Chapter 4

948 Words
Hirato keluar dari hutan dengan rupa yang sedikit berantakan. Pakaian yang dikenakannya kotor terkena percikan darah dari para iblis tadi. Ia kembali ke tempat awal saat Adolf dan dirinya diserang lalu menatap sekitar mencari pria tersebut. Namun, dia tidak menemukannya. Pemuda itu menggunakan kekuatannya untuk mendeteksi keberadaan Adolf yang mungkin berada tidak jauh dari tempatnya sekarang. Lagi-lagi ia tidak berhasil menemukan pria tersebut. “Mungkin dia sudah meninggalkanku,” gumamnya lalu kembali melanjutkan perjalanan. “Hei, Nak!” seru seseorang di depan Hirato. Hirato terkejut karena melihat Adolf yang melambaikan tangan di samping kereta kudanya yang terparkir tepat di dekat pintu gerbang perbatasan. Ia berjalan mendekati Adolf dengan ekspresi yang masih tidak percaya. “Tuan Adolf, apa yang Anda lakukan di sini?” tanyanya bingung saat sudah berada di hadapan pria itu. “Apa maksudmu? Kau, kan, memintaku untuk menunggu di perbatasan tadi,” jawab Adolf. “Tetapi, kenapa?” “Kenapa? Tentu saja karena kau telah menyelamatkanku dari para iblis itu. Mana mungkin aku meninggalkan orang yang telah menyelamatkan nyawaku.” Hirato terdiam, belum pernah ada yang berperilaku seperti ini kepadanya setelah nenek penjual sayur itu meninggal. Jadi, dia baik karena aku telah menyelamatkannya? “Dari pada diam saja, ayo, kita masuk ke desa,” ajak Adolf mengurai lamunan Hirato. “Tidak, terima kasih. Saya akan menunggu di sini. Jika Tuan ingin membeli sesuatu di desa, silakan.” “Apa kau yakin?” Hirato mengangguk membalasnya. “Baiklah kalau begitu. Tunggulah sebentar di sini. Aku harus mengirim beberapa barang ke desa,” ucap Adolf. Hirato hanya mengangguk. Beberapa saat kemudian, Adolf melajukan keretanya memasuki desa. Hirato yang melihat kepergian pria itu hanya bisa terdiam. Ia berjalan ke pohon di dekat gerbang lalu duduk di sana. “Aku akan menunggu di sini saja,” katanya sambil bersandar ke batang pohon dengan kedua tangan dijadikan bantalan kepala. Ia membuka tudung jaketnya seraya menatap langit. Embusan angin menggoyangkan beberapa helai rambut hitamnya yang terlihat berkilau. Tiba-tiba saja, dia mendengar suara semak-semak yang bergerak. Pemuda itu menatap ke sekitar dengan belati di tangan kanannya yang telah siaga. Pandangannya berhenti tepat di rumpun yang ada di sebelah kanannya. Hirato menatap rimbun dedaunan itu dalam diam. Daun yang awalnya bergerak, tiba-tiba berhenti dan membuatnya bingung seketika. Akan tetapi, ia tidak menurunkan kewaspadaannya. Pemuda itu lantas menghela napas dan tidak memedulikan rumpun tersebut. Jika memang terdapat penjahat di sana, mereka seharusnya sudah menyerangnya sejak tadi. Dia pikir, mungkin saja itu hanya kelinci hutan. ***   “Kau jangan banyak bergerak, Axton. Hampir saja kita ketahuan,” desis seorang pemuda berambut biru. “Ma-maaf. Habis kelinci ini tidak mau diam, Aidyn. Lucu sekali, ‘kan?” ucap pria berambut jingga yang dipanggil Axton itu sambil mengelus-elus kelinci putih yang dipegangnya. Pria berambut biru yang dipanggil Aidyn itu hanya bisa mendengkus kesal. “Sudahlah, ayo! Pangeran sudah mau pergi. Kita harus mengikutinya. Tinggalkan saja kelinci itu di sini!” ucapnya sambil berdiri dan keluar dari rumpun diikuti Axton yang sudah meletakkan kelinci hutan tadi. ***   “Apa sudah selesai, Tuan?” tanya Hirato saat kereta Adolf baru saja berhenti di hadapannya. “Ya, aku sudah selesai. Ayo, kita lanjutkan perjalanan! Kita akan beristirahat saat matahari tenggelam nanti,” ucap Adolf. “Baiklah kalau begitu.” Hirato bergegas naik ke atas kereta. Adolf mulai melajukan keretanya keluar dari perbatasan desa itu. Kali ini, mereka akan langsung menuju ibu kota Kerajaan Vinezella. Selama perjalanan, keduanya tidak ada yang berbicara. “Tuan, saya selalu bertanya-tanya, kenapa Anda mau membantu saya? Bukannya saya tidak suka dengan bantuan Anda, tetapi sungguh mengherankan jika Anda mau mengantar saya ke ibu kota, bahkan sampai menunggu saya,” tanya Hirato mulai membuka ruang obrolan. “Jika kau bertanya seperti itu ....” Adolf berpikir sejenak. “Tidak ada yang terlalu penting. Pada saat aku bertemu denganmu, aku melihatmu berjalan dengan menundukkan kepala. Aku merasa kasihan. Mungkin aku bisa sedikit membantu, jadi kutawarkan kau tumpangan. Lagi pula, tujuan kita sama dan aku juga perlu pergi ke ibu kota. Jika kau bertanya kenapa aku mau menunggumu saat penyerangan iblis itu, jawabannya mudah ..., karena aku juga berutang kepadamu, bahkan utangku lebih besar,” tutur pria itu menimpali. Hirato tersentak. “Hutang?” “Kau telah menyelamatkan nyawaku dari iblis-iblis itu. Jadi hutangku padamu lebih besar daripada hutangmu kepadaku. Oh, iya, aku belum bilang. Terima kasih telah menyelamatkan nyawaku, Ren Hirato.” Hirato lantas terdiam. Baru ini ada yang mengucapkan kata terima kasih kepada dirinya. Kata-kata itu membuat ia sangat senang hingga tanpa sadar air mata lolos dari sudut matanya. “Eh ..., Hirato, apa kau baik-baik saja? Kenapa menangis?” tanya Adolf tampak panik. Pemuda itu langsung menyeka air matanya. Ia malu karena kini Adolf memandangnya lekat. Dirinya tertegun. Sungguh, air mata barusan adalah sesuatu yang amat langka baginya. Hirato ingat kalau ia terakhir kali menangis adalah saat kematian ibunya, Kana Azusa. ***   Adolf dan Hirato terdiam menatap lidah api unggun yang berkobar di hadapan mereka. Suasana yang tenang dan hanya terdengar suara-suara dari embusan angin serta hewan malam menambah keseraman hutan tempat di mana keduanya bermalam kini. “Setelah kita keluar dari hutan ini, kita akan sampai di ibu kota besok,” ucap Adolf memecah keheningan. Hirato hanya mengangguk sambil menatap kosong ke arah api unggun di depannya. “Baiklah, aku akan tidur duluan. Sebaiknya kau juga tidur Hirato. Bagi anak muda sepertimu, tidak baik jika tidur larut malam,” ucap Adolf sebelum akhirnya ia tertidur di dekat pemuda bersurai hitam itu. ***   Hirato belum juga tertidur hingga api unggun yang dibuatnya mati. Akhirnya, ia memutuskan untuk berjalan menelusuri hutan. Pemuda itu makin lama semakin melangkah dan tanpa disadari dirinya sudah berada di tepi tebing setinggi kurang lebih sepuluh meter. Pemuda itu memandang sesuatu di hadapannya dengan takjub. Netranya membinar seketika. Pemandangan indah yang belum pernah ia temukan, kini terlihat jelas di depan matanya. Jumlah cahaya bintang yang tidak terhingga menghiasi langit dan bulan yang berbentuk bulat sempurna malam ini. Hirato lantas duduk di batu besar yang ada di dekatnya. Suasana masih sunyi dan hanya terdengar suara dari hutan yang amat merdu di telinganya. Matanya terpejam sembari menikmati keadaan yang menentramkan jiwanya malam ini. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD