Inara mematung, tubuhnya menegang mendengarkan tiap kalimat yang dikatakan oleh Agra. “Saya sudah melakukan visum, siap melangkah ke ranah hukum kalau diperlukan. Namun, saya juga menyadari kesalahan saya.”
“Kamu masuk kamar mandi perempuan karena perempuan itu yang salah. Laporkan saja, minta ganti rugi.” Kalimat tegas Alvano semakin membuat Inara menciut.
“Mungkin saya akan melakukan negoisasi dulu dengan perempuan itu.” Pandangan Agra tidak lepas dari Inara.
Atalia yang menyadarinya langsung menarik sang putri mendekat. “Ini Inara, anak yang kami ceritakan.”
“Iya, yang kalian bilang sangat pendiam, pemalu, lemah lembut dan juga tidak terbiasa dengan hal-hal biasa.”
“Maka dari itu mohon bantuannya, Agra. Dia harus jadi pemimpin yang baik di masa depan. Ka-” ucapan Alvano tertahan ketika Atalia menarik lengan bajunya pelan. “Sayang, kenapa?”
“Mau ke kamar mandi. Boleh ikut?”
Agra mempersilahkan, Inara ditahan Alvano. “Ngapain ikut, Nak? Tunggu disini, kenalin diri kamu ke Agra. Gak usah takut, Cantiknya Papa.”
Senyuman Agra terbit melihat ketakutan di wajah perempuan itu. “Gak usah takut,” ledek Agra saat Inara tidak kunjung berbalik menghadapnya. “Heh, gak ada yang mau kamu omongin ke saya?”
“Saya…. Saya mohon maaf, Pak. Tolong jangan bilang hal itu ke orangtua saya. Jangan laporkan saya juga, saya akan turuti apapun kata bapak.” Baru pertama kali Inara memohon, matanya berkaca-kaca takut mengecewakan kedua orangtuanya.
“Kondisi saya begini gara-gara kamu, Inari.”
“Nama saya Inara,” bisiknya supaya tidak terdengar kedua orangtuanya. “Saya mohon maaf sebesar-besarnya.”
“Ikuti apapun yang saya bilang ya? Tentu, kamu harus lakukan apa yang saya perintahkan atau berakhir di penjara.”
Ternyata, penderitaannya baru saja dimulai ketika Agra berucap, “Saya baru saja berdiskusi dengan Inara, Pak. Cara membimbing saya mungkin terbatas karena kesibukan. Tapi Inara bersedia untuk tinggal di apartemen yang dekat dengan milik saya, dan menjadi asisten pribadi saya hingga dia tahu permasalahan apa yang tengah kami hadapi.”
***
Kepindahan Inara ke apartemen bersamaan dengan hari pertama masuk kampus. Untuk pertama kalinya Inara naik taksi online, tidak mendapatkan sapaan hangat dari staff prodi. Inara diperlakukan layaknya mahasiswa biasa. “Loh, kontrak SKS juga?” tanya seseorang disamping Inara. “Kita satu kelas loh! Kenalin, gue Neysa!”
“Inara.”
Setidaknya Inara memiliki teman hingga dirinya tidak sendirian kesana kemari. Neysa juga sekretaris BEM, dia membantu menjelaskan beberapa hal pada Inara termasuk keharusan dirinya memiliki sertifikat bela negara untuk sidang skripsi nanti. “Ketua BEM-nya lagi sibuk banget, kalau dia udah balik bakalan gue kenalin deh.”
“Makasih banyak.”
“Nanti anter gue ke rektorat yuk, mau bayar jurnal.”
Inara menelan salivanya kasar, rektorat identik dengan rektor. Inara sampai diam sepanjang kelas, lalu teringat sesuatu. “Bukannya bisa bayar lewat siakad ya?”
“Bisa! Tapi gue mau lihat Pak Agra. Lu tau gak siapa dia?”
Inara menggelengkan kepala, membuat Neysa menarik napas dalam sebelum menjelaskan siapa itu Agra sepanjang langkah mereka ke rektorat. Agra adalah dosen terpanasssss di Universitas Bramawijaya, meraih gelar professor di usia 35 tahun dan masih lajang. Walaupun terkenal killer dan tidak pandang bulu saat mengeluarkan mahasiswa, tapi Agra tetap saja menarik perhatian para mahasiswa.
Inara tidak tahu kalau Agra sepopuler itu sampai memiliki fanbase penggemar. “Nih, lihat fanbasenya banyak banget tau! Ada FANBASE MR.HOT, PENGGEMAR PAK AGRA, sama PROFESSOR GANTENG PUNYA KAMPUS BRAMAWIJAYA.”
Inara heran, rasanya Agra tidak setampan itu sampai harus memiliki 3 fanbase. Sambil menunggu Neysa ke bagian keuangan, Inara jalan-jalan saja. Sudah lama tidak datang ke rektorat, ada banyak perubahan disini.
Kakinya berhenti melangkah ketika mendengar teriakan, “SAYA REKTOR KALIAN! KALIAN YANG HARUS NURUT KE SAYA!” menggema di sepanjang koridor.
Rasa penasaran membawa Inara mendekat, apakah ada hal genting terjadi hingga Agra berteriak semarah itu? Namun, pintu rapat lebih dulu terbuka saat Inara baru hendak menempelkan kuping. Dia langsung berdiri tegak. “Pak…,” ucap Inara dengan suara agak bergetar.
Agra memicingkan mata, melangkah maju yang refleks membuat Inara mundur perlahan sampai punggungnya menyentuh dinding. “Pak, mau ngapain, Pak?” Inara panik.
“Sore nanti ke ruangan saya, ada yang harus kamu lakukan.”
***
“Inara ya?” tanya sekretaris dengan nametag Agil yang menunggu di depan ruangan Agra, “Bapak udah bilang kamu mau datang. Silahkan tunggu di dalam.”
“Terima kasih, Pak.”
Inara duduk menunggu di ruangan. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
Kamu udah di ruangan saya?
Tanpa bertanya pun, Inara sudah tahu siapa sosok ini. Mengirimkan foto sebagai bukti. Inara pikir, Agra akan segera datang. Tapi satu jam berlalu, Agra tidak kunjung datang.
Remote AC nya tidak tahu dimana, Inara mulai gerah. Jendelanya juga dikunci. Setelah menimang, Inara akhirnya tiduran dulu di atas karpet bulu dekat meja kerja Agra. Lelah pikiran dan juga fisik, Inara terlentang memejamkan mata demi mengembalikan energy dan mencari kedamaian sendiri.
Tapi rasa kantuk malah menghampiri sampai tidak sadar mulai terlelap.
Diwaktu yang sama, Agra masuk ruangan sambil berdiskusi dengan Aben. Dia tidak melihat kemana kaki melangkah, tidak tahu Inara terlentang dilantai BRUK!
“Kenapa?! Ada apa?!” teriak Inara terbangun.
“Bapak gak papa?!” Aben membantu Agra yang tersungkur akibat terjerat tubuh Inara. “Bapak, ada yang sakit?”
“Asatagaaa!” Agra kelelahan, sekarang ditimpa dengan hal sial. Matanya menatap tajam Inara yang kini sudah berdiri sambil menunduk. “Kamu ngapain tidur dibawah?”
“Maaf, Pak. Ac nya mati, saya niatnya mau meregangkan otot, tapi malah ketiduran,” jawab Inara dengan suara yang hampir hilang.
Aben membantu Agra duduk supaya lebih tenang. “Saya bawakan matcha kesukaan bapak ya. Tenang dulu, Pak. Inget marah-marahnya disimpen buat besok, masih ada rapat lainnya.” Kemudian meninggalkan ruangan.
Agra tidak tahu harus melakukan apa supaya rasa kesalnya tersalurkan. Tidak mungkin juga baginya melaporkan Inara atas tindakannya di Bandara, itu malah akan membuat Alvano stress berakhir dengan dirinya yang harus membereskan pekerjaan.
Perempuan ini harus mendapatkan pelajaran.
“Saya minta maaf, Pak.”
Kalimat itu tidak membuat amarah Agra reda. Dia mengangkat kakinya ke atas meja, kemudian memerintah, “Pijitin kaki saya.”
“Loh? Pak?”
“Kenapa?” Tanya Agra dingin.
Inara langsung menunduk kembali. “Saya gak tahu cara pijit orang, Pak.”
“Lihat tutorial di youtube.”
Inara masih diam.
“Atau perlu saya bicarakan tindakan kamu ke Pak Alvano. Gak dapet sanksi pidana, tapi dapet sanksi social.”
Inara langsung duduk di sofa depan meja. Membuka youtube dulu mencari tutorial cara memijat kaki. “Iya, saya pijitin sekarang,” ucap Inara hampir seperti bisikan. Ponsel itu diletakan di meja, pandangan Inara focus padanya. Hanya meremas saja, kemudian berpindah bagian.
Agra memejamkan mata mencoba menikmati pijitan yang tidak berasa. Inara terlalu focus pada ponsel hingga tidak sadar tangannya semakin naik ke paha bagian atas. “Kurang keras, Inara.”
“Oke.” Satu remasan paling keras dilakukan Inara di pangkal paha Agra.
“Arrgghhh!”
“Aaaa!” Inara sama kagetnya. “Kok lembek?” cicitnya.