Bab 3

2243 Words
HAPPY READING *** Amber melirik jam pada layar ponsel menunjukkan pukul 18.15 menit. Ia sudah telat dari jadwal dijanjikan oleh Armand. Padahal ia tipe wanita yang selalu disiplin waktu. Jujur ia sudah terbiasa bertindak disiplin, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap suatu hal bahkan untuk diri sendiri. Karena ia tahu bahwa mendisiplinkan itu sulit, namun saat ia tahu bahwa disiplin dengan diri sendiri akan meraih dengan impian, maka hingga saat ini selalu ia terapkan. Taxi berhenti tepat di depan Grand Place. Amber membayar taxi dan tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada driver. Ia melihat mobil yang ia tumpangi sudah meninggalkannya. Amber menatap ke samping langkahnya terhenti, ia memandang Armand yang tidak jauh darinya. Tatapan mereka bertemu dan ia terpana sekian detik. Pria itu mengenakan kemeja berwarna hitam dan celana jins. Rambut hitamnya tertata rapi disisir ke belakang. Jujur ia akui bahwa pria itu sangat tampan hingga membuat hatinya berdesir. Armand melangkah mendekati Amber. Ada pepatah mengatakan bahwa mata bisa bicara. Dan nampaknya itu benar adanya. Ia memandang Amber, wanita itu mengenakan dress berwarna hitam dan ditumpuk dengan blezer berwarna senada yang memiliki panjang sama dengan dressnya. Rambut panjangnya diikat kebelakang. Dia terlihat sangat anggun dan elegan. Mungkin ia akan menilai rate 10 untuk penampilan Amber saat ini. Baru kali ini ia menemui wanita yang sangat anggun. Mengingatkanya pada Ratu Letizia dari Spanyol yang sangat dikenal dengan feminine dan elegan. Apalagi ditambah dengan sepatu yang Amber kenakan tampak senada. Armand tersenyum memandang wajah cantik itu, Amber membalas senyumannya. Jujur ada perasaan bahagia bertemu dengan Amber. Kedatangannya ke Brussel seakan tidak sia-sia. Mungkin banyak orang mengatakan bahwa Paris kota yang paling romantis di dunia ini. Namun dugaanya salah, kota paling romantis jatuh kepada kota Brussel. Kota yang penuh ketenangan, yang terletak diantara Belanda dan Perancis. “Hai,” Armand membuka topik pembicaraan. “Hai juga,” Amber membalas senyuman Armand. “Maaf telat,” ucap Amber. “Tidak apa-apa, aku juga baru datang.” Armand kembali menatap Amber, ia pandangi iris mata bening itu, “Kamu cantik sekali malam ini.” “Thank you. Kamu juga sangat tampan.” Armand tersenyum mendengar pujian dari Amber, wanita itu tidak hanya cantik, namun juga pandai menghargai seorang pria. “Thank you.” Armand dan Amber melangkah menelusuri Grand Place. Mereka menikamati suasana malam di kota Brussel, banyak para pengunjung berjalan kaki, mengitari area ini. Lampu warna-warni di gedung-gedung menyala dan mengeluarkan music klasik. “Suasana malam di sini sangat indah,” Armand melirik Amber, mereka melangkah secara beriringan. Walau tanpa menyetuh, terlihat sangat romantis menurutnya, hingga menciptakan perasaan yang dalam. “Iya, Brussel memang terkenal dengan keromantisannya. Aku bersyukur bisa mengenalmu di sini,” ucap Armand lagi. Amber mendengar itu hanya tersenyum, melirik Armand. Pria itu tidak sedang menggombal, karena seperti itulah kenyatanya, “Why?” “Karena dengan adanya kamu di sini aku tidak sendirian. Aku bisa menikmati malam yang romantis di sini bersama kamu.” Armand melihat Amber tertawa, tawa wanita itu sangat cantik. “Iyalah romantis, kalau yang kamu temui itu aku.” “Susah sih nyarinya kayak kamu. Mesti datang ke Brussel dulu baru ketemu.” Amber lalu tertawa, Armand juga ikut tertawa. “Kita akan makan di mana?” Tanya Armand. “Terserah, setahu aku makanan di sini lumayan murah dan rasanya sangat enak. Atau mau ke sana,” tunjuk Amber ke salah satu restoran bertulisan Le Pecheur. Armand menatap restoran yang di tunjuk Amber, restoran pilihan Amber tidak buruk. Restorannya tidak terlalu besar namun suasana romantis tercipta karena berhadapan langsung di depan gedung-gedung tua. Bagian depan restoran itu, memiliki estalase yang besar yang menghadap langsung ke gedung. Armand melihat sepanjang jalan ada banyak bar-bar dan pengunjung menikmati bir untuk menghangat tubuh mereka. “Aku pernah dengar bahwa Belgia itu paling terkenal dengan Bir nya,” ucap Armand. “Iya kamu benar. Selain coklat, waffle, ketang goreng, namun yang terkenal di sini adalah bir nya. Kamu pernah coba nggak?” “Belum, mungkin setelah kita dinner, aku wajib mencobanya,” Armand terkekeh. “Kamu suka minum sebelumnya?” Tanya Amber. Armand melirik Amber, “Aku bukan tipe pria peminum alkohol. Namun ketika menghadapi pekerjaan dan hari yang sangat melelahkan, sebotol bir dingin memberikan kesegaran yang mutlak. Saat sesapan pertama seolah-oleh aku segar kembali.” “Aku menikmati bir itu kadang-kadang saja, jika keadaan santai dan menikmati waktu seperti ini. Aku menikmati bir bukan untuk mabuk tapi lebih menyukai cita rasa dari bir itu sendiri” “Bagaimana dengan kamu? Kamu mau minum bir?” “Aku pernah minum bir dulu udah lama banget, sama temen-temen. Biasalah masih ABG baru-baru kenal club. Apa salahnya jika mencobanya lagi,” Amber terkekeh. “Kamu suka clubbing?” “No, itu dulu Armand. Clubbing berisik, Aku lebih suka ketenangan.” “Aku juga suka ketenangan.” Kini mereka memasuki restoran, mereka di sambut server berjaga. Server mempersilahkan Amber dan Armand duduk di table kosong. Amber membuka blezer hitam itu, dan ia simpan di paha nya dan merapikan rambutnya. Armand menatap Amber wanita itu membuak blezernya, ia melihat secara jelas bagaimana pakaian Amber. Ternyata dress yang dikenakan Amber memiliki punggung terbuka. Lihatlah betapa mulusnya punggung itu, tidak ada satupun cacat pada tubuh wanita. Sekian detik ia memandang, ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah server. “Men ik het menu zien?” (boleh melihat menunya?). “Ik wil een gerecht uit de region proben” “ (Saya ingin mencoba hidangan daerah). Sever itu menunjuk kepada Armand tentang makanan daerah dan Armand juga memesan dua botol bir untuk mereka. Setelah penjelasan panjang lebar oleh server tentang menu kepada Armand, akhirnya sever meninggalkan table. “Aku nggak percaya kamu bisa bahasa Belanda dan sangat fasih.” Armand tertawa, “Aku hanya bisa sedikit.” “Itu sudah cukup baik Armand. Aku saja di sini masih menggunakan translate, kalau berbicara dengan orang local. Kalau di hotel lebih baik aku menggunakan bahasa inggris saja.” “Iya kamu bener.” Tidak butuh waktu lama sever membawa hidangan, hidangan stoemp dalam porsi yang lumayan banyak, carbonade sekilas mirip seperti semur seperti di Indoneisa, namun bedanya ini dimasak menggunakan cuka anggur dan anggur hitam beserta rempah-rempah khas eropa. Tidak lupa Armand juga memesan dua botol bir dan air mineral. Hidangan itu sangat menggugah selera. “Makanannya enak” Armand mencicipi stoemp ia melirik Amber. “Iya, lebih enak dari pada masakan Perancis. Walau ini bukan restoran berbintang,” Amber juga memasukan makanannya di dalam mulut. Armand melirik Amber wanita itu makan dengan tenang, “Boleh tau nama panjang kamu?” Tanya Armand. “Amber Esme.” “Nama yang indah.” Amber tersenyum, “Iya, kata mama Amber itu artinya batu permata yang berharga dan Esme itu artinya Menawan. Jadi artinya dari namaku itu permata berharga yang menawan,” Amber terkekeh, ia memasukan makananya di dalam mulut memandang Armand. “Sesuai dengan kepribadian kamu. Kamu memang terlihat sangat berharga.” “Dan nama kamu.” “Armand Balges.” “Nama kamu juga bagus. kamu berapa saudara?" “Aku tiga bersaudara dan aku anak pertama.” “Adik kamu cewek apa cowok?” “Cowok semua" “Sama, aku juga tiga bersaudara, aku anak ke dua. Kakak aku bernama Naomi dan adik aku bernama Lily. Kami bertiga semua terjun di dunia bisnis, walau hanya kecil-kecilan saja. Mungkin orang tua kami memiliki bisnis, jadi anaknya semua terjun di dunia yang sama. Yang paling besar bisnisnya itu Naomi, dia memiliki bisnis yang cukup menjanjikan.” “Bisnis apa?” Tanya Armand penasaran, memakan makannya kembali. “Tas-tas branded seperti, Hermes, Chanel, LV, Dior, Balenciaga, Saint Laurent, Troy Burch. Mereka merek yang berhasil menanamkan citra dan nilai brand dalam gaya hidup masyarakat elite.” “Mungkin bisa dikatakan Naomi di salah satu reseler tas branded terbaik di Jakarta yang sukses. Aku awalnya tidak terlalu tahu dengan barang-barang brended itu, namun berkat Naomi aku jadi tahu.” “Mungkin status social menjadi hal yang penting bagi sebagian orang, bahkan aku anggap tidak terlalu penting sehingga tidak masuk akal. Uang yang digunakan untuk membeli barang tersebut tidak sedikit. Aku mungkin mempertanyakan kembali indikator status social dan ekonomi.” Armand menarik nafas, menatap Amber, “Ya sah-sah aja sih menurut aku, kalau menggunakan barang branded karena kualitasnya, material yang baik, style, control, kualitas produk seumur hidup bahkan menjadi investasi masa depan. Asal finansial kamu baik, patut untuk membelinya.” “Aku suka wanita yang menunjukan status sosialnya, berarti dia wanita mandiri yang sukses dan bukan wanita sembarangan. Aku juga salah satu pria penyuka barang-barang brended, seperti jam tangan, mobil mewah, ponsel, dan tempat tinggal. Selagi mampu membelinya, why not ?” Armand memandang Amber. Amber menelan ludah, ia menatap Armand, “Kamu tinggal di mana?” “Aku sudah tinggal sendiri, di Apartemen Keraton.” Amber menutup wajahnya dengan tangan, ia tidak percaya bahwa pria dihadapannya ini tinggal di apartemen Keraton. Ia pernah bertanya kepada salah satu marketing di sana, harga permeter saja mencapai 138 juta. Apartemen itu merupakan partemen termahal di Jakarta tepatnya di Bundaran Hotel Indonesia. Amber menarik nafas secara teratur, ia memandang Armand. “Sudah lama kamu tinggal di sana?” “Lumayan, sekitar sembilan tahun yang lalu.” “Kenapa tidak tinggal di rumah tapak?” “Aku juga sudah ada rumah di Pondok Indah, namun saat ini aku masih sendiri dan aku lebih nyaman di apartemen. Mungkin jika menikah nanti aku akan tinggal di rumah tapak.” “Kalau boleh tau bisnis yang kamu jalani saat ini apa?” Tanya Amber penasaran. Armand menyudahi makannya, ia menuangkan bir di dalam gelas, ia melirik Amber sambil meneguk bir itu, “Aku punya bisnis SPBU diberbagai daerah, di rest area menuju Jawa Barat itu kebanyakan punya aku. Ada di Kalimantan dan bulan kemarin aku meresmikan SPBU aku di Semarang. Kebetulan aku bekerja di bidang yang aku pahami dan aku sendiri supplier utamanya di tempat aku bekerja” Armand menyungging senyum. Amber tidak percaya bahwa ternyata Armand memiliki bisnis yang sulit dilakukan oleh kebanyakan orang. Bisnis pria itu tidak main-main, dan dia merupakan pemeran utama di dalamnya. Ia tidak tahu seberapa banyak nominal yang dihasilkan pria itu setiap bulannya. Karena bisnis SPBU selalu menghasilkan dan masyarkat Indonesia menggunakannya. “Jika sudah memiliki bisnis sendiri, untuk apa kamu masih bekerja di sana?” “Masih ada yang ingin aku kejar di sana.” “Apa?” “Direktur.” “Emang bisa?” “Pasti bisa.” “Semoga saja.” “How about you?” Tanya Armand menatap Amber. Amber lirik Armand, pria itu menyudahi makannya. Ia juga menyudahi makannya dan meneguk air mineral. “Aku juga sudah tinggal sendiri, aku tinggal di apartemen Hampton’s Park Apartemen.” “Di Cilandak?” “Iya.” “Aku tahu,” Armand tersenyum. “Aku kerja sesuai fashion aku. Aku punya brand namanya Mandjha butik. Ya tidak seberapa, namun aku senang menjalaninya.” “Apapun pekerjaanya jika kita suka menjalaninya, akan terasa menyenangkan. Toko offlinenya di mana?” tanya Armand. “Aku punya toko offline di Mall Kasablanka dan di Central Park. Dan aku juga punya marketplace di berbagai platform dan penjualannya lumayan. Butik aku semua hasil produksi sendiri, biasa produk yang aku hasilkan semua limited editon. Aku tidak mememasarkan dalam jumlah besar”. “Aku suka wanita yang bekerja di dunia fashion.” “Kenapa?” “Berarti dia tahu bagaimana mempercantik dirinya.” “Iya kamu benar.” Amber tersenyum. Armand menatap Amber, ia mengambil botol bir, “Kamu mau coba minum bir?” “Hemm.” “Rasanya manis dan sedikit asam, namun segar. Minum beberapa gelas tidak akan membuat kamu mabuk.” Amber tertawa, ia menatap Armand, “Iya boleh,” Amber mengambil gelasnya. “Mumpung lagi Brussel, kapan lagi menikmati bir terbaik di dunia ini,” Armand menuangkan bir ke dalam gelas Amber. “Iya kamu benar.” Amber menatap gelasnya sudah terisi air berwarna keemasan dan ada seduit buih berarna putih. Armand meneguk bir itu, benar kata Armand rasanya sangat segar mungkin karena bir itu disimpan di pendingin. “Rasanya lumayan enak,” Amber tersenyum setelah meneguk bir itu. “Besok kita ke mana?” Tanya Armand. “Masih keliling Brussel.” “Kenapa kamu nggak nginap di Steigenberger aja? Itu hotel terbaik di sini.” Amber lalu tertawa, ia melirik Armand, “Harganya mahal banget, harga satu kamar di sana bisa menginap selama seminggu di hotel aku tempati saat ini.” “Enggak usah khawatir soal harga, aku yang memesankan room untuk kamu.” “No, jangan Armand.” Amber menolak. “Why?” “Aku tidak ingin merepotkan kamu, apalagi kita baru kenal,” ucap Amber, ia kembali meneguk bir itu. “Come on, kita tidak sekamar, aku hanya ingin agar kita tidak bolak balik, berlawanan arah. Bertemu di tengah jalan seperti tadi. Jika kita berada di hotel yang sama, maka mudah untuk bertemu.” “Nanti aku pertimbangkan.” Armand menatap Amber cukup serius, wanita itu sepertinya sedang membatasi diri terhadap dirinya. Ia tidak akan bertanya tentang asmara wanita itu. Karena Armand yakin Amber sudah memiliki kekasih atau memiliki tunangan. Ia memandang jemari Amber tersemat cincin permata di sana namun bukan jenis cincin pernikahan menurutnya. “Amber.” “Iya Armand.” “Mau?” “Apa?” “Besok kamu check out dari hotel, aku akan sewa kan room untuk kamu.” “Tapi Armand …” “Come on …” Amber menarik nafas, ia menatap iris mata tajam Armand, ia tidak kuasa menolak, “Oke.” Armand tersenyum mendengar jawaban Amber, “Thank you.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD