Chapter 4

2515 Words
Arra menggigit bibirnya melihat rumah yang begitu megah di depannya, setelah Samuel dan Edward mengantarnya ke rumah Dean, kedua pria itu langsung pergi karena memiliki urusan lain, satpam di depan gerbang tadi langsung mempersilahkan Arra masuk begitu ia memperkenalkan dirinya sebagai teman Dean, dan di sinilah dirinya sekarang, berdiri kaku di depan pintu besar yang menjulang tinggi.                “Ada yang bisa aku bantu?” Suara seseorang dari arah belakang mengejutkan Arra, ia tersenyum dan melihat wanita paruh baya yang tersenyum ke arahnya, dilihat dari penampilannya, Arra tahu wanita yang masih terlihat cantik walau sudah berumur itu baru saja berkebun, terbukti dengan tangan cantiknya yang kini kotor oleh tanah dan juga sekop kecil di tangan kanannya.                “Saya mencari Dean, Bibi, apakah dia ada?” Tanya Arra sopan.                “Dean? Kau temannya? Masuklah, aku akan memanggilnya.” Arra mengikuti paruh baya yang belum ia ketahui namanya, melihat betapa besar dan mewahnya rumah Dean, Arra hanya bisa berdecak kagum, pria itu benar-benar seorang pangeran yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya.                “Duduklah dulu sayang,  aku akan memanggil anak itu, ahh kenalkan aku Fiona, ibu Dean.” Fiona tersenyum membuat Arra tersenyum canggung dan membungkukkan badannya. Ia mendongak dan melihat Fiona yang sudah berjalan ke lantai atas memanggil Dean.                Langkah kaki yang terdengar menuruni tangga itu membuat Arra mengalihkan netranya menatap Fiona yang turun tanpa Dean, membuat gadis itu mengernyit.                “Aku lupa jika Dean sedang mengantar kakaknya berbelanja, bagaimana ini? Apa kau mau menunggunya? Aku pikir sebentar lagi dia akan pulang.” Arra nampak berpikir dengan kening yang berkerut, jika ia pulang begitu saja ia tidak mendapat apa-apa sedangkan ia sudah ijin pada Mike untuk tidak masuk kerja hari ini.                “Baiklah , aku akan menunggunya saja, Aunty.”                “Ahh begitukah? Bagaimana jika sambil menunggu Dean kau membantuku  di dapur? Aku ingin membuat chocolate cake kesukaan Dean,” Ahh jadi itu kue kesukaan Dean, Arra membatin, “Tapi buatanku tidak pernah seenak toko kue langganan kami, di sana kuenya sangat enak, Dean bahkan sampai ketagihan.” Fiona melanjutkan perkataannya dengan antusias membuat Dean tersenyum dan senyumnya semakin lebar membayangkan Dean yang memakan kue cokelat itu dengan mulut penuh dan juga noda-noda krim di sekitar bibir pria itu yang mungkin terlihat seksi. Arra menggelengkan kepalanya dan tersenyum.                “Baiklah aku akan membantu Aunty membuat kue, kebetulan aku bekerja di cake & coffee shop dan tak jarang aku yang membuat menu untuk kafe itu.” ujar Arra ikut bersemangat membuat mata tua milik Fiona terlihat berbinar.                “Benarkah? Wahh mungkin aku bisa belajar banyak darimu. Ayo.” Fiona langsung merangkul lengan Arra dan mengajaknya menuju dapur. “Apa kau baik-baik saja? Kenapa kau menggunakan masker sayang?” Tanya Fiona memperhatikan wajah Arra lebih seksama membuat gadis itu salah tingkah dan menggelengkan kepalanya.                “Bukan apa-apa, Aunty, aku hanya sedikit flu.” Fiona hanya mengangguk dan mulai menyiapkan bahan-bahannya, entah mengapa sejak pertama kali bertemu Arra, ia merasa begitu dekat dengan gadis itu dan langsung menyayanginya, perasaan yang sulit dideskripsikan.                