Restu

1024 Words
Rahang Wijaya mengeras saat mendengar penuturan Daksa yang meminta izin untuk menikahkan putrinya. Lelaki itu mengusap pipi yang sempat memerah karena ditampar oleh Sekar. Wijaya merasa menyesal, tetapi semua sudah terlambat. Entah mengapa ketika bertemu kembali dan melihat gadis kecilnya itu telah banyak berubah, hasratnya sebagai seorang laki-laki berontak. Selama ini, dia tidak pernah bermain dengan wanita seperti yang kakak-kakaknya lakukan. Wijaya hanya tekun belajar demi menata masa depan. Dia akan menjadi satu-satunya oangeran yang kelak akan menggantikan posisi raja. Sehingga, kepintarannya harus melebihi yang lain. "Putri hamba sudah dipinang oleh seorang lelaki, Kanjeng Gusti. Hamba mohon izin untuk mengadakan pesta pertunangan sederhana di pendopo sebagai ungkapan rasa syukur," ucap Daksa dengan lancar. Daksa sudah berdiskusi dengan istrinya. Pada saat dia mengatakan itu, Ratih setengah tak percaya. Istrinya langsung setuju karena Kamandanu merupakan panglima di keraton yang namanya sudah termasyur. Dia bahkan diberikan tempat tinggal khusus atas jasa-jasanya selama ini. Bagi Ratih, tak mengapa jika putrinya tak menjadi selir. Kemewahan memang di depan mata, tetapi tidak dinikahi secara resmi. Jika raja atau pengeran merasa bosan, maka selir bisa saja dibuang. Namun, jika Sekar menjadi istri Kamandanu, maka mereka akan hidup langgeng seperti dia dan Daksa. "Aku tidak keberatan dengan itu. Lagipula putrimu sudah dewasa. Dia pantas menikah dan memiliki keluarga sendiri," jawab Raja, yang disetujui oleh anggukan dari Ratu. Sekar anak yang baik, ceria dan suka membantu. Semua orang di keraton sangat menyanyanginya. Memang ssmpat beredar kabar bahwa dia hendak dijadikan selir atas keinginan ratu. Namun, keputusan itu belum sepenuhnya mutlak, hanya kabar angin yang sempat berhembus. "Kami akan meminta abdi dalam menyiapkan pesta. Kalian sudah lama mengabdi. Tidak mengapa jika biayanya ditanggung oleh keraton. Jangan merasa sungkan." Kali ini ratu yang berkata, padahal dalam hatinya menyimpan kecewa. Dia tahu jika Wijaya menyukai Sekar. Namun, sebuah perasaan tentu saja tidak bisa dipaksakan. Sa vat Daksa bercerita tadi, Ratu mendengarkan dengan seksama. Sekar dan lelaki itu saling mencintai walaupun namanya belum disebut. Dan mereka tak boleh menghalangi niat baik itu. Daksa benar-benar berhati-hati saat menuturkan semua rencana, agar tidak ada pihak yang tersinggung. Tadi dia sempat melihat kekesalan di raut wajah Wijaya. Namun, lelaki paruh baya itu berpura-pura tidak tahu. Jika saja pelaku pelecehan itu bukan Wijaya, mungkin Daksa akan menghajar orang itu karena telah berbuat lancang kepada putrinya. "Kapan rencanamu akan mengadakan pesta itu?" tanya Raja. "Minggu depan, Kanjeng Gusti," jawabnya. "Baiklah. Kanjeng Ratu yang akan mengurusnya. Agar di harinya nanti pendopo sudah dihias dan makanan disiapkan," lanjut Raja. "Terima kasih, Kanjeng Gusti. Hamba merasa lega karena semua sudah setuju." "Siapa yang bilang kalau semua sudah setuju?" ucap Wijaya. Ucapannya membuat semua orang di ruangan itu kaget. Ratu dan beberapa selir yang lain mengulum senyum saat Wijaya menyatakan keberatan. Sejak dulu, mereka sudah tahu mengenai perasaan lelaki itu. "Maksud Raden?" Daksa berpura-pura kebingungan. Lelaki itu pikir semua akan berjalan lancar hari ini. Namun, jika ada yang bisa mempengaruhi keputusan Raja, maka pertunangannya bisa dibatalkan. "Aku--" "Cukup Wijaya!" Terdengar suara ratu menegur putranya. "Tapi--" "Kamu boleh pergi, Daksa. Kami merestui pertunangan Sekar," lanjut ratu. Wijaya kembali duduk dengan napas tersengal dan menahan emosi. Tangannya