Kinan sudah bersiap jika dirinya tidak mendapatkan izin dari ke dua orang tuanya. Sedangkan di luar, ada seseorang yang mendengar semua ucapan Kinanti dengan gamblang. Membuat perempuan itu mulai berkaca-kaca.
Gadis yang sejak tadi hanya diam mendengarkan kini mulai melangkahkan kakinya. Tanpa mengucap salam, gadis itu membuka pintu rumahnya.
“Kakak mau ke Jakarta ya?” tanya Shifa menatap penuh tanya kepada Kinanti.
Sedangkan Kinanti, hanya mengangguk dan memandang ke arah orang tuanya secara bergantian. Lalu Kinanti mulai menjawab pertanyaan adiknya dengan ragu.
“Iya, kalau Ayah dan Ibu memberi restu.”
Shifa gantian meminta penjelasan dengan menatap kedua orang tuanya. Wajahnya memelas, seolah jangan biarkan kakaknya untuk pergi. Namun di luar dugaan Shifa, ternyata Pak Irfan malah memberikan jawaban di luar ekspektasi Shifa.
“Ayah akan mengikuti maumu Nak, jika kamu siap untuk mengadu nasih di Ibu kota, Ayah akan mengizinkan!”
Kinanti tersenyum, lalu pandangannya menoleh pada sang ibu yang sejak tadi hanya diam saja.
“Ibu, bagaimana menurut ibu? Apa ibu memberiku restu untuk aku pergi bekerja ke Jakarta?”
“Jika Ayahmu sudah memberi izin, ibu akan ikut memberimu restu. Yang penting kamu hati-hati dan selalu jaga diri.
“Tentu Bu!” Kinanti antusias karena dia di ijinkan berangkat ke Jakarta untuk bekerja. Namu senyum Kinan luntur, saat melihat ke arah Shifa yang menunduk sedih.
Kinanti langsung berdiri dan mulai merengkuh bahu adiknya, “Kenapa kamu menangis? Bukannya kamu senang, kalau kakak nggak di rumah? Setidaknya kasih sayang Ayah dan Ibu tak terbagi,” ucap Kinanti menggoda Shifa.
“Kenapa Kakak ngomong gitu? Aku nggak ada teman kalau Kakak pergi kerja ke Jakarta!”
Kedua orang tua Kinan juga merasa sedih, salah satu putrinya akan mengadu nasib di Jakarta. Tapi jika Kinan dilarang pergi, pasti Kinan akan merasa sedih.
“Sudah Fa, kamu ganti baju dulu. Setelah itu baru diteruskan ngobrolnya!”
Shifa berlalu sambil mengerucut kesal berjalan ke arah kamarnya, yang terletak berhadapan dengan kamar kakaknya.
“Kenapa harus besok sih? Mendadak banget lagi?”
Shifa menggerutu kesal, setelah sampai di kamarnya. Shifa dengan kesal langsung membuka seragamnya, lalu dengan cepat berganti pakaian. Nanti sore, dia akan meminta penjelasan kepada kakaknya itu.
“Tega amat Kak Kinan ninggalin aku?”
Shifa beneran merasa sedih juga kehilangan, karena kakaknya akan pergi bekerja ke Jakarta.
“Apa di Bandung tidak ada tempat untuk melamar kerja? Yang benar saja?”
Shifa terus saja menggerutu, sambil mengganti pakaiannya. Sedangkan di ruang tamu, Kinan sedang berbincang dengan kedua orang tuanya.
“Tante mu, memberitahu tidak kamu bakal kerja apa dan sebagai apa?” tanya Bu Nita.
“Tante hanya bilang, cepat ke Jakarta besok, katanya ada lowongan di hotel tempat Om kerja. Kinan juga belum tahu pastinya Bu,” jawab Kinan sambil fokus ke tv di hadapannya.
“Ya sudah biar ibu yang bicara sama Lusi, mana handphone kamu, ibu pinjam.”
“Tunggu sebentar Bu, Kinan ambil dulu, handphonenya.”
Kinan berlalu, masuk ke dalam kamarnya dan mengambil handphone untuk ibunya.
“Ini Bu,” ucap Kinan sambil memberikan handphone miliknya.
Setelah handphone di tangan Kinan Bu Nita mulai panggilannya. Dering pertama hingga dering kedua baru mulai terdengar suara sahutan dari sebatang sana.
[“Halo Mbak ada apa?”] tanya Lusi.
[“Aku Cuma mau bertanya, apa benar kamu menyuruh Kinan untuk berangkat ke Jakarta?”] tanya Bu Nita.
[“Iya Mbak. Mumpung di tempat kerja suamiku ada lowongan.”]
[“Owh, jadi kerja di hotel ya?”]
[“Iya Mbak. Ada mes nya juga, jadi nggak khawatir nyari kosan. Lumayan lah, gaji UMR.”]
[“Ya sudah, aku hanya bertanya itu saja. Kami sudah mengijinkan Kinan berangkat ke Jakarta. Besok pagi atau siang, dia pasti berangkat. Sebelum dia bekerja tolong jaga dia ya!”]
[“Iya tentu dong Mbak. Masa sama ponakan sendiri aku buatin terlantar. Jangan khawatir Mbak, nanti kalau di terima bekerja, Kinan juga boleh kok nginep di sini. Nggak harus di mes.”]
[“Ya sudah kalau itu, biar Kinanti yang memutuskan. Ya sudah besok Kinan ke Jakarta, nanti jemput dia ya!”]
[“Tentu Mbak. Jangan khawatir!”]
Setelah mendengar semua penjelasan dari Lusi, Bu Nita mulai lega. Setidaknya di Jakarta Kinanti tidak sendirian.
“Ini Nak. Besok siang saja kamu berangkat. Nanti Tante Lusi yang akan menjemputmu di terminal,” ucap Bu Nita sambil memberikan ponsel Kinan kembali.
“Sana siapkan keperluanmu Nak!” titah Pak Irfan.
“Baik Pak. Kinan mau ke kamar dulu.”
Kinan melangkah masuk ke kamarnya, namun saat ingin masuk, dia teringat adiknya Shifa, yang seolah ngambek karena dirinya akan berangkat ke Jakarta.
Tok Tok Tok
Kinan mengetuk pintu kamar adiknya, lalu menekan kenop pintu saat tak terdengar sahutan dari dalam kamar.
“Shifa!” Seru Kinanti saat sudah masuk ke dalam kamar. Kinanti hanya menghela nafas kasar, saat melihat Shifa tengkurap di kasurnya. Lalu langkah Kinan mengayun mendekat.
“Shifa, apa kau marah sama Kakak? Padahal aku berangkat ke Jakarta itu, demi kamu loh!”
Sesaat setelah mengatakan itu, Shifa tak juga mau menoleh ke arahnya. Membuat Kinanti mulai bicara lagi.
“Apa kamu mau, melihat ayah dan ibu setiap hari hanya mengurus ladang orang? Kakak nggak mau itu terjadi Shifa! Kakak mempunyai mimpi besar untuk keluarga kita. Setidaknya jika kakak bekerja akan ada pemasukan lebih. Dan hal itu bisa meringankan beban ayah dan ibu. Lalu kamu, juga butuh biaya yang tak sedikit untuk sekolah. Meski sekarang anak sekolah tidak bayar, kamu masih harus memerlukan ongkos dan uang jajan. Belum lagi uang tambahan untuk biaya sekolah. Seperti uang iuran, bayar LKS, bayar fotocopy dan sebagainya. Jika kakak bekerja setidaknya kakak bisa membantu pengeluaran ayah dan ibu. Apa kau paham?”
Shifa mulai bangun dan duduk, namun air matanya sudah merembes keluar membasahi pipinya.
“Kenapa harus Jakarta Kak? Bukankah di sini kita besar juga, apa iya di sini nggak ada lowongan?” tanya Shifa sambil menyeka air matanya.
Shifa hanya punya kakak perempuan satu, jika kakaknya pergi, Shifa tidak punya tempat berbagi lagi. Dan tentu akan sangat merindukan momen ketika bersama.
“Ada, mungkin ada lowongan buat kakak. Tetapi kamu lihat sendiri kan? Sudah beberapa kali kakak ajukan lamaran tapi tetap saja di tolak?” tanya Kinanti kepada Shifa.
Sedangkan Shifa hanya mengangguk pasrah. Semua yang di katakan kakaknya benar. Tidak mungkin kan keluarganya hidup dalam kesusahan setiap hari? Apa lagi dirinya baru menginjak kelas 2 SMP. Masih banyak biaya yang harus di keluarkan untuk kukus hingga SMA.
“Aku pasti akan sangat merindukan kakak!”
“Kakak juga pasti akan merindukanmu. Kita masih bisa melakukan panggilan vidio,” jawab Kinan. “Ya sudah kakak harus menyiapkan baju untuk Kaka bawa ke Jakarta besok,” lanjut Kinan lagi.
“Biar aku bantu ya kak!”
Shifa dan Kinan melangkah keluar kamar menuju kamar Kinanti. Kinanti mulai membuka lemari dan mengambil tas kecil untuk wadah bajunya. Dia tidak ingin membawa baju terlalu banyak, yang penting baju dan celana panjang yang sopan untuk dirinya bekerja.
Saat Kinan memilih baju ada sesuatu yang jatuh dari bawah lipatan baju. Kinanti mengeryit melihat amplop berwarna pink tergelatak di bawah kakinya. Kinanti buru-buru menginjak amplop itu agar adiknya tidak melihat apa yang baru saja jatuh.
“Kak Kinan kenapa?”