“Saya terima nikah dan kawinnya Zemira binti Abdul dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”
“Sah!”
Doa berkumandang setelah saksi mengatakan sah. Wanita usia 40 tahun yang didampingi pria usia 42 tahun itu terlihat bahagia. Ervin yang baru menginjak usia 18 tahun menatap ibunya dari kejauhan. Buket bunga yang ada di genggamannya kini diletakkan di atas meja makan tamu sebelum pergi. Ervin bahagia melihat ibunya kembali tersenyum setelah kepergian ayahnya beberapa tahun lalu.
Saat Ervin berjalan keluar dari tempat acara seseorang memanggil namanya. Ervin berbalik menatap pria berpakaian serba putih yang tadinya duduk di samping sang ibu kini berdiri tidak jauh dari tempatnya.
“Ervin jangan pergi, tinggallah bersama kami,” kata pria itu sambil mengatur napas.
“Enggak, Om Nehan. Aku lebih suka tinggal sendiri, lagi pula aku ingin bebas tanpa omelan mama tiap pagi. Dia cerewet kalau aku telat bangun,” ujar Ervin sambil tertawa. Nehan menghampiri Ervin.
“Boleh aku minta hadiah pernikahan dari kamu, Vin?” Ervin tersenyum lalu mengangguk.
“Tolong panggil aku papa atau ayah,” ucap Nehan membuat senyum Ervin memudar. Baginya hanya ada satu orang yang ia panggil papa atau ayah yaitu ayah kandungnya.
Ervin memalingkan wajahnya. Memanggil Nehan dengan sebutan ayah terasa janggal baginya, tapi Ervin sadar bagaimana pun juga Nehan adalah ayah tirinya sekarang. Orang yang dicintai ibunya.
“Ayah harus janji akan selalu membuat mama bahagia dan tersenyum. Jangan sakiti dia,” kata Ervin membuat Nehan mengangguk senang. Nehan memeluk Ervin untuk meluapkan kebahagiaannya.
“Terima kasih sudah memanggil aku ayah. Jaga diri kamu baik-baik.”
Nehan mengurai pelukannya lalu menepuk pundak Ervin sebelum kembali ke tempat acara. Ervin memandang punggung tegap itu menjauh. Ia yakin ibunya akan bahagia bersama orang yang dicintainya. Terlebih Nehan juga seorang duda anak dua, masing-masing anaknya baru berusia 15 dan 12 tahun. Ervin yakin kehidupan ibunya tidak akan kesepian.
“Ma, maafin Ervin yang gak bisa tinggal sama mama dan Om Nehan. Ervin gak mau merusak kebahagiaan kalian dan menjadi beban buat mama. Ervin sudah dewasa. Ervin janji akan hidup dengan baik. Mama gak perlu khawatir.”
Ervin berjalan mundur menjauh dari tempat acara. Saat Ervin melihat ibunya tersenyum menyambut para tamu undangan membuat kedua sudut bibirnya melengkung ke atas.
“I love you, Ma.” Ervin berbalik, berjalan cepat menuju parkiran motornya. Sebuah motor sport hitam menjadi satu-satunya harta milik Ervin selain rumah peninggalan papanya. Ervin akan kembali ke rumah itu. Tempat di mana ia tumbuh saat kecil, kenangan penuh cinta dan kehangatan baginya.
Ervin menggendong tas yang ada di atas motor. Tas punggung yang cukup besar berisi beberapa potong pakaian dan barang berharga miliknya. Ervin menghembuskan napas panjang sebelum memakai helm kemudian melajukan motornya meninggalkan lokasi pernikahan.
***
Rumah tua yang tidak terlalu luas namun fasilitas berupa kamar, toilet dan dapur yang cukup lengkap membuat Ervin memantapkan keputusannya. Rumah itu sudah berdebu, ada beberapa barang yang sudah usang dan karatan. Ervin menggulung lengan kemejanya sebatas siku. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek saklar lampu, namun lampu tidak menyala. Ervin menatap jam tangan yang menunjukkan pukul tiga sore.
Tidak ada cukup waktu. Ervin harus segera membersihkan tempat tinggal barunya sebelum matahari terbenam. Dengan cekatan Ervin membersihkan lantai, dinding dan plafon rumah lamanya. Peluh menetes membasahi pakaiannya. Saat matahari terbenam Ervin bisa menyelesaikan semua pekerjaan rumah.
Sinar bulan menerobos masuk dari celah jendela kamar. Ervin berbaring di atas lantai berbantal tas miliknya. Tidak ada penerangan, seluruh ruangan gelap gulita. Beruntung malam ini bulan purnama sehingga cahaya bulan bisa memberikan sedikit penerangan di rumahnya. Ervin menatap bulan dan bintang melalui jendela tanpa gorden. Semua gorden yang ada di rumah itu Ervin lepas. Ia harus mencucinya sebelum dipasang kembali.
Ervin merogoh saku celananya. Sebuah foto polaroid memperlihatkan satu keluarga sedang berfoto di sebuah taman air mancur. Ervin masih ingat kenangan bersama ayah dan ibunya saat merayakan ulang tahunnya yang ke delapan.
“Aku merindukan kalian. Apa papa senang melihat mama bahagia? Hari ini mama menikah tapi bukan berarti dia melupakan papa. Dia mencintaimu dan aku mencintai kalian berdua.”
Ervin memeluk foto itu dengan mata terpejam. Ia tersenyum mengingat bagaimana bahagianya ia saat ayahnya masih ada. Wajah tampan dengan alis tebal itu adalah warisan ayahnya. Siapa sangka kalau dulu ayahnya adalah pangeran sekolah yang disukai gadis-gadis cantik. Setiap malam sebelum ayahnya meninggal, ibunya akan bercerita bagaimana playboy-nya sang ayah saat sekolah dulu. Ervin sangat antusias mendengar setiap moment yang dilalui kedua orang tuanya.
Ervin membuka matanya kemudian duduk dengan satu kaki menekuk. Perutnya mulai keroncongan. Ervin merogoh tasnya mencari dompet coklat yang ia miliki. Naas, saat Ervin membuka isi dompetnya hanya tersisa sekeping uang seribuan yang menjadi penghuni satu-satunya. Ervin menyesal tidak makan siang di acara pernikahan ibunya.
“Sepertinya besok aku harus narik tabungan,” gumamnya. Ervin meraih botol minuman yang ada di dalam tasnya. Ia meneguk air itu sampai habis. Hanya air yang ia miliki malam ini dan Ervin rasa cukup untuk menghilangkan laparnya.
***