Elina segera turun dari motor setelah Ervin mematikan mesinnya. Tanpa banyak bicara gadis itu berlari masuk ke dalam rumah. Setelah berbagai pertimbangan Elina memutuskan untuk pulang ke rumah Ervin, meski hatinya masih kesal. Ervin menyusul Elina masuk ke dalam rumah. Ketika Ervin ingin bicara Elina sudah menutup pintu kamarnya.
“Apa?” sahut Elina dari dalam ketika Ervin mengetuk pintu kamarnya. Dari nada suara saja Ervin sudah tahu suasana hati Elina. Sejujurnya Ervin tidak tahu bagaimana cara membuat gadis seperti Elina jinak.
“Keluar sebentar, aku ingin bicara.”
Pintu kamar Elina terbuka. Tiba-tiba Ervin menutup mulutnya ketika melihat penampilan Elina. Gadis itu keluar memakai daster bergambar teletubbies dengan rambut yang dicepol. Ervin ingin tertawa, tapi ia coba untuk menahannya.
“Mau bicara apa?” tanya Elina membuat Ervin berdeham untuk menetralkan ekspresi wajahnya.
“Aku hanya mau bilang jangan ke tempat kerja aku lagi. Mulai besok aku akan lembur,” ujar Ervin.
“Kenapa harus lembur? Aku sendiri di rumah.”
“Aku harus cari uang tambahan buat cicil uang yang kamu minta ke Papa Tristan.”
“Kenapa dikembalikan? Papa ikhlas ngasi aku uang jajan malah dia senang kalau aku minta uang.”
“Elina tolong pahami kondisinya. Kita sudah menikah seharusnya kita belajar mengelola keuangan keluarga kita dengan baik. Apalagi kita mulai dari nol, tidak punya apa-apa. Kalau tidak sekarang belajar nanti saat punya anak akan lebih sulit lagi,” ujar Ervin panjang lebar.
Wajah Elina memerah mendengar ucapan Ervin. “Kamu mau punya anak dari aku?” tanya Elina membuat Ervin terdiam. Ervin mencerna kembali perkataannya dan seketika wajahnya bersemu. Jangankan memiliki anak tidur saja mereka terpisah.
“Sudah malam tidurlah.” Ervin pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Elina.
Ervin menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Pikirannya melayang tentang bagaimana nasib perjalanan rumah tangganya dengan Elina. Tidak ada cinta di antara mereka berdua. Ervin tidak yakin bisa menyayangi Elina dengan tulus.
“Bagaimana kalau kita menemukan orang yang kita cintai?” gumam Ervin. Hatinya gundah, ada rasa takut yang menghantui. Prinsip Ervin hanya menikah satu kali seumur hidup, tapi sayang ia menikah tanpa cinta. Ervin tidak bisa menjamin hatinya untuk tidak berpaling dari Elina terlebih mereka sering berbeda pendapat. Ervin menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Perlahan matanya mulai terpejam dan terlelap dalam mimpi. Namun ketukan pintu kamarnya membuat Ervin kembali terjaga.
Elina menggedor pintunya kuat-kuat membuat Ervin membuka pintunya kasar. Elina menatap Ervin dengan wajah sendu. Gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Melihat wajah Elina yang bersedih membuat Ervin kebingungan.
“Ada apa Elina?” tanya Ervin halus.
“Putus.” Ervin terhenyak saat Elina mengatakan putus. Telinganya seolah mendengar kata cerai dari Elina. Tiba-tiba hati Ervin terasa sakit, lalu ia mengepalkan tangannya erat-erat.
Elina memperlihatkan tali bra hitam miliknya yang putus di depan wajah Ervin. Wajah Ervin bersemu melihat dalaman Elina terpampang di depan wajahnya. Namun ia juga merasa lega bahwa kata putus itu bukan untuk hubungan mereka. Ervin berusaha bersikap senormal mungkin walau hatinya tengah bergejolak.
“Terus kenapa kalau putus? Kamu punya banyak di lemari. Cuma putus satu,’kan masih seribu.”
“Tapi semuanya sudah kotor,” kata Elina.
“Kenapa tidak dicuci?”
“Tidak ada mesin cuci.”
Hidung Ervin kembang kempis mendengar ucapan Elina. Gadis ini terlalu polos atau bodoh sih? Beda tipis. Ervin melipat tangannya, tubuhnya kini bersandar pada daun pintu.
“Cuci pakai tangan Elina.”
“Tapi aku gak bisa nyuci. Mister beliin,ya. Aku pakai apa ke sekolah,” rengek Elina sambil mengguncang tangan Ervin.
“Berapa harganya?” Senyum Elina merekah. Tumben-tumbennya Ervin menanyakan harga. Biasanya pria itu langsung menolak apa yang ia inginkan.
“Rp.1269.000,” kata Elina membuat mata Ervin melotot. Mendengar harga fantastis menutup gunung kecil itu membuat mulut Ervin terbuka lebar. Uang satu juta untuk membeli benda yang bersembunyi di balik kaos. Lebih baik Ervin simpan uangnya buat makan sebulan.
“Lebih baik dijahit gak sampai seribu rupiah.” Ervin kembali ke kamarnya mengambil jarum dan benang. Diambilnya bra milik Elina lalu berjalan ke sofa depan tv. Elina mengikuti Ervin lalu duduk di samping pria itu. Elina memerhatikan dengan seksama bagaimana Ervin menyambung kembali barang berharga miliknya.
“Cuma aku satu-satunya suami yang jahit bra istri. Harusnya kamu bangga Elina, punya suami langka kayak aku,” kata Ervin membanggakan diri.
“Bukan langka tapi pelit. Dibeli saja apa susahnya sih?” Ervin tidak menanggapi ucapan Elina. Ia menatap puas hasil kerja tangannya yang rapi.
“Sudah selesai.” Ervin mengembalikan barang berharga milik Elina lalu beranjak meninggalkan istrinya sendiri di depan ruang televisi. Sebelum Ervin masuk ke dalam kamar, ia berbalik menatap Elina.
“Besok kamu harus bangun pagi-pagi. Aku mau kamu belajar nyuci baju sendiri,” ucap Ervin membuat wajah Elina tertekuk. Ervin langsung masuk ke dalam kamarnya lalu mematikan lampu bersiap untuk tidur. Sementara Elina masih duduk di atas sofa sembari memukul dan menggigit bantal untuk meluapkan emosinya.
***
Sesuai ucapan Ervin pagi-pagi sekali ia membangunkan Elina. Seperti dugaannya kalau Elina belum juga bangun. Beberapa kali Ervin mengguncang tubuh kecil itu, tapi Elina tidak bergeming.
“Elina bangun!” teriak Ervin.
“Hari ini aku tidak sekolah,” sahut Elina dengan suara serak. Gadis itu menutup tubuhnya dengan selimut.
“Cepat bangun Elina.” Ervin mengguncang tubuh Elina lebih kuat. Namun gadis itu semakin mengeratkan selimutnya. Ervin berkacak pinggang melihat Elina yang susah dibangunkan, terpaksa ia harus menggunakan cara yang tidak biasa.
Ervin menggulung Elina dengan selimutnya membuat gadis itu tidak bisa bergerak. Digendongnya Elina yang terus meronta ingin diturunkan. Ervin mendudukkan Elina di atas meja dekat tempat cuci piring kemudian mencuci wajah Elina yang masih enggan membuka mata.
Ervin tersenyum saat melihat Elina cemberut. Kedua pipinya digelembungkan membuat Ervin gemas ingin mencubitnya.
“Sakit!” teriak Elina. Membuat Ervin tertawa. Mengerjai Elina yang tak berdaya merupakan kebahagiaan sendiri bagi Ervin.
“Ya sudah aku lepasin.” Ervin menurunkan Elina lalu melepaskan selimut yang membelit tubuh istrinya. Elina langsung kabur saat lepas dari belitan selimutnya. Ervin berdecak kesal saat gadis itu kembali ke kamarnya.
“Dasar pemalas.” Ervin beranjak ke kamar mandi dan mulai mencuci baju sendiri. Elina tiba-tiba datang membawa sekeranjang pakaian kotor. Elina tersenyum lebar menatap Ervin yang kini menatapnya curiga.
“Tolong dicuci.” Ervin berteriak saat Elina kabur .Gadis itu sepertinya tidak ada niat untuk belajar mencuci baju. Ervin terpaksa mencuci baju Elina. Bisa bahaya kalau bajunya habis dan gadis itu minta dibelikan baju baru. Lebih baik Ervin menghabiskan sepuluh bungkus deterjen dari pada membeli pakaian yang harganya jutaan.
“Dia harus bersyukur punya suami kayak aku. Mana ada suami yang mau nyuci pakaian dalam istrinya.” Ervin menggeleng. Tanpa rasa sungkan ia mencuci dalaman Elina. Bukankah ia sudah pernah memegangnya? Maksudnya memegang bra Elina saat menjahitnya dan mencari pakaian seragam gadis itu dalam koper yang penuh pakaian dalam.
“Elina bantuin jemur pakaian!” teriak Ervin dari belakang rumah. Jam dinding sudah menunjuk angka tujuh. Ervin harus bergegas berangkat ke kampus. Elina menghampiri Ervin. Gadis itu sudah siap dengan seragam sekolahnya.
“Hari ini kamu sekolah?” tanya Ervin.
“Hmm… mau tes masuk universitas.”
“Katanya tidak sekolah?” Ervin dengan cepat menjemur pakaiannya.”Kalau bisa cari beasiswa. Biar gak ngerepotin Papa Tristan.” Ervin menjepit pakaiannya pada tali yang melintang panjang. Rumah ayahnya adalah rumah tua yang asri. Dua pohon tinggi di belakang rumah dijadikan tiang untuk menjemur pakaian. Menurut Ervin ini adalah cara hemat dan tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membeli jemuran besi.
“Kalau cari beasiswa aku harus aktif organisasi. Aku malas kalau di suruh ke kampus terus. Aku mau bebas,” jawab Elina sambil bersandar pada tembok. Ia tidak berniat untuk membantu Ervin.
“Justru kegiatan kampus itu bagus buat kamu yang pemalas. Lanjutin jemur pakaiannya aku mau mandi.”
Ervin melenggang pergi meninggalkan Elina yang kini terus menatapnya. Dengan cepat Elina menumpuk pakaian basahnya pada tali. Hanya dalam hitungan menit pekerjaannya sudah selesai. Ervin yang sudah siap berangkat ke kampus pun menatap curiga pada Elina yang duduk santai di depan televisi.
Ervin berjalan ke halaman belakang melihat hasil kerja Elina. Ia hanya bisa berkacak pinggang ketika melihat jemuran ditumpuk-tumpuk di atas tali.
“Elina!” teriak Ervin.
“Apaan sih suka banget teriak-teriak. Emangnya ini hutan?”
“Kenapa bajunya di tumpuk begitu? Kapan keringnya?” Ervin menggulung lengan kemejanya sebatas siku. Cepat-cepat ia merapikan ulang pakaian basah itu.
“Gak apa-apa. Entar juga kering.” Ervin mengerang kesal. Gadis itu benar-benar membuat tenaganya terkuras. Ervin masuk ke dalam rumah dengan wajah tertekuk kesal. Tanpa banyak bicara Ervin menyampirkan tasnya di bahu lalu pergi meninggalkan Elina. Gadis itu segera menyusul Ervin yang marah.
***
“Lo beneran mau kuliah di sana?” tanya Naura. Saat ini Elina berada di kantin sekolah ditemani Naura yang sedang makan.
“Benar. Aku sudah dapat formulirnya.” Elina memperlihatkan formulir yang ia dapatkan pada Naura.
“Varen pasti mau ikut kuliah sama kamu.”
“Yang benar? Bukannya dia sudah daftar di universitas lain?”
“Bisa saja dia pindah. Tuh orangnya.” Naura menunjuk Varen dengan dagu membuat Elina menoleh ke belakang. Varen berjalan santai dnegan salah satu tangannya di masukkan ke dalam saku celana. Beberapa siswi menatapnya tanpa berkedip. Mungkin jika Elina belum menikah dengan senang hati ia akan menerima Varen sebagai kekasih.
“Naura aku boleh pinjam Elina sebentar?” tanya Varen saat sampai di meja Elina. Naura menatap Elina sambil mengunyah makanannya.
“Silakan, kalau Elina mau.”
“El, ikut aku sebentar, ya.” Varen menarik tangan Elina menjauh dari kantin dan membawanya ke halaman sekolah. Varen dan Elina berdiri berhadapan. Varen meraih tangan Elina lalu menggenggamnya erat.
“Elina mungkin kamu sudah tahu bagaimana perasaan aku padamu. Sebentar lagi kita jadi mahasiswa untuk itu aku tidak mau kehilangan kamu, El. Kamu mau jadi pacar aku?”
Elina terdiam. Ia ingin sekali menerima Varen sebagai pacarnya tapi bagaimana dengan Ervin. Dia sudah menjadi suami Elina.
“Varen, bisa berikan aku waktu?” tanya Elina.
“Apa kamu masih ragu dengan perasaan aku?” Elina menggeleng. Sangat sulit menjelaskan semuanya pada Varen.
“Bukan seperti itu. Hanya saja aku… aku harus minta izin sama papa dan mama.”
Varen tersenyum lalu membelai rambut panjang Elina. “Kalau kamu mau aku bisa datang ke rumah kamu untuk minta restu.” Elina dengan cepat menggeleng. Bisa bahaya kalau Varen datang berkunjung ke rumahnya.
“Tidak perlu. Biar aku saja yang minta izin. Papa aku galak.”
“Ya, sudah aku tunggu jawaban kamu segera.” Elina tersenyum kaku sementara Varen tersenyum tulus padanya.