Mendapati jawaban bahwa Rania bukan wanita baik-baik, membuat Albrian semakin penasaran akan sifat asli dari Prisil yang sangat tertutup itu. Ia sudah meminta Afrizal agar selalu menguntit Rania, mengingat niat jahatnya waktu malam itu. Sudah bisa ditebak, adiknya sendiri ingin dikorbankan demi manusia bak iblis. Di hari jumat pagi, seperti biasa pelajaran berjalan dengan lancar.
Tidak terasa bulan Ramadan akan datang satu minggu lagi. Membuat semua agenda rutin hari senin mulai dirubah, akan ada tamu yang sangat dinantikan. Prisil sebagai ketua OSIS baru mengundang mantan Kepala Sekolah datang. Mengesahkan tujuan di bulan suci nanti, yaitu sebuah rutinitas santri kilat untuk pertama kalinya di SMK Hanum Perwita dan pastinya, ide brilian dari Prisil yang membanggakan.
Dapat dilihat jelas, Prisil sedang latihan membaca naskah upacara. Ada senyum kecil menyempurnakan kecantikan yang tersembunyi. Albrian tetap di tempatnya, tepat berhadapan dengan sosok tubuh Prisil jauh di sana.
"Al!" Afrizal berlarian sambil melempar sebungkus roti pesanan Albrian.
Albrian menoleh. "Kok, bisa beda jauh sama Si Rania, ya?"
Afrizal memandang jauh ke depan sosok Prisil. "Mungkin, mereka bukan sodara kandung kali."
"Bisa jadi, eh! Lu tau gak minggu depan puasa, njir."
"Serius?" Afrizal menelan habis roti isi cokelatnya. "Ah, kek biasa gua mah di rumah sendiri, lu enak bertiga!"
"Bukan masalah itu, emang lu bisa puasa di usia g****k, ha! Setiap hari mangkal juga, gua pastiin lu gak bakal puasa," oceh Albrian, mengingat kelakuan temannya yang sudah terjerumus dalam ke lubang hitam.
Afrizal tertawa. "Bisa aja, lu! Udahlah, amalku adalah amalku dan amalmu adalah amalmu! Jadi, lu kagak usah repot ngurusin hidup gua, ok?"
Tatapan tajam dari Albrian tak merubah sikap Afrizal sama sekali. "Lu masih muda, Bray! Kita belajar bersama aja, kalo kita bisa kompak, ajak temen lu juga puasa. Dapet amal, Zal!"
Hembusan napas kasar, berpikir keras bahwa niat Albrian tak mungkin bisa berjalan lancar, tapi mengapa tidak berani mencoba? Lagi, Afrizal mengingat beberapa tanda bahwa Tuhan menegurnya. Mengharuskan solat lima waktu, mengurangi minuman keras. Beruntungnya ia belum pernah mencicipi sedikit pun barang haram lainnya.
"Ok, gua bakal berusaha." Ditepuknya bahu Albrian. "Bantu gua!"
Albrian merengkuh bahu kanan Afrizal. "Gitu, dong! Jadinya gua punya temen yang patut diacungi jempol!" Mereka berdua tertawa, mulai mencoba memasuki jalan yang lurus.
***
Beberapa mobil terparkir rapi memenuhi, Albrian segera berlarian menuju kelasnya. Lagi, ia kesiangan karena ban motornya pecah tiba-tiba di tengah jalan, terpaksa setengah jam menunggu diperbaiki. Beruntungnya tadi berangkat lebih awal dari rumah. Jadi, ia hanya telat sepuluh menit sampai di sekolah. Semua siswa mulai berjalan menuju tengah lapangan, berjejer rapi membentuk barisan.
Suara sepatu menggema di lorong terbuka, sedangkan kumpulan peserta upacara jauh di sana. Albrian melempar ranselnya asal ke kelas, tidak lupa membawa topi. Siap berlari lagi, sosok Prisil berlarian menaiki tangga membuatnya kebingungan. Bukankah cewek itu seharusnya sudah diam di tempat? Siap membacakan urutan acara upacara? Tanpa menunggu lama, Albrian membuntuti.
"Ya ampun, Pril ... relaks jangan panik, please!"
Tetap diam di balik pintu, Albrian mendengar gerutuan dengan napas tak beraturan itu. Ada apa? Kenapa Prisil terlihat pusing sambil menggeledah isi ranselnya?
"Ah! Ke mana, sih, dasinya!"
Albrian seketika menyentuh dasi miliknya yang sudah ditata rapi sebelum berangkat sekolah. Dasinya ketinggalan? Benar, tidak seperti biasanya Prisil yang selalu rapi akan penampilan, kini tak terlihat dasi menghiasi.
"Kenapa?" Albrian bertanya pura-pura tak tahu apa-apa.
Prisil mendongak dengan bola mata melotot. "Ngapain lo di sini!"
Albrian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana abunya. "Ngikutin lo, bukannya tugas jadi pembawa acara?" Ia menjeda, melirik jam tangannya. "Lima belas menit, kenapa telat?"
Prisil menggigit bibir bawahnya kesal. Hingga pertanyaan Albrian membuatnya diam mematung.
"Dasi lo ke mana? Kok, KETOS gak disiplin?"
Deg!
Tiba-tiba, Albrian menarik ikatan dasinya sendiri. Tanpa berpikir ulang, ia menyodorkannya untuk Prisil.
"Ambil aja, lu 'kan panutan SMK Hanum Perwita mana mungkin gak disiplin."
Tidak ada pergerakan menandakan Prisil ingin mengambilnya, terpaksa Albrian menyimpannya di atas bangku cewek di depannya itu.
"Nanti, lo dihukum?"
Albrian tersenyum kecil. "Udahlah, gua duluan, ya!"
Awalnya ragu untuk memakainya, tapi mendengar seruan dari sebuah pengeras suara membuat Prisil menyambar dasi milik Albrian, dengan cepat memakainya tanpa mematutnya di depan sebuah cermin. Berlarian menuruni tangga, melewati barisan paling belakang, lalu meminta maaf kepada petugas lain atas kecerobohannya.
Dari barisan paling belakang juga, Albrian tersenyum lega. Sebuah awal, berakhir jadian? Ah, enak pastinya. Tidak masalah dihukum juga yang penting Prisil lolos dari rasa malu sebagai KETOS. Saat yang dinantikan pun datang, peresmian kegiatan Ramadan minggu nanti. Riuh tepuk tangan terdengar. Hingga sebelum dibubarkan, seperti biasa guru BK akan meminta manusia yang berani nongkrong di warung belakang saat pelaksanaan upacara.
Kali ini Afrizal terkena razia, biasanya ia selalu lolos. Berdiri di antara manusia tak tahu malu lainnya. Berakhir razia atribut, sebuah tangan kasar menarik Albrian untuk berjalan ke depan. Pasrah. Albrian berjalan santai mendekati Afrizal. Mengetahui teman sebangkunya dijebloskan ke titik terendah kala upacara, Afrizal kebingungan. Sangat jarang temannya itu berbuat salah, kecuali di mata Alfaruk.
"Sebelum lu nanya, alasannya cuma satu." Albrian menatap jauh sosok Prisil yang memainkam pengeras suara. "Demi cewek yang gua suka."
"Apaan, sih! To the point aja, Al, gua gak ngerti. Lu gak pake dasi? Biasanya juga pakek!"
"Nanti lu tau juga, kok."
Seperti hukuman biasa. Semua tersangka akan berdiri tegap menghadap bendera merah putih, sambil memberikan hormat. Tentunya setengah jam di tengah lapangan dan panas pagi hari semakin menyengat. Melihat hukuman yang seharusnya Prisil rasakan, membuatnya merasa bersalah kepada Albrian. Melupakan dahulu awal dari perjumpaan mereka, hingga membuatnya kesal.
"Biasanya juga baca materi! Ngapain liat cowok bandel itu?" Diana bertanya membuat Prisil mundur selangkah.
"E-enggak! Terserah gua, dong."
Diana menahan senyum. Karena ia tidak tahu masalah Prisil ketinggalan dasi. "Lu suka, ya? Sama cowok yang ngerusak jurnal gua?" tebaknya.
"Apaan, sih! Lu gak tau ceritanya, makanya diem."
"Ya udah ceritain biar gua tau!" sungutnya.
Terpaksa Prisil menceritakan, bahwa dasi yang sekarang dipakai milik cowok yang bernama Albrian.
"What! Serius? Dua rius? Gua gak percaya!" Diana langsung menarik dasi yang masih terpasang itu, mencium dalam wanginya. "Iya, dong! Parfum cowok!" pekiknya.
Prisil menelan ludah kasar. "Makanya gua gak enak, bukan suka sama dia!"
"Bener juga, sih, apa jangan-jangan dia yang deketin lo?"
"Gak usah ngada-ngada, deh!" Prisil pun berjalan pergi masuk ke dalam kelas.
"Gua harap ... mereka beneran jadian," gumam Diana, "tapi emang Si Manusia yang ngerusak jurnal gua itu bisa ngeruntuhin es batunya, Prisil?!"