Chapter 11

3270 Words
“Arra, jangan berlari-lari seperti itu, kau bisa celaka, aku tidak ingin kau terluka,” seorang laki-laki yang berusia sekitar tujuh tahunan tengah memperingati sang adik yang terus menghiraukannya dan masih asik mengejar kupu-kupu berwarna putih yang begitu cantik menurutnya.                “Tunggu sebentar Kak Leo , aku harus mendapatkan kupu-kupu cantik itu dan menyimpannya di toples kaca untuk kubawa pulang,” seorang gadis kecil yang sejak tadi diperingati oleh sang kakak masih terus berjalan mengendap-endap untuk mendapatkan kupu-kupu itu, ia bahkan berkata lirih menanggapi ucapan sang kakak, takut jika kupu-kupu cantik itu mendengarnya.                “Kak Leo, tolong bantu aku mewarnai mobil sport favoritmu ini, aku sedang menggambar kita bertiga yang akan menaiki mobil sport milikmu,” suara lain mengalihkan fokus Leo, ia melihat adiknya yang lain yang memiliki wajah yang sama dengan Arra, Leo melirik sekilas pada Arra yang sudah berada lebih jauh darinya, ia melirik ke sekitar taman yang cukup ramai memastikan Arra baik-baik saja jika ia meninggalkannya sebentar untuk membantu Abella, adik bungsunya.                “Ya Abella, aku akan segera ke sana.” Leo segera menghampiri Abella, setiap minggu pagi memang menjadi rutinitas anak laki-laki berusia tujuh tahun itu untuk mengajak dua adiknya bermain bersama di taman dekat komplek.                Leo mendekati Abella dan tersenyum melihat sang adik yang menggambar mobil sport impiannya selama ini, di sisi mobil itu ada gambar yang Leo yakini jika itu dirinya, Arra dan Abella yang akan menaiki mobil tersebut.                “Ahh, aku ingin warna merah untuk mobil indah ini,” Abella mengangguk setuju dan memperhatikan Leo yang tengah mewarnai, sedangkan Leo sesekali melihat ke arah Arra yang masih berusaha mengejar kupu-kupu itu. Fokus Leo terbagi menjadi dua, mewarnai dan mengawasi Arra, hatinya semakin takut saat melihat Arra semakin jauh mengejar kupu-kupu.                “Abella tunggu di sini dulu ya, aku ingin mengejar Arra, sepertinya dia sudah terlalu jauh.” Abella hanya mengangguk dan membolak-balikkan badannya di tikar bergambar salah satu tokoh disney yang dibawa Leo dari rumah tadi.                Dengan perasaan gelisah Leo mencari Arra yang kini entah sudah menghilang kemana, laki-laki itu terus berteriak memanggil sang adik, namun yang ia dapati hanya suasana riuh orang-orang di sekelilingnya, hingga teriakan seseorang membuatnya menoleh dan ia begitu terkejut melihat sang adik yang berada di tengah jalan menjerit dan menundukkan kepalanya. Dengan kecepatan penuh Leo menghampiri Arra saat melihat ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arah Arra, tanpa berpikir ia langsung mendorong Arra ke tepi, namun naas belum sempat ia menyelamatkan diri, mobil itu sudah menabrak tubuh kecilnya, membuatnya terpental beberapa meter, Arra yang melihat itu langsung menangis histeris dan menghampiri Leo yang sudah bersimbah darah.                “Kak Leo, Kak!!!! Bangun, jangan tinggalkan Arra!!! Kakak tidak boleh meninggalkan Arra.” Dengan air mata yang terus membasahi wajah chubby-nya, Arra mengguncang tubuh Leo dan mendekapnya erat.                Anak perempuan berusia lima tahun itu harus merasakan tamparan cukup keras di wajahnya dari sang ayah, tubuh kecilnya bergetar ketakutan melihat tatapan marah ayahnya.                “Ampuni Arra, Daddy, maaf, Arra tidak tahu, Arra nakal karena tidak mendengarkan Kakak,, hiks ... hiks,” Arra terus terisak dengan kepala yang menunduk.                “Arggghhh!!.” Teriakan Isaac, sang ayah membuat tubuh Arra semakin bergetar. “Apa yang kau lakukan hah?!! Kau mencelakai kakakmu, Arrabela.!! Kau benar-benar pembawa kutukan, menyesal aku memiliki anak sepertimu.!!!!!” Teriak Isaac kalap, Emma ingin mendekap anaknya itu, namun melihat anak laki-lakinya yang kritis membuat ia menghentikan langkahnya untuk mendekati Arra, mungkin benar jika kutukan itu benar-benar ada dan Arra lah penyebabnya.                “Mommy,” gumam Arra lirih menatap ke arah Emma berharap sang ibu akan mendekapnya dan memaafkannya, namun tatapan tajam yang ia dapatkan benar-benar menyakiti hatinya.                       “Maaf tuan, kami tidak bisa menyelamatkan putra anda.” Suara dokter yang baru keluar dari UGD menghentak Arra, gadis kecil itu semakin merasakan sakit seolah tulangnya dilolosi satu-satu dari tubuhnya.                “Kau pembunuh Arrabela. Kau membunuh kakakku,  aku membencimu, kembalikan Kakakku, kau pembunuh!” Teriak Abella dan memukul Arra bertubi-tubi. Belum selesai dengan amukan Abella, Arra merasa tubuhnya dibopong paksa oleh seseorang yang tak lain adalah ayahnya.   ~*~                “Arrghhh,” teriakan itu mengejutkan Daisy yang baru saja memasuki ruang rawat Arra, Daisy mengguncang tubuh Arra yang terus bergetar dan mengeluarkan keringat dingin dengan wajah yang semakin pucat.                “Arra, Arra, bangunlah sayang, Mommy di sini, Mommy di sini.” Daisy sekali lagi mengguncang tubuh Arra, membuat Arra seketika tersentak dan membuka matanya, dilihatnya Daisy yang berada di sisinya memandang penuh kekhawatiran ke arahnya, seketika Arra langsung memeluk tubuh Daisy begitu erat dan terisak pilu di d**a wanita setengah baya itu.                “Mommy, Mommy hiks ... aku aku yang membunuh Kak Leo, aku pantas mati Mommy,” Arra terisak di d**a Daisy.                “Tidak sayang, semua itu adalah takdir, kakakmu begitu menyayangimu hingga ia bersedia menukar nyawanya untukmu, jangan kau sia-siakan pengorbanannya dengan menyalahkan dirimu, kau harus menjalani hidup dengan bahagia, agar Leo juga bahagia melihatmu dari sana.” Daisy menangkup wajah Arra dan menghapus air mata gadis itu.              “Mommy,” ujar Arra dengan suara sengaunya, semuanya terasa begitu berat memenuhi kepalanya, seolah semua beban yang sejak lama ia pendam dalam-dalam kini meledak-ledak bagai bom waktu di hatinya.                “Mulai sekarang berjanji pada Mommy, bahwa kau harus menceritakan semua yang kau rasakan, Mommy tidak ingin kau sakit lagi, dan perhatikan apa saja yang kau makan, janji?” Daisy berkata tegas sekaligus lembut, seolah sedang memperingati anak gadisnya yang baru beranjak dewasa untuk membatasi pergaulan, Arra hanya mengangguk dan kembali menyerukkan kepalanya pada d**a Daisy yang terasa begitu nyaman.   ~*~                “Bagaimana kau bisa sudah ada di sini?” Arra yang baru membuka pintu menatap terkejut ke arah Dean yang tengah bersandar di dinding samping pintu, sedangkan Dean dengan gaya cool-nya hanya menggidikkan bahunya acuh dan menarik tangan Arra untuk memasuki mobilnya.                “Setelah sakit kau jadi amnesia ohk? Bukankah memang kita akan selalu berangkat bersama,” Arra hanya tersenyum dalam diam, menatap tangannya yang digenggam begitu lembut oleh Dean, setelah dirawat tiga hari di rumah sakit, sikap Dean menjadi lebih perhatian padanya, dan Arra mengakui jika dirinya sudah jatuh dalam segala hal tentang Dean.                Setelah tiba di kampus, Arra langsung menuju ruang kesekertariatan organisasi, pagi ini akan diadakan rapat membahas progres dari masing-masing sie, setelah tiga hari tidak masuk, ia yakin pasti banyak sekali informasi yang ia lewatkan terkait acara besar itu.                “Arra,” panggilan Nana membuat Arra tersenyum, Nana langsung merangkulnya dan mengajaknya menuju ruang rapat bersama.                “Kau sudah benar-benar sembuh?” Tanya Nana yang memang sempat menjenguk Arra di rumah sakit dengan beberapa mahasiswa lain.                “Heum,” Arra hanya menggumam.                “Ooh ya, kau mengenal dua pria itu? Yang kemarin juga menjengukmu,” Arra menautkan alisnya mendengar pertanyaan Nana.                “Itu, mereka teman Dean,”                “Ahh mereka, ya aku mengenalnya, ada apa?”                “Bantu aku dekat dengan Samuel, kurasa aku menyukainya, terutama senyumnya,” Nana berkata dengan nada berbinar seolah sedang membayangkan wajah Samuel yang tersenyum ke arahnya, Arra terkekeh dan menatap Nana serius.                “Boleh, tapi berapa yang berani kau bayar untuk jasaku itu?” Arra menautkan alisnya menunggu jawaban Nana.                “Yakk Arrabela!! Kita teman, tega sekali dirimu!” Arra sudah berlari sebelum mendapat amukan dari Nana.   ~*~                “Astaga, kau mengejutkanku.” Arra memegangi dadanya yang berdebar saat lagi-lagi melihat Dean yang sudah berdiri di sisi pintu kelasnya, “Sepertinya kau benar-benar mengetahui semua jadwalku ya?” Arra mencibir, sedangkan Dean hanya mengangkat bahunya acuh.                “Aku tidak bisa mundur jika sudah melakukan sesuatu,” ucapan ambigu Dean membuat Arra menautkan alisnya, belum sempat gadis itu bertanya, Dean  sudah menariknya.                “Apa maksud ucapanmu?” Bukan jawaban yang Arra dapatkan, justru tatapan dalam Dean yang tidak bisa ia terjemahkan.                “Perasaanku yang sudah tidak bisa mundur darimu,” Ujar Dean dalam hati, alih-alih mengatakannya, pria itu justru menjawab pertanyaan Arra dengan pertanyaan. “Apa yang ingin kau makan siang ini?” Arra mendecak kesal dengan Dean yang sengaja mengalihkan topik dan mengabaikan pertanyaannya.                “Kita langsung ke kafe saja, aku sudah tiga hari absen,” ucapan Arra membuat Dean menatap Arra kesal, dan menarik tangan gadis itu lebih dekat ke arahnya.                “Kita makan di restoran favoritku, tidak ada penolakan, ini perintah!!!” Ujar Dean tegas, Arra menghentak-hentakkan kakinya kesal namun tetap mengikuti langkah Dean.                Sepanjang perjalanan Arra justru banyak melamun, akhir-akhir ini mimpi tentang masa lalunya semakin sering menghantuinya, bahkan hal terburuk yang selalu ingin ia hilangkan dari ingatannya tentang pembicaraan orang tuanya malam itu, tentang alasan sang ayah yang selalu mengatakan jika ia pembawa kutukan nasib buruk untuk semua masalah yang bertubi-tubi menimpa keluarganya, dulu bahkan hingga sekarang jika ia kembali mengingat semua peristiwa itu, ia merasa memang dia adalah kutukan nasib buruk untuk orang-orang di sekitarnya.                “Dean,” panggil Arra menoleh ke arah Dean. “Apa kau percaya tentang manusia yang membawa hal buruk untuk sekitarnya?” Tanya Arra dengan nada lirih.                “Tidak. Bodoh jika manusia mempercayainya, segala hal buruk yang terjadi itu karena sebab akibat dan campur tangan Tuhan, seperti kau yang sakit karena tidak menjaga pola makanmu, itu bukan karena Bianca atau Mommy-mu yang membawa nasib buruk untukmu. Apa yang kau pikirkan?”                “Tidak ada, bagaimana jika seseorang menjadi penyebab kematian yang lain?”                “Kau tidak bodoh Arrabela. Kematian merupakan hal mutlak yang Tuhan tentukan, bukan karena seseorang, hanya cara mereka menuju kematian yang berbeda-beda, dan bodoh sekali orang yang menyalahkan orang lain karena kematian seseorang. Sekarang ceritakan padaku apa yang mengganggumu? Kau punya aku, ingat?” Dean menatap Arra intens.                “Aku tidak memilikimu Dean Keandre,” Arra meralat ucapan Dean, “Tidak ada yang kupikirkan, sudahlah ayo makan, aku juga sudah lapar.” Arra melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil, ternyata Dean membawanya ke restoran Jepang.                “Kenapa berhenti?” Dean yang sejak tadi berjalan di belakang Arra menatap gadis itu heran karena tiba-tiba mematung di depan pintu restoran.                “Ahh bukan apa-apa. Ayo, cepatlah, aku harus segera ke kafe.” Arra gelagapan dan berusaha tersenyum, ia menarik tangan Dean mencari tempat duduk yang strategis. Strategis untuk melihat kebahagiaan mereka, bodohnya ia masih saja melihat hal yang menyakiti hatinya dengan melihat tawa mereka yang tanpa dirinya.                “Ya ya ya, kau pikir dirimu saja yang memiliki urusan, aku juga masih ada kuliah setelah ini,” Dean ikut menggerutu, sebenarnya pria itu hanya berusaha membuat Arra mengalihkan tatapannya pada Abella dan orang tuanya, yang Dean tahu jika hal itulah penyebab berubahnya raut wajah Arra.                “Bukankah hari ini kau hanya memiliki satu kelas?” Tanya Arra yang memang sudah mengetahui jadwal Dean berkat Adel, si gadis yang begitu mengidolakan Dean bahkan mengambil kelas yang sama dengan pria itu di setiap mata kuliah.                “Kau tau jadwalku? Waah jadi selama ini kau benar-benar memperhatikanku dalam diam ohk?” Dean tersenyum menyeringai dan menautkan kedua alisnya, membuat Arra gelagapan, tidak mungkinkan dirinya mengakui jika memang ia memiliki jadwal kuliah Dean.                “Ck, kau terlalu percaya diri tuan, bukankah kau pernah bilang jika hari rabu kau hanya memiliki satu kelas.”                “Benarkah? Ahh aku tidak merasa pernah mengatakannya padamu,” Dean berusaha berpikir keras, karena seingatnya ia tidak pernah bercerita tentang jadwal kuliahnya pada Arra dan sudah jelas gadis itu berbohong.                “Ck apa susahnya menjawab, kelas apa yang kau ikuti lagi?” Arra mendengus kesal karena Dean yang sering menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.                “Aku akan ke kelas management bisnis.”                “Maksudmu? Management Bisnis? Seingatku tidak ada kelas bisnis di fakultas kita.”                “Ahh sepertinya kau harus lebih banyak tahu tentangku Nona, aku mahasiswa genius yang mengambil dua jurusan di dua universitas yang berbeda, aku mengambil Management Bussines juga di kampus sebelah,” Arra hanya bisa menatap terkejut pada Dean, pria itu ternyata benar-benar berbeda.                “Kenapa harus mengambil dua jurusan? Itu sangat melelahkan dan jadwalmu pasti sangat padat.” Dean tersenyum menatap raut wajah Arra yang terkejut, kagum sekaligus tak percaya.                “Tentu saja, aku anak laki-laki satu-satunya, kakakku sudah mengambil dokter karena cita-citanya, jika aku tidak mengambil bisnis lalu siapa yang akan meneruskan perusahaan keluarga?”                “Bagaimana rasanya? Apa sangat melelahkan? Kau pasti selalu pulang larut?”                “Tidak lebih melelahkan dari apa yang kau alami,” Dean membatin dan menatap Arra dalam. “ Aku sudah mengambil Bisnis satu tahun lebih awal sebelum akhirnya aku mengambil Modern Music, dan tahun ini aku hanya tinggal menyelesaikan skripsiku di Management Bussines, aku tidak sesibuk itu kecuali satu dua tahun yang lalu,” Dean tersenyum dan mengacak rambut Arra saat melihat binar mata gadis itu yang masih menatap takjub padanya.                “Kenapa harus mengambil musik dan justru malah menyusahkanmu?” Arra seolah belum puas bertanya, membuat Dean terkekeh.                “Sejak kecil aku mencintai musik, saat Daddy menyuruhku mengalah pada Helen  karena  tidak ingin mengambil alih perusahaan, aku merasa hidupku akan hampa tanpa musik, walau tanpa kuliah aku masih bisa menikmati musik setiap hari, tapi rasanya hampa saat aku harus selalu berinteraksi sendiri dengan alat-alat musik itu, dan satu tahun setelah mengambil Bisnis aku akhirnya memutuskan untuk mengambil Modern Music juga, kupikir akan menyenangkan karena bisa melihat berbagai kemampuan orang dalam mengembangkan bakatnya,” Dean mengangkat bahunya acuh memperhatikan mimik Arra yang puas dengan jawabannya.                “Tapi kenapa kau tidak mau berinteraksi dengan mereka dan seolah membangun sendiri duniamu di kampus itu?” Tanya Arra masih penasaran dengan sikap awal Dean saat awal-awal dia mengenal pria itu.                “Kau sedang menginterogasiku nona?” Dean menautkan kedua alisnya, sedangkan Arra hanya menggidikkan bahunya santai walau ia penasaran setengah mati dengan jawaban Dean, namun gadis itu harus menelan kecewa saat waiter datang mengantarkan pesanan mereka, dan Dean sepertinya tidak mau membahasnya, terbukti pria itu yang langsung menyantap makan siangnya.                Sekali lagi Arra menatap ke meja di mana keluarganya berada, tersenyum perih saat mereka menikmati makanan dengan bahagia tanpa dirinya, Arra merindukan dirinya berada dalam pelukan wanita yang telah melahirkannya, seburuk apapun dulu perlakuan mereka dan seburuk apapun dulu mereka menganggap Arra, tetap saja Arra merindukan kehangatan yang pernah ia rasakan walau sekejap, tetap saja ia merindukan dongeng yang selalu mereka bacakan untuk dirinya dan Abella, sang ayah yang selalu memainkan gitar mengiringi ibunya yang menyanyikan lagu lullaby untuknya dan Abella, dia merindukan saat-saat itu.                “Dean, aku ke kamar mandi sebentar,” Arra bangkit saat melihat Emma bangkit dari duduknya dan menuju toilet. Ia hanya ingin menyapa wanita itu lebih dekat dan melihat wajah yang semakin menua dan semakin ia rindukan dalam setiap napasnya.                “Mommy,” lirih Arra begitu melihat Emma yang sedang membasuh wajahnya di toilet yang terlihat sepi itu, Arra bisa melihat raut terkejut Emma, namun wanita paruh baya itu lebih memilih mengabaikannya dan merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan.                Arra menggigit bibir bawahnya, menekan rasa malu dan tidak tahu dirinya dengan mendekati tubuh itu dan langsung memeluknya dari belakang, ia bisa merasakan bagaimana tubuh Emma yang membeku saat Arra memeluknya, dan detik berikutnya yang Arra rasakan ialah tangannya disentak kasar oleh Emma yang kini menatapnya penuh amarah.                “Berani sekali kau memelukku hah!!! Jauhkan tangan kotormu dari tubuhku!!” Emma berteriak marah pada Arra, ia mendorong Arra kasar dan berlalu dari kamar mandi itu.                “Mommy,” sekali lagi Arra memanggil Emma dengan nada sarat luka, ia menggenggam tangan Emma, membuat Emma mau tidak mau menoleh dan melihat tatapan sendu Arra.                “Kenapa aku tidak bisa memelukmu sedangkan Abella bisa? Kenapa kau membuat jurang pemisah yang begitu jauh denganku? Kenapa kau harus melahirkanku jika kau membenciku? Bagaimana bisa kau mengklaim aku dengan hal sehina itu hingga kau membuangku. Kutukan nasib buruk? Bagaimana aku bisa menghilangkan itu dari pikiranmu Mommy? Aku anakmu, tidak bisakah itu menjadi alasan yang cukup untuk kau memaafkanku dan menyayangiku sama seperti yang kau lakukan pada Abella?” Arra bertanya dengan nada sengaunya, Emma menatap anaknya dengan ekspresi yang tak terbaca, ia menyentak tangan Arra dan berlalu meninggalkan Arra tanpa perasaan.                Arra hanya menatap nanar kepergian Emma, gadis itu menghapus air matanya kasar, membasuh wajahnya dan keluar dari toilet.                Entah apa yang dipikirkan oleh Emma yang jelas pandangan wanita itu terlihat kosong, ia berjalan menuju keluarganya dengan lemas dan tatapan menunduk seolah ubin kayu di restoran itu lebih menarik dari pada melihat jalan yang ia lalui, hingga ia tersentak saat menabrak sesuatu dan membuat tangannya panas seketika.                “Mommy, kau baik-baik saja?” Arra yang melihat Emma terjatuh dan terkena tumpahan sup panas reflek langsung menghampirinya, pengunjung restoran juga seketika mengalihkan fokusnya pada kegaduhan yang tercipta. Dean yang melihat itu langsung menghampiri Arra, namun belum sampai langkahnya mencapai gadis itu hal yang ia lihat membuatnya menggeram marah.                “Sudah kubilang jangan menyentuhku anak sialan!!!.” Teriak Emma marah saat Arra berusaha untuk membantunya, wanita itu bahkan mendorong Arra kuat hingga pinggang gadis itu terantuk meja.                Isaac dan Abella yang melihat itu langsung menghampiri Emma, Abella langsung membantu Emma berdiri.                “Abella, sayang bantu Mommy berdiri,” ucapan Emma yang begitu lembut saat meminta bantuan pada Abella membuat sekali lagi hati Arra teriris sembilu, gadis itu berusaha keras menahan air matanya, ia menatap Isaac yang menatap marah padanya.                “Jangan pernah mendekati kami lagi!!” Isaac menatap Arra dengan nyalang tidak peduli raut wajah terluka anaknya itu. “Ayo kita pergi dari sini.” Pria paruh baya itu langsung menggenggam tangan istri dan anaknya untuk meninggalkan restoran dan sekali lagi Arra hanya bisa menangis dalam hati melihat bagaimana sang ibu yang mengatainya anak sialan di depan umum dan sang ayah yang dengan keras menolak kehadirannya.                “Arra,” panggilan itu menyentak Arra, ia berusaha menormalkan mimik wajahnya dan tersenyum tipis pada Dean yang menatapnya penuh kekhawatiran.                “Ya Dean, apa kau sudah menyelesaikan makan siangmu? Kupikir kita harus pergi, bukankah kau juga akan ada kelas?” Ucapan tenang Arra membuat Dean menatap gadis itu sendu, ia maju selangkah dan memeluk Arra begitu erat, berkata melalui tubuhnya bahwa gadis itu memiliki dirinya.                “Ya!! Lepaskan aku, aku memintamu untuk pergi bukan malah memelukku,” Arra melepaskan pelukan Dean dan memukul Dean pelan, berjalan mendahului pria itu meninggalkan restoran, meninggalkan Dean yang menatap sedih pada Arra, merasakan bagaimana gadis itu berusaha menahan kesedihannya seorang diri.                “Tunggu aku,” Dean berusaha mengembalikan mimik wajahnya, ia merangkul Arra dari samping dan tersenyum tulus pada gadis itu.                Arra menatap Dean dari samping saat pria itu berjalan bersisihan dengannya menuju parkiran, ia terlalu malu dan terlalu takut, takut jika Dean akan meninggalkannya karena masa lalunya, tentang hal yang membuat orang tuanya memilih meninggalkannya, dan mungkin Dean juga akan memilih meninggalkannya, menjaga dirinya dari zona aman dari Arra yang membawa hal buruk untuk orang-orang yang disayanginya.                “Apa kadar ketampananku bertambah hingga kau tidak berkedip saat berjalan bersamaku? Awas tiang di depanmu.” Dean berusaha membuat lelucon dan benar saja Arra langsung menghentikan langkahnya setelah mendengar ucapan Dean, ia melihat ke depan yang ternyata sudah tiba di depan mobil, bukan ada tiang seperti yang dikatakan Dean, membuat gadis itu mendecak kesal.                “Hai kesedihan, pergilah jauh dari gadis cantik ini, wajahnya akan berubah jelek saat kau datang, jadi pria tampan ini sangat memohon pada sang kesedihan untuk pergi menjauh dari gadis di depanku ini,” Dean menepuk-nepuk puncak kepala Arra sambil merapalkan mantera konyol yang membuat Arra terkekeh, ia mengambil tangan Dean dan meletakkan tangan Dean pada kepala pria itu.                “Hai sang dewa pemberi ketampanan, gadis baik hati ini memohon kepadamu, buanglah ketampanan dari wajah pria di depanku ini agar ia tidak bisa menyombongkan dirinya lagi,” Dean melotot mendengar apa yang diucapkan Arra, Arra yang melihat itu langsung tertawa dan berlari kecil menghindari Dean di parkiran yang cukup sempit itu.                “Doamu benar-benar menyebalkan, Arra,” Dean berteriak masih berusaha mencari Arra yang bersembunyi di antara mobil-mobil yang terparkir berjejer begitu rapi. Tidak apa Arra mendoakan hal buruk untuknya, asal gadis itu bisa tertawa dan melupakan sejenak masalahnya, Dean rela.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD