Tetangga Oh Tetangga
"Halo, Pa," sapa Gisel saat menghubungi papanya.
"Iya, Sayang. Kenapa?" balas suara bariton dari seberang sana.
"Aku gak betah di sini, bisa pindah unit apartement gak sih?"
"Kenapa?"
"Tetangga sebelah berisik, aku gak bisa konsentrasi tidur," adu gadis itu manja.
"Hahaha ... Gisel, Gisel, kamu tuh ada-ada aja. Papa baru tahu kalau tidur butuh konsentrasi."
Gisel sudah mengerucutkan bibirnya, dia cemberut karena di ledek papanya. Niatnya menghubungi sang papa untuk mengadu malah kena ledek dan di omelin pada akhirnya.
Sudah keinginan Gisel sendiri mengambil kuliah di Indonesia, tanah kelahiran kedua orang tuanya. Dari Belanda dia kembali ke Indonesia untuk kuliah, mau tidak mau dia harus hidup mandiri di sebuah apartement yang papanya beli khusus untuknya.
Yang membuat Gisel kesal setiap malam minggu unit sebelah selalu berisik, gadis itu selalu mendengar suara desahan dan erangan seorang wanita dan pria yang sedang melakukan hal yang menjijikan bagi Gisel.
Seperti malam ini, suara khas itu kembali terdengar samar tapi tetap saja tidak nyaman di telinga.
"Ah! Faster, Honey!"
"Ah!"
"Oh! Yes, Baby!"
"ARGHT!!!" Gisel geram, emosinya sudah memuncak karena suara kedua orang itu.
Buk! Buk! Buk!
"WOI! BERISIK! BISA DI SILENT GAK SUARA KALIAN BERDUA HAH? ATAU MODE GETAR!" Gisel berteriak sambil memukul tembok kamarnya yang bersebelahan dengan kamar di unit tetangganya itu.
Seketika hening, Gisel terdiam sejenak kemudian dia menempelkan telinganya pada dinding untuk memastikan tidak ada suara lagi.
"Bagus!" monolog Gisel lalu dia kembali melanjutkan tidurnya.
***
Esok siangnya Gisel sudah tambil cantik, dia hendak pergi ke salah satu Mall mencari makan siang sekalian ke toko buku mencari referensi buku untuk kuliahnya yang baru mulai sebulan ini.
Saat Gisel keluar dan melewati depan unit tetangganya itu dia sempat melirik tajam dan memasang kuping tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan saat itu. Unit itu tidak ada suara sedikitpun. Jelas sepi, matahari sudah tinggi, penghuninya mungkin masih tidur karena kecapean melakukan olah raga malam di atas ranjang atau bahkan mereka sudah pergi.
Gisel menggedikan kedua pundaknya, tidak perduli. Kemudian dia masuk ke dalam lift yang kebetulan saat itu sedang terbuka tepat di lantainya.
Dengan city car hatchback miliknya Gisel memecah jalan Ibu Kota dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata karena jalanan saat itu yang masih lenggang karena akhir pekan, jika hari kerja jangan harap bisa ngebut.
Selesai makan siang Gisel pergi ke toko buku, masih sepi. Itu yang Gisel suka. Gadis itu tidak suka keramaian jadi tempat yang cocok untuknya selain toko buku ya perpustakaan.
Karena terlalu fokus membaca judul buku yang tersusun rapih pada rak, Gisel sampai tidak memperhatikan jalannya dan tiba-tiba dia menabrak punggung seseorang.
"Ouch! M-maaf, maaf. Saya-"
Seketika Gisel terdiam saat dia melihat siapa sosok yang dia tabrak.
"P-pak Yuza?" tegurnya.
Sejenak Yuza terdiam, dia berusaha mengingat nama mahasiswinya itu.
"Kamu Gisel 'kan?" balas Yuza dengan sedikit ragu, pasalnya gadis itu tidak fames seperti mahasiswi lainnya.
Mahasiswi baru setiap tahunnya banyak dan tidak semua Yuza bisa hapal langsung satu persatu di antara mereka. Pria itu hapal nama mahasiswi yang mendekatinya saja.
"I-iya, Pak. Saya Gisel. Maaf karena tadi saya menabrak anda." Gisel membungkuk sedikit tanda kesungguhannya.
"It's okay. Kamu sedang cari buku apa?"
Gisel menggaruk pelipisnya yang sebenarnya tidak gatal. Dia merasa dosennya sedikit aneh. Yuza menanyakan mahasiswinya sedang mencari buku apa sedangkan saat ini mereka berdua sedang di lorong buku khusus design. Gak mungkin Gisel di sana cari buku komik 'kan?
