03. MELELAHKAN

1257 Words
Sebelum mobil hitam mini di depan melaju kencang, dengan cepat Albrian melajukan pula motornya—raungannya bersahut-sahutan bersama motor lain. Sampai di jalan beraspal hitam memanjang, kecepatannya sedang agar tak diketahui bahwa ia sedang membuntuti. Beberapa blok telah dilewati, ternyata lumayan jauh dari sekolah. Dari belakang kemudi. Kaca spionnya sudah menangkap si penguntit, secepat mungkin menepi begitu pula motor di belakangnya. Wajah yang tertutup helm itu seolah mencari-cari, sedangkan Prisil sudah keluar dari mobil—mendekap kedua tangannya di d**a. Mereka sama-sama terdiam. Jaraknya tak sampai tiga meter. Langkah Prisil pun mendekat, seketika Albrian terpaku siap mendengar ocehannya. Namun, yang ada Prisil berhenti, tak melangkah lagi. "Ngapain ngikutin gua?!" ketus Prisil, tatapannya tajam. Albrian menelan ludahnya kasar. "Siapa? Ini arah ke rumah gua juga," balas Albrian berbohong. Prisil tak sebodoh itu, ia pun kembali mendekat sampai berada di samping Albrian, berkacak pinggang. Dari dekat, wajahnya terlihat bersih, bibirnya sedikit memerah meskipun tanpa polesan lipstik. Hidungnya tak terlalu mancung, sedangkan matanya melotot tajam. "Ya udah, duluan sana!" "Apaan ... di mana-mana cewek paling depan, cowok bisa ngalah," kilah Albrian. Prisil membalas dengan cepat, "Cowok itu imam, makanya di depan!" Albrian terperangah. Tak terkira, ternyata Prisil mengharapkan ia sebagai imamnya. Bibirnya menahan senyuman, tiba-tiba tangan Albrian sudah mengacak puncak kepala Prisil tenang. "Ihhh! Gak punya kesopanan banget, ya! Kita itu gak kenal." Prisil menarik tangan Albrian sampai terpelintir. Sebuah jurus yang bisa diandalkan, saat keadaan seperti barusan. Albrian meringis, "Ad—duh ... ampun!" "Jangan ngikutin gua!" sentak Prisil sambil melepas cekalannya, lalu begitu saja berlalu memasuki mobil. Kedua pergelangan tangan Albrian memerah. Meskipun ia mempelajari ilmu bela diri, barusan yang terjadi sangat tiba-tiba, membuatnya tak bisa menepis tangan lembut milik Prisil. Mobil di depan melaju kencang, dengan sigap Albrian pun mengikuti kembali. Tak jauh, sebuah apartemen menjulang tinggi. Terkenal akan harga dewa dan penghuni elite di sana, mobil Prisil melaju memasuki lorong menuju basement yang dipenuhi beberapa mobil mahal. Begitu pula Albrian, ia masih mengikutinya diam-diam. Sampai mobil itu pun terhenti. Wajah Prisil masih memerah, menahan amarah. Tanpa rasa bersalah, Albrian pula membuka helmnya, motor hitam telah terparkir pula di samping mobil yang diikutinya dari tadi. Suasana terasa sunyi. Matahari semakin terbenam, hingga warna jingga yang menggantikan. Langkah Prisil mendekat, tangan kirinya menjinjing ransel. "Mau apa, sih, lo?!" ketus Prisil, matanya menajam beberapa helai rambut yang terikat ke belakang lepas, menerpa wajah cantiknya. Albrian turun dari motor. Tubuh tegap terbungkus sweter cokelat, dipadu celana abunya terlihat santai. "Gua mau kenalan," jawabnya tenang. Prisil mendengkus. "Ini cara seorang lelaki ngajak kenalan? Gak ada otak, ya!" "Selebihnya gua mau tau rumah lo, biar ... ya, bisa antar jemput? Ternyata lo tinggal di apart!" jelas Albrian, wajahnya masih tenang. "Gua gak peduli!" putus Prisil. Tangan kiri Albrian memasuki saku sweternya. "Gua Albrian," ucapnya sambil menyodorkan tangan kanan berharap Prisil memperkenalkannya juga. Namun, Prisil tak menyambut, Ia pun melangkah menjauh, menaiki anak tangga lalu hilang di tikungan begitu saja. Albrian tak tinggal diam, ia berlari mengejar entah alasan apa, sedangkan Prisil merasa masih dibuntuti—langkahnya semakin lebar. Kakinya tak pernah merasakan sakit karena terbiasa hari minggu selalu dilalui dengan olahraga rutin demi daya tahan tubuh saat bertanding. Apartemennya berada di lantai bawah, membuatnya aman tak harus menaiki lift. "He, tunggu!" teriak Albrian masih mengejarnya di belakang. Sebuah tikungan yang menjadi batas akhir, di samping tepat nomor lima belas apartemennya. Sial, seseorang berada di balik pembatas itu, membuat Prisil menabraknya keras. Begitu pula Albrian, ia langsung mematung tak jauh dari keberadaannya. "Ngapain lo di sini!" seru Prisil, napasnya sudah tak beraturan, setelah mata bulatnya menatap langsung orang di depan. Perempuan yang ia tabrak terlihat murka, jaket jeans-nya nampak kusut, sedangkan rambut terurainya sangat berantakan, dan wajahnya tak asing bagi Albrian yang melihat di sana. "Gua ada urusan," ucapnya menantang, matanya mengerling nakal kepada Albrian. "Ini bukan tempat, lo!" Prisil ingat, ia tak sendiri di sana, dengan cepat kembali berlari seraya menggesek kartu di tangan agar pintu terbuka lebar. Perempuan yang tak jauh lebih tua dari Prisil menyeringai, hingga tatapannya tertuju kepada Albrian. Sepatu bot hitam yang terpakai menggema, semakin mendekat sampai berada di depan Albrian. "Lo cowoknya, kan?" tanya perempuan itu, matanya menyipit menilai penampilan Albrian. "Gua temennya," jawab Albrian cepat. Perempuan itu menyeringai, dagu lancipnya terlihat menggoda. "Gak mungkin. Kalian ada masalah, buktinya lari-larian. Apa ... elo berhasil dapet tubuhnya?" Albrian terpaku atas pertanyaan perempuan itu. "Gua gak sepengecut itu!" tegasnya. "Wah? Gua kasih info, Boy, dia masih virgin. Gua kakaknya, Rania Agatha Kyana." Pipi tirusnya tersungging, menciptakan kerutan mungil di tengah. Albrian hanya bisa terdiam, orang yang barusan ia kejar tak ada satu pun kesamaan bahwa mereka bersaudara. Sampai perempuan yang bernama Rania, mengedipkan sebelah matanya. Ia berbisik pelan, "Jaga dia, seseorang hampir merenggut kesuciannya." Bisikan barusan membuat sekujur tubuh Albrian membeku. Apakah keterdiaman Prisil adalah demi memendam masa lalunya? Atau hanya sifat sebenarnya seperti itu? Langkah sepatu bot itu menggema kembali, menyadarkan Albrian dari lamunan. Tanpa pikir panjang, Albrian langsung berbalik badan. Namun, hanya lorong sepi panjang di depan, perempuan tadi sudah menghilang. Matanya tak salah, bahwa ia pernah melihat langsung di saat Afrizal mengajaknya ke area tanding anak jalanan. Tepatnya, duel geng motor. Senyuman Rania masih tertinggal. Sama, seperti senyuman seseorang yang mengangkat bendera di tengah raungan dua motor, dikrumuni orang-orang bersorak ramai menyemangati sang pujaan. *** "Baru pulang, Kau!" Sentakan seseorang dari arah samping membuat Albrian menghentikan langkahnya. Jam tangan berwarna hitam, telah menandakan pukul enam lewat lima sore, sedangkan lantunan ayat suci yang terdengar dari arah lain tiba-tiba terhenti pula. "Iya, Bi," jawab Albrian sambil menunduk. Suara sandal terdengar mendekat, jangkrik malam entah pergi ke mana. Membuat suasana sunyi seketika, hingga sebuah suara keras antara peraduan kulit kasar tak bisa terhindarkan. Plak!! Albrian meringis, ia sudah terbiasa dengan hukuman Abinya. Alfaruk. Dari arah kamar depan, Aisyah berlari cepat dengan mukena masih berkibar-kibar yang kebesaran. "Abi ... jangan kasar seperti itu mungkin, Al, sudah mengerjakan tugas kelompok, kan?" Albrian hanya diam. Napasnya memburu, rasa panas menjalar di pipinya, sedangkan Alfaruk tak peduli, ia pun berjalan kembali menuju beberapa kitab kuningnya di meja. "Sudah, ke kamar lalu salat magrib, ya," ucap Aisyah menenangkan. "Tak tahu diri! Lelaki itu salat berjamaah, Albrian! Sudah kelas sebelas, masih saja seperti bocah. Bagaimana anakmu nanti?!" seru Alfaruk dengan tatapan yang tajam. Aisyah hanya bisa sabar. Suaminya itu memang posesif dalam mendidik seorang anak. Setelah seseorang yang harusnya berada di antara mereka, telah pergi menghadap-Nya. Albrian memasuki kamar, langsung bertelanjang d**a. Guyuran air dingin membuat rasa lelah dan emosi menghilang begitu saja, tanpa berlama-lama ia pun keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang terlilit sampai pinggang. Salat magrib dilaksanakan, tak lupa seperti ajaran ibunya, sempat membacakan surat Al-Mulk. "Innallaziina yakhsyauna robbahum bil-ghoibi lahum maghfirotuw wa ajrung kabiir ...." Selesai melafalkan surat sampai akhir, Albrian mendapati ponselnya, sebuah notifikasi datang dari Afrizal. Mengabarkan, bahwa ia barusan diberi nomor ponsel Prisil dari teman sekelas lelakinya. Tepatnya mencuri dari grup kelas. Sangat pintar, tanpa harus meminta kepada orang langsung yang sedang diincar. Tatapannya teralihkan, senyuman perempuan berjilbab hitam terbingkai indah tepat di atas nakasnya, sedangkan sosok Albrian kecil memeluk erat sang kakak, yang sudah tiada. Nura Aisyahna. Albrian menyentuh kaca bingkai bening itu, merasakan rasa rindu. Walaupun selama hidup, ia selalu dibandingkan, hingga sampai kini. "Biarkan, Nura tenang di sana, jangan kau ungkit! Lihat, Albrian ingin merasakan kasih sayangmu juga, Faruk!" Ibunya kembali menangis, demi membelanya, sedangkan Alfaruk masih murka. Ia lebih memilih Nura kembali hidup, dibanding anak tak tahu diri, Albrian. "Kamu yang salah! Selalu memanjakan saja!" bentak Alfaruk. Albrian membaringkan tubuhnya, menengadah menatap langit-langit kamar. Ia lelah, dengan semua u*****n Abinya selama ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD