Sherly tidak melihat sekitar, dia hanya ingin cepat sampai di cafe tempatnya janjian dengan temannya. Hingga dia tidak menyadari Ardi tengah membuntutinya.
“Mitha!” pekik Ardi.
Sherly terkejut mendengarnya. Dia sudah duduk masih di dalam mobil. Baru saja pintu hendak ditutup namun, tertahan oleh tangan Ardi.
Pria itu melihat Sherly dengan tatapan kagum. Penampilannya benar-benar berbeda saat dia berada di rumah, yang hanya memakai daster lusuh dan menguncir rambutnya.
“Jadi ini beneran kamu, Mitha?” tanya Ardi lagi mengucek-ucek kedua matanya.
“Iya, Mas. Ini aku, memangnya kenapa?” tanya balik Sherly dengan tatapan datar.
Ardi menggeleng tak percaya, baru beberapa hari mereka berpisah rumah, perubahan Mitha sangat drastis. Wajahnya dipoles make up tipis, bibirnya pink merona, rambutnya tergerai indah, dia memakai setelan berbahan katun dengan rok dibawah lutut yang menjuntai indah.
“Kamu cantik sekali,” puji Ardi tulus.
Sherly hanya mengedikkan bahu tidak peduli. Lelaki kalau ada maunya pasti keluar rayuan gombalnya. Sebenarnya tanpa make up pun Sherly terlihat cantik natural. Wajahnya ala timur tengah, dia warisi dari ayahnya, dengan hidung mancung dan alis yang terukir sempurna, kulitnya putih bersih. Hanya saja Ardi yang terlalu naif untuk mengakui hal itu.
“Maaf, Mas. Aku harus pergi,” balas Sherly tak mau lama-lama dipandang pria yang telah menipunya mentah-mentah.
“Tunggu dulu,” tahan Ardi. “Mau apa kamu datang kemari? Apa kamu mau menemuiku tapi malu untuk mengatakannya?” tanya pria itu dengan percaya diri.
Sherly seketika mengernyit. Ekspresinya mengejek Ardi yang begitu besar kepala. Dari dulu suaminya ini kelewat pede, dia pikir dengan ketampanannya itu bisa menjerat semua wanita.
“Itu bukan urusanmu, Mas. Dan satu lagi, aku kemari karena ada urusan pekerjaan, bukan untuk bertemu denganmu. Jangan mimpi!” sergah Sherly.
“Urusan pekerjaan apa? Aku tidak pernah tahu kamu punya pekerjaan, apa selama ini diam-diam kamu mengerjakan sesuatu di belakangku?” tebak Ardi. Dia curiga kenapa istrinya ini tiba-tiba berubah drastis.
“Mana mungkin kamu tahu, yang kamu urusi hanya selingkuhanmu saja,” seloroh Sherly. “Jadi, semua yang aku lakukan tidak ada sangkut pautnya denganmu. Minggir!” serunya.
Ardi masih kekeh menahan pintu mobil Sherly. “Aku minta maaf, Mitha. Aku tahu kamu bersikap seperti ini karena cemburu 'kan pada Shasi. Kembalilah ke rumah, aku akan menerimamu dengan senang hati.”
Sherly berdecak kesal. “Aku bukan lagi Mitha yang diam saja saat kau injak-injak. Dan aku tidak akan kembali lagi ke rumahmu sampai kapan pun, ingat kau sudah menjatuhkan talak padaku, Mas.”
“Aku hanya menalakmu dengan talak satu, jadi talak itu masih lemah. Aku berubah pikiran, Mitha. Aku tidak akan menceraikanmu sampai kapanpun. Kembalilah,” mohon Ardi dengan tidak tahu malunya.
“Tidak akan, aku tidak akan mau lagi dijadikan pembantu dan tidak dihargai olehmu juga keluargamu,” balas Sherly sengit. “Aku sudah mendaftarkan perceraian kita ke pengadilan. Tunggu saja surat panggilan sampai ke rumahmu.”
Sherly tersenyum licik. Menyenangkan juga melihat pria yang akan menjadi mantan suaminya ini memelas dengan wajah penuh penyesalan.
“Apa!” pekik Ardi tak percaya. “Kenapa kamu nekat sekali, Mitha? Harusnya kamu terima saja aku menikah dengan Shasi. Toh nanti kalau bayinya lahir juga akan menjadi anak kamu. Aku berjanji akan adil pada kalian,” jawab Ardi meyakinkan.
“Seenak jidat saja kamu kalau ngomong, Mas? Anak dari Hongkong? Jelas dia bukan anakku karena tidak lahir dari rahimku, dan asal kamu tahu ya, aku tidak pernah sudi kamu madu. Oh kamu bilang bisa adil? Adil dari mana? Bahkan kamu menikah dengan Shasi tidak meminta izin dariku,” timpal Sherly mengeluarkan unek-uneknya.
“Apa susahnya sih tinggal nerima aja, toh aku yakin kamu masih cinta sama aku, buktinya kamu sampai nyusulin aku kemari, ‘kan?” tanya Ardi masih kekeh dengan permintaannya.
“Ck, sudah kubilang aku ada urusan pekerjaan, bukan bertemu denganmu, ah sudahlah susah ngomong sama lelaki tampang tembok kayak kamu!” sergah Sherly.
Dia mendorong tubuh Ardi dengan kasar dan segera menutup pintu, tidak lupa menguncinya. Kemudian menyalakan mobilnya dan melaju cepat menjauhi Ardi. Masih bisa dia dengar dengan samar Ardi mengumpat dan memanggil-manggil namanya.
“Mitha! Aku belum selesai bicara.”
“Ah, sial.”
***
Sherly mengedarkan pandangan untuk menemukan di mana temannya berada. Bertemu dengan Ardi sedikit menguras emosinya. Pria tak tahu diri itu masih saja tak sadar akan kesalahannya.
“Sherly!” panggil seseorang.
Dia menoleh ke sumber suara. Tangannya melambai dengan senyum lebar. “Elisa!” seru Sherly.
Dia segera menghampiri temannya dan berpelukan lama sekali. Elisa adalah teman dekatnya sejak SMP. Setelah lulus SMA dia melanjutkan studinya ke luar negeri, membuat mereka tak bersua lama.
“Ih kamu makin cantik aja,” puji Sherly melihat Elisa yang berubah drastis.
“Masih kalah cantik dong sama kamu,” seloroh Elisa malu-malu.
Sherly selalu menjadi primadona sejak dia duduk di bangku sekolah. Elisa adalah saksi betapa dia selalu dikejar-kejar pria tampan. Tetapi Elisa menyayangkan akhirnya dia menikah dengan pria macam Ardi.
“Ayo duduk, aku sudah pesankan makanan dan minuman favorit kamu, aku yang traktir,” ujar Elisa bersemangat.
“Wah, kamu memang bestiku, Elisa. Kamu masih ingat aja makanan kesukaanku,” jawab Sherly senang.
Akhir-akhir ini dia sangat sentimentil jika menerima kebaikan orang lain. Karena selama ini hidupnya jarang berbaur dan terasing dari dunia luar.
“Ya dong, Elisa gitu loh.” wanita itu menepuk dadanya dengan bangga.
“Oh ya, aku ikut sedih mendengar kabar bahwa kamu akan bercerai dari suamimu.” Elisa berubah muram.
Bisa dibilang keluarga Sherly adalah orang paling berjasa dalam hidup Elisa. Berkat bantuan papa Sherly, papanya Elisa bisa kembali membangun kerajaan bisnisnya yang sempat bangkrut. Tentu saja semua itu sebelum terjadi tragedi yang membuat Sherly harus diungsikan untuk sementara.
Bahkan sejak duduk di bangku SMP dan SMA dia selalu bersama. Ibarat kata Mimi lan Mintuna, di mana ada Sherly di situlah ada Elisa.
“Tapi, aku mendukung keputusan kamu seratus persen, Sher. Kamu hebat akhirnya memutuskan untuk lepas dari pria matre itu, dari pada kamu hidup terus dengan dia bisa-bisa makan hati setiap hari.” Elisa berbicara dengan menggebu-gebu.
“Sebentar, sebentar,” potong Sherly. Sahabatnya ini sejak tadi ngomong tanpa jeda. “Kamu tahu dari mana kalau aku mau bercerai dari Mas Ardi?” tanya dia.
Elisa terdengar menghela napas panjang. “Aku dengar dari kakakku, baru kemarin ini, makanya aku langsung memutuskan untuk flight kemari. Selama ini 'kan kita hanya berhubungan tanpa tatap muka, karena kamu dilarang suamimu itu.”
“Kakak?” ulang Sherly.
“Iya, kakakku. Kamu lupa aku punya Kakak laki-laki? Dia sudah kembali ke Jakarta sejak lima tahun yang lalu, karena dia akan mewarisi perusahaan tekstil milik Papa,” jelas Elisa kembali antusias.
Selama ini keluarga Elisa memang menetap di luar negeri. Bukan tanpa sebab, mereka mengembangkan usahanya hingga ke Singapura. Karena peluang di sana lebih besar.
“Astaga, aku lupa kalau kamu punya Kakak.” Sherly menepuk keningnya sambil terkekeh.
“Ish, kamu sih jaman udah modern kok masih aja mau di kadalin suami sendiri. Udah hidupmu kayak dalam goa lagi. Aku 'kan sudah bilang dari awal kalau Ardi itu laki nggak bener.” Elisa kembali bersungut-sungut.
Sherly juga menyadari selama ini dia terlarut dalam doktrin Ardi yang mengatakan surga istri ada pada suami. Jadi apa pun yang diperintah Ardi dia lakukan tanpa tahu dirinya telah diperalat. Pria itu bersembunyi dibalik kata mutiara tersebut tanpa melakoni tugas seorang suami yang sesungguhnya.
“Iya, iya, aku tahu aku salah. Sekarang aku sudah sadar, El. Mas Ardi dan keluarganya cuma memanfaatkan aku, yang mereka tahu aku cuma anak panti yang miskin dan pantas disuruh-suruh,” ucap Sherly dengan geram.
“Maaf, Honey. Aku tidak marah padamu kok. Aku hanya kesel sama Ardi. Kalau sampai aku ketemu dia, aku bejek-bejek dia jadi rujak, huh.” Elisa menggerakkan jari-jari tangannya.
Sherly tertawa pelan. Tingkah sahabatnya ini membuatnya sangat terhibur. Sejak dulu Elisa memang perempuan yang ceria dan enerjik. Dia juga akan jadi garda terdepan kalau ada yang mengusiknya.
“Eh tapi, dari mana kakakmu bisa tahu kalau aku akan bercerai dari suamiku? aku nggak ketemu dia tuh,” balas Sherly. Dia baru sadar karena merasa tidak pernah bertemu dengan kakaknya Elisa.
“Masak sih?” Elisa tampak berpikir. “Aneh, padahal dia bilang kemarin sempat bertemu kamu. Tapi kamu bilang nggak kenal sama kakakku,” jelasnya.
“Hah, sempat ketemu?” tanya Sherly sambil berpikir. Dia baru teringat ketika bertemu dengan pria yang memaksanya untuk mengaku.
“Apa jangan-jangan kakak kamu itu-”
“Mas Bisma, Sher. Masak kamu lupa,” potong Elisa tak sabar.
“Ya ampun!” pekik Sherly syok.
Bersambung....