Dan selama satu jam itu mereka berkutat dengan bahan-bahan untuk membuat kue, namun sepertinya Arra yang lebih mendominasi karena Fiona yang memintanya agar Arra membuat cake untuknya, wanita itu bilang ingin mencicipi rasa cake buatan Arra, jadilah wanita paruh baya itu hanya membantu Arra dalam menyiapkan alat dan bahan.   ~*~                “Woahhh Mommy membuat cake cokelat?” Dean yang baru tiba di rumah langsung menuju dapur begitu indra penciumannya mencium bau yang sangat menggoda, ia langsung mengambil cake cokelat yang baru saja Fiona potong menjadi bagian-bagian kecil, begitu juga dengan Helena yang berjalan di belakang Dean langsung mengambil sepotong cake tersebut, Fiona yang melihat kedua anaknya makan dengan begitu lahap hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.                “Mommy, ini sangat enak. Astaga, rasanya seperti yang biasa kita beli di kafe.” Dean berbicara dengan mulut penuhnya membuat Fiona memukul bahu anaknya, ia juga mengambil potongan cake itu dan mencicipi rasanya.                Gadis yang baru keluar dari kamar mandi itu hanya bisa membuka mulutnya terkejut, tidak menyangka kelakukan pria es itu benar-benar berubah 180 derajat saat di rumah bersama keluarganya, Dean benar-benar sesuatu, itulah yang ada di pikiran Arra, saat di kampus jangankan untuk tertawa lepas dan melakukan hal konyol seperti makan sambil bicara dengan mulut penuh seperti tadi, melihat ia menatap manusia lainnya dengan tatapan yang lebih manusiawi saja sangat sulit rasanya, namun kini yang ia lihat benar-benar berbeda, yang ia lihat benar-benar Dean yang sekarang memang layak disebut manusia sungguhan yang normal.                “Arra, kenapa hanya berdiri di situ? Kemarilah, kuemu benar-benar lezat.” Perkataan Fiona membuat Dean yang baru saja akan mengambil potongan kedua cake cokelat itu terhenti, ia menatap Arra dan matanya membulat seketika melihat Arra yang berdiri kaku di sana.                “Ikut aku!” Dean melangkahkan kakinya lebar-lebar untuk mencapai Arra dan langsung menarik gadis itu menuju pintu belakang yang tepat berada di dapur dan langsung terhubung dengan taman belakang.                “Kau benar-benar menjadi sesuatu yang berbeda jika di rumah ya?” Arra memulai pembicaraan dengan Dean yang masih berdiri membelakanginya.                “Kau keras kepala juga ternyata. Kau tau? Dengan dirimu yang begini, aku semakin banyak untuk menolak ikut dalam acara tersebut, melihatmu gagal membawaku ke acara busuk itu dan melihat wajah bodoh dan tersiksamu itu benar-benar kepuasan.” Dean berbalik dan memandang Arra dengan sinis sebelum tersenyum miring, membuat Arra mengepalkan tangannya di kedua sisi tubuhnya.                “Kau!!.” Arra menunjuk Dean dengan wajah kesal membuat Dean semakin tertawa setan. “Apa selama hidupmu kau tidak pernah mencoba membantu seseorang? Tidak bisakah kau mempermudah segalanya dengan mengiyakan tawaran itu? Lagi pula tidak ada ruginya kau ikut dalam acara itu, jadi apa masalahnya?!” Arra berteriak frustasi membuat Dean diam-diam tersenyum, terus memperhatikan setiap gerak-gerik Arra yang begitu menarik baginya.                “Aku. Tidak. Akan. Mengikuti. Acara. Bodoh. Itu.” Ekspresi Dean berubah menjadi tajam saat menatap netra Arra membuat gadis itu mendesah frustasi, lalu Dean langsung meninggalkannya di taman belakang.                “Aku akan terus berusaha agar kau mau bergabung dalam acara itu.” Teriak Arra saat Dean sudah benar-benar menghilang dari jarak pandangnya, ia juga mengikuti langkah Dean menuju dapur dan segera berpamitan pada Fiona yang terlihat tengah menikmati cake cokelat buatannya.                “Aunty, sepertinya aku harus pulang sekarang,” ujar Arra membuat Fiona menatapnya dengan tatapan tidak ikhlas.                “Ahh benarkah? Apa kau akan berkunjung ke sini lagi? Aunty  akan senang jika kau main ke sini lagi karena jarang-jarang ada teman Dean yang datang kemari, Aunty bahkan sempat berpikir jika pria itu tidak memiliki teman.” Memang anak itu tidak memiliki teman. Arra membatin menjawab pertanyaan Fiona.                “Tentu  aku akan datang ke sini lagi.” Arra memberikan senyum terbaiknya sebelum meninggalkan rumah megah yang didominasi warna broken white itu.   ~*~                Arra melangkahkan kakinya di sepanjang tortoar menuju rumahnya, setelah pulang dari rumah Dean sore tadi, ia memutuskan untuk mampir ke kafe dan membantu sedikit di sana hingga pukul  tujuh malam, ponselnya bergetar dan panggilan masuk dari Bianca langsung membuat gadis itu mengangkat panggilan pada dering pertama.                   “Kak Arra, Mommy ... Mommy ... sakitnya kambuh dan obatnya habis, bagaimana ini? Aku tidak punya uang untuk membeli.” Suara panik Bianca yang terbiasa ia dengar seolah telah menjadi tameng bagi Arra untuk lebih menguatkan hatinya.                “Tenanglah Bi,  akan mampir ke apotik dulu dan pulang secepatnya.” Arra langsung mematikan telepon dan menuju apotik tempat dirinya biasa membeli obat untuk Daisy. Ia membuka dompetnya yang hanya menyisakan sedikit uang untuknya bertahan hingga akhir bulan. Lalu ia menghitung kemungkinan dia bisa bertahan setelah uangnya ia gunakan untuk membeli obat. Seperti biasa, Arra tidak memiliki pilihan lain selain meminjam kepada Mike. Pria baik hati yang menjadi bosnya.     ~*~                Arra membuka pintunya dan langsung menuju kamar Daisy, gadis itu bahkan berlari untuk segera tiba di rumah, begitu membuka pintu ia melihat Bianca yang tengah duduk di samping ibunya yang terbaring lemas dengan wajah pucat dan keringat dingin yang membasahi seluruh wajahnya.                “Mommy,” panggilan  Arra langsung membuat Bianca menoleh dan serta merta langsung memeluk Arra, menangis di bahu kakaknya itu.                “Tidak apa-apa Bianca, Mommy akan baik-baik saja setelah meminum obat, bukankah begitu yang dikatakan dokter? Lain kali kau harus lebih baik lagi untuk memeriksa obat Mommy, jangan sampai kehabisan seperti tadi.”Arra menenangkan adiknya itu dengan mengusap punggung Bianca lembut sebelum melepaskan pelukan itu dan menuju Daisy yang tersenyum lemah ke arahnya.                “Mommy baik-baik saja?” Arra membantu Daisy untuk duduk sedangkan Bianca langsung menuju dapur mengambil minum dan menyiapkan obat Daisy.                “Mommy yang seharusnya bertanya seperti itu,” Daisy berujar lemah dan perlahan air matanya mengalir melihat bagaimana wajah lebam Arra, tangan lemahnya mengusap perlahan wajah yang telah berubah kebiruan itu membuat Arra meringis kecil. “Maafkan Mommy yang tidak bisa menjagamu sayang, Ronald memang benar-benar keterlaluan.” Ujar Daisy semakin terisak, membuat Arra tersenyum dan langsung menggenggam tangan Daisy di wajahnya dan membawanya dalam dekapan kedua tangannya.                “Aku baik-baik saja, melihat Mommy baik-baik saja itu adalah hal yang paling membuatku baik, jadi tidak perlu khawatir, Mommy cukup fokus pada kesehatan Mommy saja ya, janji?” Daisy mengangguk lemah dan membawa Arra ke dalam pelukannya.                