"Mitha, cepat kemari!” perintah seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah mertuanya—Ema.
“Ya, Bu. Sebentar,” jawab Mitha.
Dia memakai daster lusuh dan hanya mengikat rambutnya ke belakang. Baru selesai mandi karena sejak tadi pekerjaannya tak ada habisnya. Wanita itu sedikit terkejut saat mendengar riuh suara dari ruang tamu. Terdengar gelak tawa yang bersahutan.
“Lama banget sih. Cepat sana bikinin minum buat teman Ardi!” Ema berkacak pinggang seperti bos besar yang tinggal memberi perintah saja.
“Te-teman Mas Ardi, Bu?” tanya Mitha memastikan.
“Iyalah teman Ardi, kamu mana punya teman. Wong kerajaanmu di rumah aja, mana kumel lagi, siapa juga yang mau berteman sama kamu,” sahut Ambar—kakak Ipar Mitha.
Jawaban ketus dari wanita yang menjadi kakak suaminya itu membuat ulu hati Mitha semakin nyeri. Kurang apa dia selama mengabdi pada keluarga suaminya ini.
“Mbak–”
“Sudah, sudah. Nggak usah ribut. Tuh kasihan tamunya nunggu lama.” Ema memotong ucapan Mitha saat sang menantu hendak membuka mulut.
Ambar tersenyum sinis melihat ketidakberdayaan adik iparnya. Tontonan setiap hari yang membuatnya terhibur.
“Kenapa tidak Mbak Ambar saja yang buatkan, Bu?” tanya Mitha sambil melirik sang kakak ipar.
Setidaknya iparnya itu ada gunanya selain mencaci dirinya dan bersolek, padahal usianya sudah matang. Namun, tak kunjung menikah.
“Heh, kamu itu ya, disuruh malah balik nyuruh, sadar diri! Sudah bagus adikku mau nikahin kamu dan kasih tempat tinggal gratis,” balas Ambar.
Mitha menghela napas panjang. Apa salahnya menjamu tamu yang merupakan teman adiknya sendiri. Malah balik menghujat.
“Kan emang sudah kewajiban suami, Kak, untuk memenuhi kebutuhan istrinya.”
“Kamu ini dibilangin malah–”
“Aduh!” pekik Mitha.
Tiba-Tiba saja ibu mertuanya menarik rambutnya dengan sangat kencang.
“Bisa tidak nggak usah banyak bicara, hah? Tanganmu yang kerja bukan mulutmu!”
Setelah itu, dilepaskannya rambut Mitha dengan kasar hingga tubuhnya tersentak. Dia berkaca-kaca merasakan perlakuan mertuanya yang semakin hari semakin buruk.
“Ba-baik, Bu.” Mitha pun berlalu dari hadapan ibu mertua dan iparnya. Dia memilih mengalah dari pada ribut.
“Rasain, miskin aja belagu,” olok Ambar tersenyum puas.
Mitha masih bisa mendengar ucapan Ambar. Namun, dia memilih untuk mengabaikan. Hidup dalam keluarga toxic membuat mentalnya sedikit berantakan. Dia tak sempat merawat diri, bahkan untuk sekedar jalan-jalan saja dia tidak pernah.
Ditelannya mentah-mentah perlakuan buruk keluarga suaminya. Dengan cekatan tangannya meracik minuman dan menyiapkan cemilan. Kemudian membawanya ke ruang tamu untuk dihidangkan.
“Mas,” panggilnya lirih.
Suaminya tengah asyik berbincang dengan teman-temannya sampai tidak menghiraukan kehadiran Mitha.
Tak mendapatkan jawaban dari suaminya, Mitha pun meletakkan begitu saja minuman juga cemilan yang dia bawa. Dia masih menunggu. Namun, Ardi tak kunjung memperkenalkan dirinya.
“Apa dia malu punya istri seperti aku?” batinnya.
“Sudah pergi sana! Jangan ganggu!” usir Ardi. Pria yang sudah menjadi suami Mitha selama tiga tahun itu.
Mendengar itu, hatinya seketika terasa perih. Sebenarnya Mitha masih bisa sabar menghadapi caci maki yang dilontarkan kakak ipar dan mertuanya, tetapi sekali saja bentakan dari suaminya terucap, itu sudah cukup membuat hatinya hancur.
“Ya,” jawabnya singkat meski kecewa.
Mati-matian wanita itu menahan air matanya agar tidak tumpah. Dia membalikkan tubuh hendak kembali ke dapur sebelum sebuah suara menahannya.
“Tunggu!”
Mitha kembali menoleh, seorang perempuan berparas ayu dengan tampilan modis dan rambut panjang tergerai. Air mukanya tampak angkuh dan tidak bersahabat.
“Ada air putih dingin tidak?” tanya dia.
“A-ada,” jawab Mitha terbata.
“Ambilkan dong! Aku nggak bisa minum manis. Lagi diet.”
Lagaknya seperti bos saja. Mitha akhirnya mengangguk pelan sembari memandanginya.
“Cepetan! Kamu denger nggak sih. Lelet banget kamu ini jadi pembantu,” omel wanita itu dengan tatapan tak suka.
Mitha masih bersabar meski ia merasa begitu direndahkan oleh sang wanita. Seketika kedua matanya membeliak saat mendengar kata pembantu. Jadi, mereka menganggapnya semata-mata hanya seperti pembantu?
“I-iya, baiklah,” jawabnya lemas.
Tidak ada tenaga untuk melawan. Suaminya saja tidak membelanya di hadapan para tamu. Jadi, untuk apa dia membantah. Mitha pun gegas mengambil air putih dingin dalam kulkas dan memberikan pada wanita jahat itu.
“Ini.” Dia menyodorkan gelas ke hadapan wanita itu, tetapi karena kurang hati-hati, Mitha tidak sengaja menumpahkan botol sirup di atas meja sehingga mengenai pakaian wanita itu.
“Aduh, gimana sih kamu. Dasar pembantu nggak becus, basah semua kan bajuku!” omel wanita itu.
“Ma-maaf. Aku nggak sengaja,” tutur Mitha cepat-cepat membersihkan tumpahannya.
“Bisa kerja nggak sih kamu, lihat nih, akibat kecerobohanmu, baju Shasi yang mahal jadi kotor, ‘kan?” timpal Ardi bersuara.
“Oh, jadi namanya Shasi. Kenapa dia begitu membela wanita itu daripada istrinya sendiri? Apa dia menyukainya?” gumam Mitha coba menahan air mata agar tidak semakin dicemooh. Rasanya begitu sakit, suaminya bahkan tak peduli sedikit pun padanya.
“Ambil tisu di belakang!” perintah Ardi lagi.
Buru-buru Mitha berbalik kemudian berlari menuju kamar sambil mengusap kasar wajahnya. Tak ingin ada yang tahu jika air matanya menetes. Namun, tiba-tiba saja dia menabrak seorang pria dengan postur tubuh tinggi dan atletis.
“Maaf,” ucap Mitha buru-buru.
Tidak ingin mendapat masalah lagi, dia segera melewati pria itu tanpa menatapnya.
“Tunggu!” Pria itu memanggil. Tangannya terulur menyentuh bahu Mitha. Sejenak ragu. Namun akhirnya, Mitha memberanikan diri memandang pria di hadapannya.
“Sherly? Kamu … Sherly, kan? Kenapa penampilanmu jadi begini?” tanya sang pria.
Sorot matanya terlihat jijik. Menelisik setiap inci tubuh Mitha. Mitha pun terkejut mendapati pria itu tahu nama aslinya. Sebenarnya siapa dia sampai bisa tahu nama aslinya?
“Bukan.”
Ditepisnya dengan pelan tangan kokoh yang mencengkeram bahunya.
“Heh, malah bengong di sini, sana cepetan ambilin tisu!” bentak Ardi mengejutkan.
Tiba-Tiba saja sang suami menyusulnya. Untung saja Mitha tidak banyak bicara.
“Maaf ya, Bisma. Dia memang lelet kerjanya. Bikin ulah dia sama lo?” tanya Ardi tampak tak enak hati.
“Oh enggak, kok. Gue cuma nggak sengaja nabrak dia," balasnya acuh.
“Bisma? Di mana aku pernah dengar nama itu?” batin Mitha lagi-lagi merasakan pusing di kepalanya.
Belum hilang rasa penasarannya, tiba-tiba Ardi sudah mendorong dirinya menjauh.
“Sudah sana ke dapur bantuin Ibu!” perintah pria itu kesal.
Mitha pun hanya mengangguk. Daripada dia kena cibir terus berada di kalangan orang-orang terpandang. Lebih baik menepi dan menyendiri.
Dia pun berjalan dengan gontai. Kejadian hari ini sukses membuat hatinya remuk. Walaupun setiap hari tak ada bedanya dengan pembantu. Namun, sikap suaminya semakin membuatnya terluka.
“Mitha! Cuci piring tuh sudah numpuk!” perintah Ema.
“Ya, Bu.” Mitha hanya bisa pasrah. Lagi-lagi disuruh mengerjakan apa-apa sendiri.
Dia mencintai Ardi begitu dalam, berharap pria itu bisa berubah suatu saat nanti. Namun, penantiannya seolah sia-sia. Sambil menghela napas saat mengingat itu, Mitha pun mulai mencuci piring.
“Hei, toilet di mana?” tegur seseorang.
Mitha menghentikan gerakan tangan dari aktivitasnya. Dilihatnya, pria yang dipanggil Bisma tadi sudah berdiri di belakangnya, meringis menahan sesuatu.
“Sebelah sana,” jawabnya sambil menunjuk.
“Oke.” Bisma pun masuk ke sana. Beberapa detik kemudian, pria itu keluar dan mendekat ke arah Mitha sambil mengawasi sekitar.
“Kenapa penampilanmu benar-benar memprihatinkan seperti ini?” ujarnya mengejek begitu penasaran.
"Maaf saya tidak mengenal Anda, lebih baik jangan mengajak saya bicara," timpal Mitha.
Kesal sekali dengan cara pandang pria yang meremehkannya ini.
"Yakin tidak mengenalku?" tanya Bisma tak percaya dengan jawaban Mitha yang dia nilai hanya sedang berpura-pura tak mengenalnya
"Pergilah sebelum kau mendapat masalah!” ketus Mitha memberi perintah.
Bisma hanya terkekeh pelan. Barisan giginya terlihat rapi. Sedetik kemudian wajahnya kembali datar tanpa ekspresi.
“Sepertinya kau butuh bantuan, hubungi aku kapan pun kau mau.” Bisma menyelipkan kartu namanya di tangan Mitha dengan cepat.
“Eh, Bisma, ada di sini?”
Suara Ambar mengejutkan keduanya. Mitha segera mengantongi kartu nama itu dan kembali membasuh tumpukan piring kotor. Sang kakak ipar gelagatnya seperti ulat bulu kegatelan. Menyibak rambutnya di depan Bisma dan tersenyum manis. Ambar memang perawan tua yang tak kunjung menikah. Alasannya hanya satu, wanita itu terlalu pemilih meski sudah beberapa pria yang ingin melamarnya.
“Oh iya, Kak. Saya habis dari kamar kecil tadi. Saya permisi, ya” sahut Bisma menghindar.
Setelah mengatakannya, pria itu berlalu dari hadapan Mitha dan Ambar. Melihat Mitha, wajah Ambar berubah jadi tak bersahabat.
“Eh, kamu! Ingat! Jangan ganjen-ganjen sama cowok ganteng. Lagian juga nggak mungkin dia ngelirik kamu yang dekil ini! Kamu tuh harus sadar diri, Mitha! Dia itu spek Arjuna enggak selevel sama kamu! Udah bagus Ardi mau nikahin,” ujar Ambar dengan ketus. Kata-Katanya begitu jahat. Beruntung, Mitha sudah hafal dengan sang kakak ipar yang mulutnya bisa di bilang seperti ular. Sangat berbisa dan begitu tajam.
“Bisma? Kenapa dia bisa mengenalku? Semoga saja dia tidak membongkar identitasku sama Mas Ardi,” gumamnya yang lebih memikirkan saat pria bernama Bisma itu memberikan sebuah kartu nama padanya.
Bersambung