"Saya cari referensi buku design interior, Pak," jawabnya sambil kembali fokus pada susunan buku di rak.
Yuza tersenyum tipis. Lalu dia mengambil sebuah buku yang ada di rak paling atas.
Gisel terpaku saat tubuh Yuza mengikis jarak di antara mereka. Tubuh Gisel yang hanya setinggi pundak Yuza membuat gadis itu harus mendongak ketika melihat apa yang hendak sang dosen lakukan.
"Buku ini bagus untuk kamu kalau kamu ingin menjadi profesional interior designer," ucap Yuza sambil menunjukan buku yang dia ambil.
"Makasih, Pak." Gisel mengambil buku itu dari tangan Yuza kemudian pergi melenggang begitu saja.
Kening Yuza menyernyit, pria itu terdiam sambil menatap punggung mahasiswinya yang pergi meninggalkannya begitu saja hingga gadis itu menghilang di antara rak buku.
Yuza merasa heran dengan mahasiswinya yang satu itu, biasanya jika dia bertemu mahasiswinya pasti mereka mengajak Yuza untuk jalan atau minum kopi bersama agar bisa lebih dekat dengannya. Tidak seperti Gisel, gadis itu tidak melakukan hal itu. Bahkan lebih terlihat cuek dan mengabaikan Yuza.
Gisel mahasiswinya satu itu sangat berbeda.
Lamunan Yuza pecah karena ponsel di saku celananya bergetar.
"Kenapa, Dek?" jawab Yuza pelan mengingat dimana saat ini dia berada.
"Mas dimana? Tiba-tiba ngilang sih!" Suara manja Haruki sudah Yuza hapal.
"Aku lagi ada di tempat ternyamanku. Gak mungkin aku ikutin kalian berdua masuk ke dalam toko pakaian dalam wanita."
Yuza mendengar suara cekikikan Haruki di seberang sana.
"Ya sudah, kami ke sana. Tunggu."
Panggilan berakhir karena Haruki lebih dulu mematikan panggilannya.
Kedua gadis kembar itu sudah hapal betul dimana sang kakak laki-lakinya berada, tadi katanya tempat ternyamannya dimana lagi kalau bukan toko buku. Pantas lah kalau dia jadi dosen sekarang, makanan sehari-harinya buku. Pikir Haruki.
"Dimana?" tanya Harumi pada saudara kembarnya yang sedang memasukan ponselnya ke dalam tas.
"Biasa," jawabnya singkat.
Harumi mengangguk. Kemudian keduanya berjalan santai sembari menjinjing beberapa goodybag belanjaan mereka.
***
Gisel yang sedang di kasir hendak membayar buku-bukunya yang dia beli sempat melihat Haruki dan Harumi yang masuk ke dalam toko buku itu. Kedua gadis kembar berwajah cantik khas gadis Jepang menjadi pusat perhatian tentunya. Begitu juga Gisel yang menyukai segala sesuatu berhubungan dengan Jepang.
Kedua mata Gisel membola saat dia memperhatikan kedua gadis kembar itu merangkul tangan Yuza, keduanya bergelanyut manja di tangan kiri dan kanan dosennya itu.
Gisel menghela napas panjang sembari menggelengkan kepala.
"Dasar dosen playboy!" monolog Gisel.
Pasalnya, gak di kampus gak dimana-mana Yuza selalu dikelilingi oleh gadis cantik.
"Totalnya Tujuh Ratus Sembilan Puluh Lima Ribu Rupiah, Kak," ucap Kasir itu memberi tahu customer yang membeli bukunya.
"Oh iya, pakai ini bisa ya?" Gisel mengeluarkan sebuah kartu debitnya pada si kasir.
Kasir tersenyum mengambil kartu debit tersebut dari tangan Gisel dan menggeseknya di alat EDC yang ada di mejanya.
"Pin-nya silahkan."
Gisel menekan beberapa angka rahasia kemudian struk keluar dari mesin itu.
"Terima kasih, Kak," ucap sang kasir dengan senyum terbaiknya dan menyerahkan kartu dan struk serta buku yang sudah terbayar itu.
"Sama-sama," balas Gisel ramah.
***
Gisel keluar toko buku itu dan dia kembali melihat Yuza yang sedang berjalan di depannya sambil merangkul kedua gadis kembar itu.
"Dia gak bisa hidup tanpa wanita cantik kali yah?" monolog Gisel lagi.
Dan dia lebih memilih mengambil jalan lain agar tidak berpapasan dengan sang dosen.
Gisel turun ke lantai bawa menggunakan eskalator, dan dia berpapasan dengan Yuza dan si kembar yang hendak naik ke lantai atas.
Yuza tersenyum namun Gisel malah terdiam berpura-pura tidak melihat.