Bianca yang berdiri di ambang pintu hanya bisa menangis dalam diam menyaksikan itu semua, dan perlahan kakinya melangkah dan ikut memeluk Arra dan Daisy, menangis dalam diam, ia hanya berharap semoga di masa depan hanya akan ada kebahagiaan untuk keluarganya.                “Ayo, Mommy harus minum obat, dan apa Bianca sudah makan malam?” Bianca menggeleng membuat Arra mengusap sayang kepala adiknya itu, ia yakin Bianca pasti selalu menahan rasa laparnya untuk menghemat. “Ya sudah  akan membeli makan malam untuk kita, apa yang kau inginkan heum?”              “Mie instan saja, kita masih memiliki persediaannya. ”                “Ck ck apa hidupmu selamanya hanya akan makan mie instan?” Arra mengacak gemas rambut Bianca dan beranjak untuk membeli makan malam.   ~*~                Arra baru saja pergi meninggalkan rumah sekitar tiga ratus meter, namun tiba-tiba saja tubuhnya tersentak ke belakang saat seseorang menariknya kuat.                “Mau kemana kau hah?! Berikan uangmu!” Ronald langsung merampas tas Arra dan mengobrak-abrik isinya, rahangnya langsung mengeras saat tidak mendapatkan apa yang ia inginkan dan matanya menggelap begitu melihat struk pembelian obat Daisy. “b******k! Kau membuang uang untuk obat semahal ini dan tidak pernah memberikanku uang?! Sudah berani rupanya anak sialan ini.” Ronald langsung mendorong Arra di gang kecil itu hingga punggung Arra membentur tembok. Arra hanya diam dan meringis hingga ia merasakan kembali rasa panas yang menjalar di pipinya.                “KAU BERUBAH MENJADI BISU HAH?! JAWAB AKU!” Ronald dengan kuat menjambak rambut Arra.                “Apa yang harus aku jawab Daddy? Jika uang di dompetku sudah menjawabnya.” Jawab Arra meringis, netranya mengerjap pedih melihat lampu kuning jalanan yang terlihat begitu redup di gang sempit dan sepi itu.                “Kau memang tidak berguna!!” Ronald langsung mendorong tubuh Arra hingga gadis itu jatuh tersungkur, dan tanpa perasaan Ronald memukul perut Arra dengan kakinya berkali-kali. “Jika besok kau tidak bisa memberiku uang, aku akan menjualmu.” Ronald menjambak rambut Arra lagi, membuat gadis yang masih tersungkur di tanah dengan menahan perutnya yang terasa nyeri itu mendongak dengan linangan air mata. Dan setelahnya Ronald pergi dengan membenturkan sekali lagi kepala Arra ke tanah.                Arra berusaha bangun dengan kepala yang berdenyut, mencari pegangan untuk setiap langkahnya yang terasa lebih berat. Ia hanya bisa memejamkan matanya mengingat kembali semua hal yang terjadi pada dirinya, apakah kehidupan ‘mereka’ lebih baik lagi setelah meninggalkan dan membuang dirinya di sini, ingatan itu membuat dadanya sesak, kenyataan yang berada dalam urutan pertama sebagai kenangan yang ingin ia lupakan, namun terasa begitu sulit. Dibuang oleh keluarganya sendiri demi seseorang yang lain.                Rasanya baru beberapa meter setelah Arra berjalan kini ia harus menghadapi tiga p****************g yang terlihat mabuk di hadapannya, astaga kenapa gang di komplek rumahnya begitu sepi, gang yang akan mengantarkan dirinya menuju jalan raya.                “Hai gadis manis, mau kemana malam-malam seperti ini ohk? Bagaimana jika menemani kita malam ini?” Seorang pria dengan tubuh yang tambun mendekat ke arahnya dan mencoba meraih wajahnya, Arra dengan reflek menghindar.                “Kau terlihat semakin seksi dengan wajah babak belurmu itu.” Seorang pria yang lain berusaha meraih rambutnya dengan cepat Arra menepis tangan pria itu dengan tangannya.                “Pergi. Aku tidak ada urusan dengan kalian.” Arra berjalan meninggalkan ketiga orang itu, namun tiba-tiba seseorang menarik rambutnya dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke tanah.                “Kau tidak bisa semudah itu pergi sebelum memuaskan kita gadis manis.” Seorang pria dengan tubuh tambun itu kini sudah berada di atas tubuh Arra, dan bersiap mencium gadis itu, dengan cepat Arra menampar wajah pria itu dan mendorongnya sekuat tenaga dengan tangannya, namun tenaganya yang tidak cukup kuat itu tentu saja dengan mudah terkalahkan, kini yang ada justu ia yang mendapatkan tiga tamparan dari pria itu.                “Arrggghhh.” Arra berteriak sekencang-kencangnya, membuat ketiga pria itu panik dan langsung membungkam mulut gadis itu, teriakan Arra itu ternyata membuat anjing di salah satu rumah menggonggong cukup kencang, ketiga pria itu yang takut akan ada penduduk yang melihat langsung meninggalkan Arra membuat gadis itu seketika menghembuskan napasnya lega, Tuhan masih berbaik hati mau menolongnya.                Dengan langkah gontai Arra melanjutkan langkahnya, tidak, ia tidak akan ke supermarket dengan keadaan seperti itu, ia juga tidak mungkin pulang ke rumah dan membuat ibu dan adiknya khawatir, setidaknya ia harus membersihkan luka-lukanya dan mencari toilet umum.                Langkah gadis itu sempoyongan dengan kepala yang terasa semakin berat bahkan pandangannya semakin mengabur, ia melihat sekeliling yang ternyata cukup sepi juga, ia melihat rambu yang menyala untuk pejalan kaki, dengan langkah berat ia menyebrangi jalan yang entah mengapa terasa begitu lebar, bahkan gadis itu tidak menyadari jika lampu telah berubah untuk pengendara, namun Arra memilih meneruskan langkahnya karena di jalanan besar itu ia hanya melihat satu dua kendaraan.                Suara decitan aspal dan ban mobil itu membuat Arra memejamkan matanya, ia merasakan de javu, hanya saja waktu yang berbeda. Dan ia yakin setelah ini hanya u*****n yang akan ia terima dari pemilik mobil yang kini berhenti persis di depannya.   ~*~                Dean mengendarai mobilnya dengan santai membelah jalanan kota yang cukup lengang malam ini, bibirnya sesekali bersiul mengikuti alunan nada dari stasiun radio favoritnya, hingga sebuah siluet seseorang di tengah jalan dan tepat di depan mobilnya membuat pria itu mengumpat keras dan menekan remnya kuat-kuat.  Pria itu langsung keluar dengan wajah mengeras, bersiap mengumpat pada siapa saja yang menyebrang seenaknya dan membuatnya hampir celaka.                “Yakk. Kau buta hah?! Tidak melihat rambu lalu lintas?! b******k!” Dean mencengkram bahu gadis yang masih berdiri menyamping itu, dan langsung tersentak kaget melihat Arra yang hampir saja ia tabrak, wajah gadis itu lebam di semua sisinya, membuat Dean meringis, seketika perasaan marahnya menguap begitu saja melihat wajah kesakitan Arra.                “Maaf ....” Arra menggumam lirih sebelum kegelapan merenggutnya, membuat Dean panik seketika dan menangkap tubuh tak berdaya itu.                “Yakk Arrabela buka matamu.” Dean berujar panik, nama Arra yang hanya gadis itu ucapkan saat pertemuan pertama mereka langsung terpatri di otak Dean, padahal pria itu tidak pernah bisa mengingat nama seseorang dengan baik, namun nama Arra entah mengapa selalu memenuhi otaknya sejak kemarin. Sejak gadis itu dengan tingkah polosnya memperkenalkan dirinya kepada Dean. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD