putri yang diundang di acara nanti malam. Aku rasa mungkin salah satu akan menjadi jodohnya Raden." Mereka berdua asyik berbincang. Lalu tak lama pintu gerbang terbuka. Bunyi derap kuda yang memasuki halaman istana menggema hingga ke dalam. Banyak pelayan yang keluar untuk menyaksikan kedatangan putra sang raja. Sekar dan pelayan tadipun tak terkecuali. Mereka meninggalkan pekerjaan dan berlari menuju ke halaman keraton. Tampak sosok gagah keluar dari dalam tandu. Tubuhnya tinggi menjulang dengan kulit yang putih bersih. Semua orang menatapnya dengan kagum. Ada juga yang diam-diam menaruh hati. Sekar berdiri paling belakang. Dia mencoba berjinjit, tetapi tetap tak tampak. Tubuhnya yang mungil dan pendek membuatnya kesulitan melihat. Akhirnya gadis itu memilih mundur ke belakang dan menatap yang lain sedang melambaikan tangan ke arah raden. Wijaya Kusuma. Putra ketiga dari Penembahan Batara Kusuma, raja di wilayah selatan ini. Selama tiga tahun ini dia pergi ke negara tetangga untuk menempuh pendidikan. Perjalanan jauh dengan menggunakan kapal laut tak menyurutkan niatnya untuk menuntut ilmu. "Hei, aku juga mau lihat!" Sekar mendorong salah seorang pelayan yang berdiri di depannya. Sayangnya, gadis itu kehilangan keseimbangan sehingga terjatuh. Tanpa disadari kainnya tersangkut pada sebilah kayu. Kembannya hampir saja terlepas. "Kamu ndak apa-apa, Kar?" tanya seseorang. Sekar mendongak. Tampaklah seorang lelaki tampan dengan pakaian prajurit yang gagah. Di pinggangnya ada sebilah pedang yang terbungkus rapi dalam selongsong. Dialah panglima keraton. "Ndak apa-apa, Panglima," jawab Sekar gugup. Mereka saling bertatapan dengan wajah merona. Sudah satu tahun ini, keduanya saling mencuri pandang. Saling memberikan perhatian secara diam-diam. "Hati-hati. Kamu bisa terluka." Panglima mengucapkan itu dengan wajah memerah. Dia memalingkan pandangan ketika penutup d**a Sekar tersibak sebagian. Sebagai laki-laki normal, tentu saja itu merupakan pemandangan indah baginya. Sekar menunduk dan menutup tubuh depannya dengan sebelah tangan. Jangan sampai itu dilihat orang lain kecuali suaminya nanti. Dia membalikkan badan dan menyimpul kain, lalu merapikan rambut. "Ayo, aku bantu!" Panglima mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. "Terima kasih," ucap Sekar malu. "Lain kali jangan pakai kemban. Kamu menggoda mata kami untuk melirik. Apa kamu ndak punya kebaya?" Panglima bertanya sembari mencuri-curi pandang. Wajahnya seketika merona ketika Sekar membalas tatapan itu. Lalu, mereka sama-sama memalingkan wajah. "Aku tadi sedang merangkai bunga. Ndak keburu ngambil selendang. Lalu ada bunyi kereta. Kami mau melihat kedatangan Raden," jawab Sekar polos. "Oh. Tentu saja. Kamu mau ketemu dengan kekasih masa kecil?" Semua orang di keraton tahu bahwa Sekar adalah sahabat Wijaya sejak kecil. Oleh karena itu, tak ada lelaki yang berani mendekatinya sekalipun diam-diam menyimpan suka. "Dia bukan kekasihku. Aku masih sendiri. Belum dimiliki oleh siapa pun." Sekar menjawab sembari menundukkan kepala. Tangan kecil itu memainkan ujung kain sehingga membentuk sebuah simpul. Bibirnya gemetaran setiap kali menjawab pertanyaan dari sosok gagah di depannya. "Oh syukurlah. Jadi aku masih punya peluang." Panglima mengucapkan itu dengan senang. Sudah lama dia memperhatikan Sekar. Sejak gadis itu masih remaja hingga kini tumbuh menjadi dewasa. Usia mereka memang terpaut cukup jauh. Tahun ini dia bahkan memasuki angka 28. Perbedaan usia sepuluh tahun itulah membuat Panglima agak ragu untuk melakukan pendekatan. Sehingga di antara para pengawal istana, dia dijuluki perjaka tua karena tak kunjung menikah. Padahal banyak gadis yang mendekati karena wajahnya cukup tampan. Namun, hatinya telah tertambat kepada Sekar, sang primadona keraton. Ada berita yang menyebar bahwa Sekar akan dijadikan selir oleh salah satu pangeran di keraton ini. Entah yang mana, karena raja memiliki tiga putra. Siapa saja yang diam-diam menaruh hati kepada gadis itu mulai menjaga jarak. Jangan sampai raja marah dan mengusir mereka karena berani berbuat lancang. Sekar, sekalipun dibebaskan dan dijadikan pelayan, diam-diam telah diawasi dan dijaga oleh beberapa pengawal. "Maksudnya?" Sekar berpura-pura tidak tahu, padahal malu. "Ah, lupakan. Kembalilah ke tempatmu. Nanti malam akan ada acara penyambutan. Aku dengar kamu akan menari bersama yang lain. Apa itu benar?" tanya Panglima. "Kamu benar. Kanjeng Ratu memintaku menari untuk menyambut Raden Wijaya." Sekar mengucapkan itu dengan bersemangat. Ini pertama kalinya gadis itu akan tampil dan unjuk kepiawaian dalam menari. Tentu saja dia merasa senang. "Jangan terlalu banyak berdandan. Nanti banyak yang tergoda melihat kecantikanmu," bisik lelaki itu, lalu pergi begitu saja. Sekar masih terpaku, tak menyangka bisa berbicara lama dengan sang pujaan hati. Kamandanu, panglima perang yang gagah perkasa. Pemimpin perang yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Sekar berdoa dalam hati, semoga kelak jodohnya adalah lelaki itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD