Seluruh tubuh Ervin rasanya remuk dan lelah. Baru saja shift-nya berakhir sehingga ia bisa istirahat sejenak sebelum pulang. Ervin merogoh ponselnya yang menampilkan angka delapan pada layar. Pikirannya langsung tertuju pada Elina. Sudahkah gadis itu makan malam? Ervin bergegas pulang untuk memastikan Elina tidak kelaparan.
Saat sampai di rumah Ervin segera masuk mencari Elina. Beberapa kali ia memanggil gadis itu tapi tidak ada jawaban. Hal itu langsung membuat Ervin semakin khawatir.
“Elina!” pekiknya. Mata Ervin membola saat melihat Elina terkapar di lantai. Dengan sigap Ervin mengguncang tubuh Elina untuk menyadarkan gadis itu. Elina menggeliat, perlahan matanya terbuka.
“Aku ngantuk, jangan diganggu,” ucap Elina dengan suara serak. Ervin menghela napas lega mengetahui Elina baik-baik saja.
“Kamu sudah makan?” tanya Ervin. Elina menggeleng. Ia mengusap perutnya dengan gerakan memutar.
“Aku lapar makanya aku tidur. Di rumah gak ada makanan.”
“Kenapa kamu tidak beli di luar?” tanya Ervin. Elina kemudian duduk lalu menunjuk ke arah lemari baru yang ada di samping jendela.
“Semua uangnya habis buat beli lemari dan kulkas. Aku gak punya uang lagi,” jelas Elina. Sekarang giliran Ervin yang terkapar di lantai. Ervin terlalu lelah untuk marah pada Elina, keputusan Ervin untuk memberikan Elina uang dapur ternyata adalah kesalahan besar. Gadis itu belum bisa mengelola keuangan dengan baik. Elina duduk mengguncangkan tubuhnya. Ervin tidak bergerak, ia sibuk merenungi nasibnya hingga beberapa hari ke depan.
“Mr. Pelit jangan tidur, aku lapar,” kata Elina. Perutnya berbunyi sampai Ervin mendengarnya.
“Kamu menyebalkan,” gumam Ervin namun Elina tidak mendengarnya. Dengan malas-malas Ervin bangun dan berjalan ke luar rumah untuk membelikan Elina makanan. Hanya dua nasi bungkus yang ia beli di dekat jalan raya. Sampai di rumah Ervin langsung ke dapur. Saat ia melihat sebuah kulkas kecil menghiasi pojok dapurnya membuat Ervin tidak henti-hentinya menghembuskan napas dalam-dalam.
“Padahal itu belum penting,” gumam Ervin.
“Bagus, kan kulkasnya? Aku yang pilih sendiri,” ucap Elina riang.
“Buat apa kamu beli kulkas? Kita belum memerlukannya, Elina.”
“Siapa bilang? Justru kita sangat membutuhkan. Kalau aku pesan makanan yang banyak terus sisa seperti waktu itu aku bisa menyimpannya di kulkas. Gak mubazir,” kata Elina.
“Tapi kamu harus tahu Elina mana barang yang benar-benar penting yang sesuai keadaan ekonomi kita. Ini namanya pemborosan. Semua uang itu sudah dibagi-bagi, tapi sekarang sudah habis.”
“Jadi aku yang salah?”
“Bukan tentang salah atau benar, tapi tentang tanggung jawab. Aku sudah mempercayakan semua uang itu pada kamu harusnya kamu belajar bertanggung jawab dan mengelolanya dengan baik bukan sebaliknya.”
Ervin menatap Elina lekat sebelum menata nasi bungkus di atas piringnya. Ervin manarik kursinya lalu duduk dengan tenang.
“Cepat makan, setelah itu langsung tidur. Aku gak mau debat sama kamu,” kata Ervin kemudian menyantap makanannya dengan lahap.
“Aku gak mau makan nasi bungkus.Aku gak suka, pokoknya gak mau!” Elina melipat tangannya dengan wajah cemberut. Ervin meletakkan kembali alat makannya sehingga menimbulkan suara nyaring. Elina menatap Ervin takut, ia belum pernah melihat Ervin marah. Ervin mengatur napasnya berkali-kali. Menariknya dalam-dalam lalu membuangnya perlahan.
Preet…
Ervin tersenyum lega saat angin dalam perutnya keluar. Elina menutup hidungnya saat wangi semerbak itu mulai menyebar. Beruntung dapur tidak memiliki AC sehingga bau itu cepat menghilang.
“Jorok,” kata Elina.
“Selamat makan,” teriak Ervin tanpa peduli ocehan Elina. Melihat Ervin makan dengan lahap membuat perut Erina kembali meronta. Tatapannya kini tertuju pada nasi bungkus dengan dua karet berbeda warna.
“Aku sudah selesai.” Ervin berdiri lalu mengemas alat makannya. Ia menatap Elina yang memegang perutnya. Gadis itu belum menyentuh nasi bungkusnya.
“Itu nasi kamu, kalau gak mau di makan taruh di kulkas saja.” Ervin beranjak pergi ke kamarnya. Setelah Ervin menutup pintu kamar dengan cepat Elina membuka bungkusan nasi dan melahapnya dengan rakus.
“Oh? Ini enak, ada ayam gorengnya juga,” ucapnya dengan mulut penuh makanan. Ervin yang berniat kembali ke dapur untuk mengambil ponselnya tiba-tiba mengurungkan niatnya ketika melihat Elina makan. Ervin sengaja membeli ayam paha untuk Elina. Tidak disangka gadis itu menyukainya.
“Selamat makan dan selamat malam,” gumam Ervin lalu pergi dari tempat persembunyiannya. Tahu bahwa Elina sudah makan membuat Ervin lega. Ia tidak mau dituduh membuat istrinya kelaparan.
***
Ini adalah pagi yang menjengkelkan seumur hidup Elina. Entah apa yang membuat Ervin pagi-pagi membangunkannya. Mata Elina masih sulit terbuka, tapi Ervin malah menyeretnya ke kamar mandi.
“Basuh wajah kamu biar gak ngantuk habis itu kita akan belanja beberapa bahan makanan. Mumpung hari ini libur aku mau ngajarin kamu masak,” ucap Ervin.
“Hmmm.”
Elina masih memejamkan matanya walau Ervin sudah membawanya ke kamar mandi. Ervin berinisiatif membasuh wajah Elina. Diikatnya rambut panjang itu dengan karat setelahnya Ervin membasuh wajah Elina dengan air yang ia ambil dari bak.
“Dingin,” protes Elina sambil membuka matanya. “Kamu basuh pakai air es ya?”
“Enggak, pakai air kloset biar adem,” sahut Ervin yang dihadiahi pukulan oleh Elina. Ervin segera kabur saat Elina mulai mengamuk. Ervin yakin sekarang Elina sudah sadari 100% dari tidurnya. Sambil menunggu Elina selesai membasuh wajah Ervin duduk di atas motornya. Elina keluar sudah lengkap dengan helm-nya.
“Kita mau ke super market, kan?” tanya Elina. Gadis itu sudah siap dengan rok selutut, tas selempang bertali rantai dan baju kaos bermerek-nya.Walau sederhana tapi penampilan Elina tidak seperti orang ke pasar. Sepatu putih yang ia kenakan juga tidak cocok dengan kondisi jalan di pasar. Sungguh penampilan Ervin berbanding terbalik dengan Erina. Ervin hanya memakai kaos longgar di tambah celana pendek selutut dan tidak lupa swallow hitam yang melindungi kaki.
“Yakin mau belanja dengan pakaian kayak gitu? Ganti dulu sana,” suruh Ervin.
“Gaya aku emang kayak gini kalau belanja. Sudah cepat jalan.” Ervin menyalakan mesin motornya. Elina memegang bahu Ervin sebelum naik ke atas motor. Ia mulai tahu cara naik motor dengan benar.
Ervin menjalankan motornya pelan-pelan hingga mereka sampai di parkiran pasar tradisional. Elina turun dari motor menatap sekitarnya. Sebuah tulisan besar terlihat di depan pintu masuk. Ervin melepas helm lalu meletakkannya di spion motor.
“Kenapa kita ke pasar? Katanya mau belanja,” ujar Elina.
“Emang mau belanja, tapi di pasar.” Ervin membantu melepaskan helm Elina.
“Bukannya di super market?” Elina cemberut. Ini baru pertama kalinya ia menginjakkan kaki di pasar tradisional. Bau ikan laut membuat Elina menutup hidungnya rapat-rapat. Belum lagi kondisi jalan yang tidak terlalu mulus dan ada genangan air. Elina tidak suka belanja di pasar tradisional terlebih karena mereka harus berdesakan.
“Ya ini super market. Pasar yang besar,” ujar Ervin membuat wajah Elina semakin muram.
Ervin menarik tangan Elina masuk ke pasar. Elina terlihat tidak nyaman dengan suasana yang berisik, tawar menawar yang berujung keributan membuat Elina pusing, yang lebih mengherankan lagi di pasar ada seorang ibu tua yang duduk beralaskan plastik sambil menengadahkan tangan. Meminta belas kasihan orang yang lewat.
Ervin mendekati ibu itu dan memberikan selembar uang pecahan sepuluh ribu. Wanita tua itu terlihat senang dan mengucapkan doa-doa untuk Ervin. Elina mengeratkan tangannya pada lengan Ervin saat berjalan menjauhi ibu-ibu itu.
“Katanya harus hemat kenapa kamu ngasi ibu itu uang?”
“Itu bukan ngasi uang tapi nabung,” jawab Ervin membuat Elina menatapnya bingung.
“Uangnya gak bisa ditarik, kan?”
“Di dunia emang gak bisa, tapi di akhirat bisa. Aku memang nyuruh kamu berhemat tapi bukan berarti hati nurani kamu juga hemat. Gak baik jadi orang kikir. Aku gak mau ceramahi kamu. Sudah gede bisa cari tahu maksudnya sendiri.”
“Tapi sama istri sendiri kikir.”
“Kalau istrinya kamu, ya, beda lagi,” ucap Ervin membuat Elina ingin menendangnya. Gadis itu sungguh kesal bagaimana bisa ia menikah dengan pria seperti Ervin. Mereka bahkan tidak pernah bicara dan bertemu sebelum menikah.
Ervin menarik tangan Elina menuju penjual sayur. Elina hanya diam melihat Ervin memilih sayur segar. Ervin menatap Elina supaya gadis itu mau membantunya, tapi sayang Elina cuek dan tidak mau menatap Ervin.
“Aku mau kencing,” bisik Elina saat Ervin membeli daging.
“Di sana ada toilet,” tunjuk Ervin di pojok bangunan. Elina berjalan cepat ke tempat itu. Saat membuka pintu ia mengurungkan niatnya untuk buang air. Elina pergi mencari tempat yang lebih bersih. Akhirnya ia menemukan toilet bersih dekat pedagang pakaian.
Rasa lega terlihat dari mimik wajah Elina. Perutnya terasa ringan. Senyum gadis itu perlahan lenyap saat melihat di sekitarnya. Elina mengedarkan pandangan mencari sosok Ervin. Namun pria itu menghilang. Elina panik. Ia tidak tahu jalan keluar dari pasar. Ia takut bertanya pada orang-orang asing.
Elina mulai mencari keberadaan Ervin, kakinya gemetar takut saat mendengar orang-orang berteriak menawar harga. Ervin hilang seperti ditelan bulan. Elina berjongkok dekat tembok. Ia mulai menangis. Bayangan masa kecilnya kembali menghantui. Elina sempat hilang dari pantauan orang tuanya saat pergi ke festival. Ia sangat takut hal itu akan terulang lagi padanya. Tubuhnya gemetar, takut jika ada preman pasar yang akan mengganggunya.
“Mr. Pelit kamu di mana?” gumam Elina berlinang air mata.
“Dik, kenapa nangis di sini?” Seorang wanita mendekati Elina membuat gadis itu mendongkak. Bukannya menjawab Elina kembali menangis. Dengan bujuk rayu perempuan itu Elina pun diajak pergi ke sebuah ruangan informasi yang ada di pasar.
“Adik kenapa?” tanya seorang pria berkaos hitam berperut buncit. Elina tidak menjawab, ia takut pada pria itu. Elina duduk di sebuah kursi plastik sambil terus menangis.
“Sepertinya adik ini nyasar,” ujar ibu itu.
“Sudah besar gini masih nyasar?” sahut pria itu lagi. “Adik ke sini sama siapa?”
“Suami,”kata Elina sambil mengusap air matanya.
“Oh sudah berkeluarga,” ujar mereka berdua kompak.
“Nama suaminya siapa?”
Elina mendongkak menatap pria itu lekat. Ia berusaha keras mengingat nama Ervin, tapi yang muncul di kepalanya hanya nama Mr. Pelit. Elina terdiam mengusap air matanya. Ia menatap dua orang di depan.
“Gak tahu,” jawabnya membuat pria dan wanita itu kebingungan.