terkepal dengan erat. Lelaki itu tak bisa membayangkan jika sampai Sekar dimiliki oleh orang lain. Bertahun-tahun Wijaya memendam perasaan itu. Cinta yang sejak kecil tumbuh karena kebersamaan mereka. Dia bahkan pergi merantau untuk belajar. Agar kelak jika Sekar menjadi selirnya, ilmu yang didapat bisa diajarkan kepada gadis itu. Sayang, Wijaya kalah cepat karena sudah ada orang lain yang mendahuluinya. Namun, siapa gerangan lelaki itu. Sejak tadi Daksa tak menyebut nama. Dalam hati Wijaya menduga-duga jika yang lain sudah mengetahuinya. Sementara hanya dia yang tidak dikabari. Jika memang benar begitu, maka dia akan murka. "Baik, Kanjeng Ratu. Hamba pamit undur diri. Matur nuwun." Daksa hendak berbalik dan keluar dari ruangan itu ketika terdengar Raja berkata. "Daksa. Siapa yang akan menjadi suami Sekar? Kamu lupa mengatakannya tadi." Wijaya tersenyum mendengar itu. Kali ini jantungnya berdetak kencang menunggu jawaban Daksa. "Calon suami putri hamba adalah ...." Matanya berkeliling menatap satu per satu orang yang ada di ruangan itu. "Katakan saja, Paman." Wijaya tersenyum penuh kemenangan. Dia akan membuat perhitungan dengan siapapun yang telah merebut gadisnya. "Panglima Kamandanu." Seketika ruangan menjadi hening. Bisik-bisik mulai terdengar. Wijaya membuang pandangan kesal. Jika itu memang lawannya, maka dia harus menggunakan cara lain untuk merebut Sekar. Tidak mungkin dia menandingi Kamanadanu dari segi ilmu bela diri. Sekalipun statusnya adalah seorang pangeran, Wijaya tak bisa berbuat semaunya. Semua gerak-geriknya diawasi oleh Ratu. Apalagi Kamandanu adalah salah satu prajurit kesayangan Raja. Setelah mengucapkan itu, Daksa keluar dari ruangan dan memberi hormat. Sementara itu, Wijaya langsung meninggalkan ruangan tanpa berpamitan kepada siapa pun. Di dadanya terbakar amarah yang meluap. *** Di kamarnya, Wijaya terdiam sambil berbaring. Sebuah bantal berada di pelukan. Setiap malam lelaki itu selalu membayangkan wajah Sekar yang ayu, juga kemolekan tubuhnya. Rasanya dia tak rela jika sang pujaan hari dijamah oleh orang lain. Kepala Wijaya sakit karena terlalu banyak berpikir. Sepertinya, dia akan menemui sang ibu untuk meminta solusi. "Kar. Aku sangat mencintaimu. Jangan menikah dengan yang lain, Kar. Kamu hanya milikku," ucapnya sambil berbicara dengan bantal. Di dalam bayangan Wijaya, di depannya kini adalah sosok Sekar yang sedang berbaring. Benaknya melayang saat kejadian itu, di mana hangatnya tubuh Sekar sempat dicicipi sebentar. Sayang, ternyata dia ditolak. Wijaya pikir karena kebersamaan mereka sejak kecil, gadis itu memiliki perasaan yang sama. Ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. Ketika dia mulai lupa diri dan larut, sebuah tamparan keras melayang di pipi. Sekar menangis berlari meninggalkannya begitu saja. Sejak itu hingga kini, dia tak mendapati gadis itu dimanapun dalam wilayah keraton. Entah di mana Sekar bersembunyi. Wijaya hendak bertanya namun merasa sungkan. Hingga tiba hati ini, yang tak disangka sama sekali. Saat Daksa menghadap Raja untuk meminta restu. Wijaya memeluk bantal dengan erat sambil berkhayal sampai akhirnya dengkur halus pun terdengar. Lelaki itu terlelap dengan segala mimpi yang diharapkannya akan terwujud menjadi nyata. *** Sementara itu di tempat lain. Sekar mengulum senyum ketika mendengar penuturan ayahnya bahwa Raja dan Ratu merestui pertunangannya. Sekar merasa tenang sekarang. Gadis itu mengucap doa dalam hati kepada Sang Pencipta. Setelahnya, dia dan Kamandanu yang akan menghadap keluarga keraton untuk meminta restu. Semoga saja niat baik ini dimudahkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD