Chapter 2

3204 Words
Tahun demi tahun telah berlalu semenjak Mashiro Yuta—sahabat Hirato—pindah ke ibu kota. Saat ini, kehidupan Hirato semakin memburuk. Ibunya, Kana Azusa, keluarga satu-satunya yang dimiliki pemuda tersebut telah tiada dan meninggalkan Hirato seorang diri. Pedang yang diberikan oleh Yuta pun tidak pernah digunakan oleh pemuda tersebut. Jika berburu, ia pasti hanya menggunakan sihir tingkat rendah dan memakai pedang lama yang dibuatnya sendiri. “Silakan datang kembali, Nak Hirato,” ucap seorang wanita tua sembari menyerahkan barang pesanan Hirato. “Terima kasih, Nek. Saya permisi dulu,” balas Hirato seraya menunduk sejenak sebelum meninggalkan kedai milik wanita tua itu. Hirato pulang ke rumah dan langsung melakukan rutinitas sehari-hari. Ia biasanya akan berburu rusa atau babi di hutan dekat rumahnya yang terletak di bagian barat desa tersebut. Matahari mulai menuju peraduan dan digantikan oleh sang rembulan. Kegelapan perlahan menghampiri, diiringi embusan angin bersuhu rendah. Hirato sedang memasak makan malam dengan sayuran yang dibelinya di pasar tadi dan daging babi hutan hasil buruannya. Ia biasa memasak makanannya sendiri, bahkan sebelum ibunya meninggal. Tiba-tiba terdengar suara ledakan. Hirato lantas menghentikan aktivitasnya tersebut dan segera keluar rumah. Kobaran api yang sangat besar tampak di bagian selatan desa. Besarnya asap tebal juga terlihat hingga ke rumah pemuda tersebut. “Nenek ....” Hirato teringat dengan nenek penjual sayuran. Ia langsung berlari ke arah pusat kobaran api itu usai mengambil pedangnya. Angin kencang membuat kebakaran semakin menyebar ke rumah penduduk di sekitar dengan sangat cepat. “Apa yang terjadi?” tanya Hirato kepada beberapa warga desa. Tidak ada satu orang pun yang meresponsnya. Semua warga berusaha untuk menyelamatkan diri, menjauh dari pusat kobaran api yang semakin membesar. Namun, bukannya melarikan diri, Hirato lebih memilih berlari mendekati rumah penduduk yang terbakar. Ia khawatir dengan nenek penjual sayur yang sudah berbaik hati padanya selama ini. “Nenek! Nenek di mana?!” teriak pemuda tersebut. “ROOOAAAARRR!!!” Teriakan sesosok makhluk terdengar dari tepi desa di mana kedai nenek itu berada. Hirato sigap berlari ke arah tersebut dengan pedang yang tergenggam erat di tangannya. Namun, dia terlambat. Begitu sampai di sana, dirinya melihat monster besar dan bertaring tajam. Sepasang tanduk tampak menghiasi kepala serta sayap kelalawar berwarna merah dan berukuran besar di punggungnya. Kobaran api di sekitarnya ternyata ulah monster tersebut. Tubuhnya yang penuh bercak darah dari korban yang dimangsa membuat aroma anyir menguar. Monster itu juga telah memakan tubuh nenek penjaga kedai sayuran tepat di depan mata Hirato. “NENEK!!!” Mata Hirato yang sejak tadi berwarna cokelat, kini berubah menjadi merah menyala. Pemuda itu menarik pedangnya lalu berlari ke arah monster tersebut. “MATI KAU!!!” Monster itu menyadari keberadaan Hirato dan berhasil menghindari serangan. Pemuda itu mengayunkan pedangnya kembali. Namun, ia tidak sempat mengelak saat hempasan sayap monster itu tiba-tiba terarah padanya. Pemuda itu terkejut seketika. Ia terpental dan mendarat di salah satu atap rumah penduduk. Hirato kembali bangkit, lantas berlari, dan melapisi sepatunya dengan sihir angin untuk mempercepat larinya. Enam puluh detik kemudian, ia berhasil membelah tubuh monster itu menjadi dua.  Namun, badan monster itu kembali menyatu. Tubuhnya yang terbuat dari api membuat pedang Hirato tidak bisa dengan mudah menebasnya dan justru meleleh seketika. Hirato dengan cepat membuang pedang lamanya lalu menarik pedang berwarna hitam pemberian Yuta yang tidak pernah digunakannya. Pemuda tersebut menggumamkan mantra sihir elemen es yang pernah diajarkan sang ibu untuk melapisi pedang itu dan melepaskan sihir yang menyegel mata aslinya selama ini. Ia berlari dan langsung mengayunkan pedang secara horizontal ke arah monster tersebut. Sang monster yang menyadari serangan Hirato langsung melindungi diri dengan kedua lengannya hingga tertebas oleh pedang pemuda tersebut dan lenyap seketika. Sang monster berteriak memekakkan telinga. Hirato yang tidak tahan dengan suaranya menjadi sangat kesal. Ia mengambil kuda-kuda, bersiap akan menyerang kembali. Namun, monster itu sudah terlebih dahulu melontarkan api dari mulutnya ke arah Hirato. Sayang sekali, serangannya tidak mengenai sasaran. Pemuda tersebut menghindar dengan cepat dan membuat sang monster kehilangan jejaknya. Tanpa disadari, Hirato berada di belakang sang monster sembari mengayunkan pedang. Mata merah menyala dengan aura gelap yang mengelilinginya membuat monster itu tercengang seketika. Ia mengayunkan pedang secara horizontal, memisahkan kepala dan tubuh monster api itu, dan menebas secara acak setiap bagian tubuh sang monster. Hujan deras dari darah monster membasahi tubuh Hirato dan membuat semua pakaiannya menjadi merah kehitaman. Ia hanya menatap tubuh makhluk yang sudah tidak berbentuk itu. Tubuh sang nenek yang ingin diselamatkannya pun hanya tersisa bagian atasnya. Mata yang tertutup dengan senyuman di bibirnya itu membuat air mata Hirato luruh seketika. Kenapa? Kenapa setiap orang yang dekat denganku harus cepat sekali menghilang? Kenapa?! pikirnya. Hari itu pun kepercayaan diri Hirato akan kebaikan seseorang hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah didapatkannya. Ia tidak ingin percaya dengan orang lain lagi atau akan merasakan kesedihan yang sama. ***   Setelah peristiwa tersebut, penduduk di desa mengetahui jika Hirato mempunyai mata merah seperti milik ras terkutuk, ras iblis. Mereka beranggapan jika semua kejadian kemarin  disebabkan oleh kutukan dari mata miliknya. Pemuda itu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan desa dan melakukan perjalanan menuju ibu kota. Perjalanan membutuhkan waktu dua minggu. Selama itu pun Hirato kembali merubah matanya menjadi cokelat. Ia berencana masuk ke Sagana Academy, sekolah khusus untuk menjadi kesatria atau penyihir terkuat dan sudah memutuskan untuk memperkuat dirinya di sana. ***   Di sebelah utara Dataran Terania terdapat Kerajaan Arcer, kerajaan ras iblis yang dipimpin oleh salah satu dari tujuh raja iblis yang terkenal akan kekejamannya, yaitu Satan. Kerajaan tersebut adalah satu-satunya yang menjalin hubungan kerja sama dengan Kerajaan Vinezella—kerajaan manusia. Meski begitu, Arcer masih ditakuti karena keberadaannya sendiri yang berada di wilayah hutan di mana monster mematikan hidup di sana sehingga tidak ada yang berani mendekati area tersebut. Di aula utama, enam monster tampak berlutut di hadapan seorang pria yang duduk di singgasana. Pergerakan pria itu sangat terbatas karena banyaknya rantai yang mengikat tubuhnya. Dia adalah Satan, pemimpin Kerajaan Arcer. Enam monster itu berubah menjadi enam pria yang mengenakan pakaian serba hitam. “Bagaimana?” tanya Satan. Mata merahnya memandang tajam ke arah enam orang di hadapannya. “Sepertinya kami terlambat, Yang Mulia. Pangeran telah meninggalkan desa itu lima hari yang lalu,” jawab pria berambut biru. “Bagaimana dengan dia?” tanya pria itu lagi. “Saya mendapat informasi jika ibu Pangeran telah meninggal lima tahun lalu,” jawab pria berambut jingga. “Jadi, dia sudah meninggal.” Pria berambut hitam yang tengah duduk di hadapan keenam kesatrianya itu terlihat sedikit tertunduk. Ia selalu berharap agar bisa bertemu kembali dengan orang yang dicintainya. Namun, usahanya sia-sia karena wanita itu telah tiada. “Jadi, ke mana Pangeran sekarang?” tanyanya kemudian usai menatap keenam kesatrianya kembali. “Maafkan kami, Yang Mulia. Kami masih belum mengetahui keberadaan Pangeran. Kami hanya mendapat informasi jika beliau sedang menuju ibu kota. Semoga saja beliau belum sampai di sana. Jadi kami akan mencarinya sekarang,” jawab pria berambut biru tadi. “Baiklah. Cepat cari keberadaan Pangeran. Segera laporkan kepadaku jika kalian sudah menemukannya,” titah Satan. “Baik, Yang Mulia!” jawab keenam orang itu serempak. Keenam pria itu segera menghilang dari hadapan sang pemimpin, sementara Satan kembali tertegun memikirkan keberadaan sosok yang dipanggilnya Pangeran itu. Kalian harus menemukannya. Karena dia adalah satu-satunya anak yang aku miliki dari wanita yang kucintai, pikirnya. ***   Hirato membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya embusan angin malam. Pemuda berambut hitam itu kini berada di hutan yang terkenal akan serangan monster. Ia tidak ingin tinggal di desa lagi sehingga memutuskan untuk selalu menginap di hutan jika malam hari. Matanya menatap kobaran api dalam diam. Ia teringat kejadian di desanya yang terbakar beberapa waktu lalu dan melihat sendiri kematian sang nenek yang selama ini telah baik padanya. Mengingat hal itu saja membuat dirinya kesal sekaligus sedih karena tidak bisa menyelamatkan nenek tersebut. Tangannya mengepal kuat. Rasa benci akan kejadian hari itu tidak bisa dilupakannya setiap kali melihat kobaran api. Sampai kapan hidupku akan selalu seperti ini? Helaan napas terembus keluar dari mulutnya. Hirato memutuskan untuk segera beristirahat agar besok bisa langsung melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba terdengar suara dari arah semak-semak meski tidak ada angin yang menggerakkannya. Pemuda itu lantas mengambil belati kecil di tas lalu menatap tajam ke sekitarnya. “Siapa di sana?! Cepat keluar atau aku lempar belati ini!” serunya. Tidak ada respons apa pun. Namun, tiba-tiba saja dari arah semak-semak di hadapannya muncul seorang pria berambut jingga dan mata yang warnanya senada dengan warna rambutnya itu. “Tenanglah. Maaf jika aku mengganggumu,” ucap pemuda tersebut sambil tertawa kaku.  “Siapa kau?” tanya Hirato seraya menatap tajam pemuda itu dengan posisi belati yang masih siaga. “Sebelumnya, bisa kau turunkan belatinya? Itu cukup menakutkan bagiku. Tenang saja, aku tidak akan menyerangmu,” pinta pemuda itu. Hirato segera menyimpan belatinya kembali. “Jadi, siapa kau?” tanyanya lagi. “Aku Axton, seorang petualang yang akan ke ibu kota. Kebetulan aku sedang ingin mencari tempat berlindung, tetapi aku melihat cahaya dari arah sini, jadi aku mencoba memeriksanya,” jawab pemuda bersurai jingga itu. Hirato hanya berdeham merespons. “Apa aku boleh bergabung?” tanya Axton kemudian. “Terserah kau saja,” jawab Hirato. “Terima kasih.” Selama beberapa menit, kedua pemuda itu hanya diam menatap kobaran api unggun yang menari-nari di hadapan mereka hingga Axton akhirnya memberanikan diri membuka mulut. “Apa kau juga akan ke ibu kota?” tanyanya. “Ya,” jawab Hirato. “Kalau boleh tahu, siapa namamu?” Hirato menatap Axton selama beberapa detik hingga membuat pria bersurai unik itu menjadi bingung. Ia menduga ada sesuatu yang salah dengan penampilannya sampai pemuda tersebut memandang aneh ke arahnya kini. Namun, sepertinya dugaannya salah. “Ren Hirato,” ucap Hirato usai memandang Axton amat lama. “Boleh aku panggil kau Hirato?” Pemuda bersurai itu berdeham menimpalinya. “Baiklah, Hirato. Apa yang akan kau lakukan di ibu kota nanti? Apa ada sesuatu yang penting di sana?” tanya Axton terdengar penasaran. “Aku akan mengikuti ujian masuk Sagana Academy,” jawab Hirato. “Wah ..., aku juga akan ikut ujian masuk akademi itu. Aku masuk ke sana karena ingin menemukan seseorang.” Hirato hanya diam mendengarkan ucapan Axton. Pemuda berambut jingga itu terlihat senang menceritakan keinginannya untuk menemukan seseorang yang anehnya belum pernah ditemuinya. Usai bercerita, dirinya langsung membaringkan diri dan segera menutup mata, bahkan sebelum Hirato sempat membuka mulut dan membalas ucapannya.Tahun demi tahun telah berlalu semenjak Mashiro Yuta—sahabat Hirato—pindah ke ibu kota. Saat ini, kehidupan Hirato semakin memburuk. Ibunya, Kana Azusa, keluarga satu-satunya yang dimiliki pemuda tersebut telah tiada dan meninggalkan Hirato seorang diri. Pedang yang diberikan oleh Yuta pun tidak pernah digunakan oleh pemuda tersebut. Jika berburu, ia pasti hanya menggunakan sihir tingkat rendah dan memakai pedang lama yang dibuatnya sendiri. “Silakan datang kembali, Nak Hirato,” ucap seorang wanita tua sembari menyerahkan barang pesanan Hirato. “Terima kasih, Nek. Saya permisi dulu,” balas Hirato seraya menunduk sejenak sebelum meninggalkan kedai milik wanita tua itu. Hirato pulang ke rumah dan langsung melakukan rutinitas sehari-hari. Ia biasanya akan berburu rusa atau babi di hutan dekat rumahnya yang terletak di bagian barat desa tersebut. Matahari mulai menuju peraduan dan digantikan oleh sang rembulan. Kegelapan perlahan menghampiri, diiringi embusan angin bersuhu rendah. Hirato sedang memasak makan malam dengan sayuran yang dibelinya di pasar tadi dan daging babi hutan hasil buruannya. Ia biasa memasak makanannya sendiri, bahkan sebelum ibunya meninggal. Tiba-tiba terdengar suara ledakan. Hirato lantas menghentikan aktivitasnya tersebut dan segera keluar rumah. Kobaran api yang sangat besar tampak di bagian selatan desa. Besarnya asap tebal juga terlihat hingga ke rumah pemuda tersebut. “Nenek ....” Hirato teringat dengan nenek penjual sayuran. Ia langsung berlari ke arah pusat kobaran api itu usai mengambil pedangnya. Angin kencang membuat kebakaran semakin menyebar ke rumah penduduk di sekitar dengan sangat cepat. “Apa yang terjadi?” tanya Hirato kepada beberapa warga desa. Tidak ada satu orang pun yang meresponsnya. Semua warga berusaha untuk menyelamatkan diri, menjauh dari pusat kobaran api yang semakin membesar. Namun, bukannya melarikan diri, Hirato lebih memilih berlari mendekati rumah penduduk yang terbakar. Ia khawatir dengan nenek penjual sayur yang sudah berbaik hati padanya selama ini. “Nenek! Nenek di mana?!” teriak pemuda tersebut. “ROOOAAAARRR!!!” Teriakan sesosok makhluk terdengar dari tepi desa di mana kedai nenek itu berada. Hirato sigap berlari ke arah tersebut dengan pedang yang tergenggam erat di tangannya. Namun, dia terlambat. Begitu sampai di sana, dirinya melihat monster besar dan bertaring tajam. Sepasang tanduk tampak menghiasi kepala serta sayap kelalawar berwarna merah dan berukuran besar di punggungnya. Kobaran api di sekitarnya ternyata ulah monster tersebut. Tubuhnya yang penuh bercak darah dari korban yang dimangsa membuat aroma anyir menguar. Monster itu juga telah memakan tubuh nenek penjaga kedai sayuran tepat di depan mata Hirato. “NENEK!!!” Mata Hirato yang sejak tadi berwarna cokelat, kini berubah menjadi merah menyala. Pemuda itu menarik pedangnya lalu berlari ke arah monster tersebut. “MATI KAU!!!” Monster itu menyadari keberadaan Hirato dan berhasil menghindari serangan. Pemuda itu mengayunkan pedangnya kembali. Namun, ia tidak sempat mengelak saat hempasan sayap monster itu tiba-tiba terarah padanya. Pemuda itu terkejut seketika. Ia terpental dan mendarat di salah satu atap rumah penduduk. Hirato kembali bangkit, lantas berlari, dan melapisi sepatunya dengan sihir angin untuk mempercepat larinya. Enam puluh detik kemudian, ia berhasil membelah tubuh monster itu menjadi dua.  Namun, badan monster itu kembali menyatu. Tubuhnya yang terbuat dari api membuat pedang Hirato tidak bisa dengan mudah menebasnya dan justru meleleh seketika. Hirato dengan cepat membuang pedang lamanya lalu menarik pedang berwarna hitam pemberian Yuta yang tidak pernah digunakannya. Pemuda tersebut menggumamkan mantra sihir elemen es yang pernah diajarkan sang ibu untuk melapisi pedang itu dan melepaskan sihir yang menyegel mata aslinya selama ini. Ia berlari dan langsung mengayunkan pedang secara horizontal ke arah monster tersebut. Sang monster yang menyadari serangan Hirato langsung melindungi diri dengan kedua lengannya hingga tertebas oleh pedang pemuda tersebut dan lenyap seketika. Sang monster berteriak memekakkan telinga. Hirato yang tidak tahan dengan suaranya menjadi sangat kesal. Ia mengambil kuda-kuda, bersiap akan menyerang kembali. Namun, monster itu sudah terlebih dahulu melontarkan api dari mulutnya ke arah Hirato. Sayang sekali, serangannya tidak mengenai sasaran. Pemuda tersebut menghindar dengan cepat dan membuat sang monster kehilangan jejaknya. Tanpa disadari, Hirato berada di belakang sang monster sembari mengayunkan pedang. Mata merah menyala dengan aura gelap yang mengelilinginya membuat monster itu tercengang seketika. Ia mengayunkan pedang secara horizontal, memisahkan kepala dan tubuh monster api itu, dan menebas secara acak setiap bagian tubuh sang monster. Hujan deras dari darah monster membasahi tubuh Hirato dan membuat semua pakaiannya menjadi merah kehitaman. Ia hanya menatap tubuh makhluk yang sudah tidak berbentuk itu. Tubuh sang nenek yang ingin diselamatkannya pun hanya tersisa bagian atasnya. Mata yang tertutup dengan senyuman di bibirnya itu membuat air mata Hirato luruh seketika. Kenapa? Kenapa setiap orang yang dekat denganku harus cepat sekali menghilang? Kenapa?! pikirnya. Hari itu pun kepercayaan diri Hirato akan kebaikan seseorang hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah didapatkannya. Ia tidak ingin percaya dengan orang lain lagi atau akan merasakan kesedihan yang sama. ***   Setelah peristiwa tersebut, penduduk di desa mengetahui jika Hirato mempunyai mata merah seperti milik ras terkutuk, ras iblis. Mereka beranggapan jika semua kejadian kemarin  disebabkan oleh kutukan dari mata miliknya. Pemuda itu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan desa dan melakukan perjalanan menuju ibu kota. Perjalanan membutuhkan waktu dua minggu. Selama itu pun Hirato kembali merubah matanya menjadi cokelat. Ia berencana masuk ke Sagana Academy, sekolah khusus untuk menjadi kesatria atau penyihir terkuat dan sudah memutuskan untuk memperkuat dirinya di sana. ***   Di sebelah utara Dataran Terania terdapat Kerajaan Arcer, kerajaan ras iblis yang dipimpin oleh salah satu dari tujuh raja iblis yang terkenal akan kekejamannya, yaitu Satan. Kerajaan tersebut adalah satu-satunya yang menjalin hubungan kerja sama dengan Kerajaan Vinezella—kerajaan manusia. Meski begitu, Arcer masih ditakuti karena keberadaannya sendiri yang berada di wilayah hutan di mana monster mematikan hidup di sana sehingga tidak ada yang berani mendekati area tersebut. Di aula utama, enam monster tampak berlutut di hadapan seorang pria yang duduk di singgasana. Pergerakan pria itu sangat terbatas karena banyaknya rantai yang mengikat tubuhnya. Dia adalah Satan, pemimpin Kerajaan Arcer. Enam monster itu berubah menjadi enam pria yang mengenakan pakaian serba hitam. “Bagaimana?” tanya Satan. Mata merahnya memandang tajam ke arah enam orang di hadapannya. “Sepertinya kami terlambat, Yang Mulia. Pangeran telah meninggalkan desa itu lima hari yang lalu,” jawab pria berambut biru. “Bagaimana dengan dia?” tanya pria itu lagi. “Saya mendapat informasi jika ibu Pangeran telah meninggal lima tahun lalu,” jawab pria berambut jingga. “Jadi, dia sudah meninggal.” Pria berambut hitam yang tengah duduk di hadapan keenam kesatrianya itu terlihat sedikit tertunduk. Ia selalu berharap agar bisa bertemu kembali dengan orang yang dicintainya. Namun, usahanya sia-sia karena wanita itu telah tiada. “Jadi, ke mana Pangeran sekarang?” tanyanya kemudian usai menatap keenam kesatrianya kembali. “Maafkan kami, Yang Mulia. Kami masih belum mengetahui keberadaan Pangeran. Kami hanya mendapat informasi jika beliau sedang menuju ibu kota. Semoga saja beliau belum sampai di sana. Jadi kami akan mencarinya sekarang,” jawab pria berambut biru tadi. “Baiklah. Cepat cari keberadaan Pangeran. Segera laporkan kepadaku jika kalian sudah menemukannya,” titah Satan. “Baik, Yang Mulia!” jawab keenam orang itu serempak. Keenam pria itu segera menghilang dari hadapan sang pemimpin, sementara Satan kembali tertegun memikirkan keberadaan sosok yang dipanggilnya Pangeran itu. Kalian harus menemukannya. Karena dia adalah satu-satunya anak yang aku miliki dari wanita yang kucintai, pikirnya. ***   Hirato membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya embusan angin malam. Pemuda berambut hitam itu kini berada di hutan yang terkenal akan serangan monster. Ia tidak ingin tinggal di desa lagi sehingga memutuskan untuk selalu menginap di hutan jika malam hari. Matanya menatap kobaran api dalam diam. Ia teringat kejadian di desanya yang terbakar beberapa waktu lalu dan melihat sendiri kematian sang nenek yang selama ini telah baik padanya. Mengingat hal itu saja membuat dirinya kesal sekaligus sedih karena tidak bisa menyelamatkan nenek tersebut. Tangannya mengepal kuat. Rasa benci akan kejadian hari itu tidak bisa dilupakannya setiap kali melihat kobaran api. Sampai kapan hidupku akan selalu seperti ini? Helaan napas terembus keluar dari mulutnya. Hirato memutuskan untuk segera beristirahat agar besok bisa langsung melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba terdengar suara dari arah semak-semak meski tidak ada angin yang menggerakkannya. Pemuda itu lantas mengambil belati kecil di tas lalu menatap tajam ke sekitarnya. “Siapa di sana?! Cepat keluar atau aku lempar belati ini!” serunya. Tidak ada respons apa pun. Namun, tiba-tiba saja dari arah semak-semak di hadapannya muncul seorang pria berambut jingga dan mata yang warnanya senada dengan warna rambutnya itu. “Tenanglah. Maaf jika aku mengganggumu,” ucap pemuda tersebut sambil tertawa kaku.  “Siapa kau?” tanya Hirato seraya menatap tajam pemuda itu dengan posisi belati yang masih siaga. “Sebelumnya, bisa kau turunkan belatinya? Itu cukup menakutkan bagiku. Tenang saja, aku tidak akan menyerangmu,” pinta pemuda itu. Hirato segera menyimpan belatinya kembali. “Jadi, siapa kau?” tanyanya lagi. “Aku Axton, seorang petualang yang akan ke ibu kota. Kebetulan aku sedang ingin mencari tempat berlindung, tetapi aku melihat cahaya dari arah sini, jadi aku mencoba memeriksanya,” jawab pemuda bersurai jingga itu. Hirato hanya berdeham merespons. “Apa aku boleh bergabung?” tanya Axton kemudian. “Terserah kau saja,” jawab Hirato. “Terima kasih.” Selama beberapa menit, kedua pemuda itu hanya diam menatap kobaran api unggun yang menari-nari di hadapan mereka hingga Axton akhirnya memberanikan diri membuka mulut. “Apa kau juga akan ke ibu kota?” tanyanya. “Ya,” jawab Hirato. “Kalau boleh tahu, siapa namamu?” Hirato menatap Axton selama beberapa detik hingga membuat pria bersurai unik itu menjadi bingung. Ia menduga ada sesuatu yang salah dengan penampilannya sampai pemuda tersebut memandang aneh ke arahnya kini. Namun, sepertinya dugaannya salah. “Ren Hirato,” ucap Hirato usai memandang Axton amat lama. “Boleh aku panggil kau Hirato?” Pemuda bersurai itu berdeham menimpalinya. “Baiklah, Hirato. Apa yang akan kau lakukan di ibu kota nanti? Apa ada sesuatu yang penting di sana?” tanya Axton terdengar penasaran. “Aku akan mengikuti ujian masuk Sagana Academy,” jawab Hirato. “Wah ..., aku juga akan ikut ujian masuk akademi itu. Aku masuk ke sana karena ingin menemukan seseorang.” Hirato hanya diam mendengarkan ucapan Axton. Pemuda berambut jingga itu terlihat senang menceritakan keinginannya untuk menemukan seseorang yang anehnya belum pernah ditemuinya. Usai bercerita, dirinya langsung membaringkan diri dan segera menutup mata, bahkan sebelum Hirato sempat membuka mulut dan membalas ucapannya. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD