Perlahan-lahan mendekat dan menatap mata Rose dengan lekat, wanita paruh baya tersebut berbisik di telinga kanan gadis di hadapan. “Boleh saya peluk Nona?” tawarnya dengan begitu lembut. Sejurus Rose mengangguk cepat.
“Boleh, Mrs, terima kasih.”
Mereka berpelukan erat, menjadi saksi bahwa rasa sedih itu tidak bisa dianggap main-main. Rose yang menjadi paling ikut andil soal perpisahan tersebut, mencoba tegar dan menarik napas dalam-dalam. Mencoba kuat karena wanita di depannya ini, adalah hal yang Rose rasakan dan alami.
“Sekarang hapus air mata Nona, kita pergi ke suatu tempat. Maaf kalau hanya cara sederhana, karena saya yakin Miss Rose bisa perlahan melepaskan kenangan itu, dan bisa beradaptasi dengan tempat ini secara pelan-pelan.”
Beranjak dari ranjang, dan berdiri seperti ingin menuntun langkah gadis di depannya untuk ikut, asisten rumah tangga itu tersenyum lekat ke arah wajah Rose. “Ayo, ikut saya sekarang!”
Mereka berjalan perlahan mengikuti langkah asisten rumah tangga James yang berjalan lebih dulu. “Kita mau ke mana?” tanya Rose terus menerus.
“Udah ikut saja, nanti juga sampai. Sebentar lagi tiba, dekat dari sini.”
Berjalan dan seperti tidak ke mana-mana, mereka hanya berjalan ke arah halaman belakang rumah. Keduanya berhenti di suatu tempat, yaitu kolam renang kecil dengan pemandangan luas di depannya, seperti hutan yang membentang di perbatasan rumah ini terletak.
“Sudah sampai,” ucap wanita paruh baya itu sembari tersenyum kecil ke arah Rose.
Bingung harus berkata apa, tetapi ini benar-benar di luar dugaan. Indah, dan sangat memanjakan mata. Dalam hati dan dengan perasaan takjub, gadis tersebut membuka mulutnya spontan.
“Kenapa? Kamu suka, bukan?” tanya wanita itu kemudian. Dengan sigap Rose mengangguk cepat.
“Sangat, ini begitu terlihat indah. Bagaimana bisa ada hutan dan kolam renang kecil di belakang rumah ini? Benar-benar di luar dugaan, serius!” ungkap Rose sembari terus terlihat tidak berhenti bergeming.
“Oh iya, nama Mrs siapa? Saya sering sulit untuk memanggil dengan sebutan apa,” ujar Rose.
“Nama saya Mrs Gina, Nona,” balas wanita yang ternyata bernama Gina itu.
“Baik, Mrs, terima kasih sekali lagi. Saya benar-benar menyukai tempat ini. Terasa rileks dan nyaman untuk berlama-lama di sini, walaupun hanya hutan yang terlihat di depan mata.”
Terduduk dan mengayunkan kakinya di dalam kolam renang, Rose seperti seorang anak kecil yang mendapat mainan baru. Pandangan rasa sukanya yang begitu tulus, terlihat dalam dari sudut mata dan wajahnya.
*
Terus menjejakkan langkahnya untuk kembali ke rumah James, Edward dan Liana terlihat sangat bersemangat. Mereka tidak sabar bagaimana reaksi Rose ketika melihat kepulangan keduanya tidak jadi hari ini dan dibatalkan sampai besok pagi lagi.
Tentu Rose pasti akan merasa senang, bisa menyempatkan hari terakhirnya bertemu dengan kedua sahabatnya ini tertunda untuk semalam kemudian. Akan tetapi, akan ada tangisan lagi yang nantinya dilahirkan dari batinnya untuk Edward dan Liana.
“Wah, akhirnya sampai juga. Kamu diam saja, ya. Aku mau buat Rose terkejut.” Edward melangkah kecil dan pelan memasuki rumah. Sementara Liana berdiri di ambang pintu dan seperti tidak tahu apa yang akan dilakukan laki-laki tersebut nantinya.
“Kamu mau apa? Pasti jahil terhadap Rose, bukan?” Sejurus Edward menggeleng cepat mendapat pertanyaan yang keluar dari bibir Liana.
“Udah lihat saja nanti. Sekarang tugas kamu diam, dan ikut di belakangku. Rose harus kita kasih kejutan,” titah Edward lagi dan lagi.
“Ah, kamu buat dia berharap lagi aja. Besok juga, Rose bakal meneteskan air mata lagi. Malah lebih kasihan sepertinya,” lirih suara Liana tiba-tiba terdengar melemah.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak! Rose sudah kuat, percayalah! Hatinya sudah sekeras baja, kamu tenang saja!”
Melangkah perlahan memasuki kamar gadis yang dituju, Edward terkejut, karena sebenarnya orang yang dicari tidak ada di dalam sana.
“Bagaimana? Ada dia di dalam?” bisik Liana di telinga laki-laki itu. Sejurus Edward langsung menggeleng kecil.
“Rose ke mana, ya? Di kamar tidak ada. Aku takut dia jangan-jangan—“
“Kabur? Tidak mungkin, lah,” pungkas Liana sebelum Edward benar-benar menyelesaikan ucapannya.
“Bisa jadi! Rose itu kecil, tetapi dia nekad untuk melakukan apa pun. Jangan bilang kalau dia benar-benar kabur, kita akan sulit mencarinya lagi. New Zealand bukan negara yang kecil, Liana. Kamu harus ingat itu!”
Berjalan gesit menuju dapur sembari memanggil nama Gina yang berkerja sebagai asisten di rumah James, Edward berteriak keras. Liana yang mengikuti dari belakang terdengar panik dan khawatir. Pikiran yang macam-macam melintas di benaknya, tentang keadaan Rose yang bagaimana dan takutnya terjadi apa-apa pada gadis tersebut. Mungkin mereka berdua tidak akan bisa memaafkan diri sendiri ataupun keadaan, dan orang-orang yang ikut terlibat dalam persembunyian Rose di sini, termasuk Mrs Gina dan juga suaminya.
Tidak melihat juga dan mengetahui keberadaan Mrs Gina, Edward bertanya-tanya. Ke mana semua orang di rumah ini, karena tidak ada yang keluar di sela-sela panggilannya.
Akan tetapi, tidak berlangsung lama, tiba-tiba Pak supir keluar dari arah dapur dan terlihat kebingungan dengan panggilan Edward yang terdengar sangat keras.
“Ada apa, Tuan? Kenapa?” tanya Pak supir keheranan.
“Mrs Gina di mana? Dan Rose tidak ada di dalam kamarnya. Mereka berdua ke mana, ya?” Edward angkat bicara tegas.
“Saya juga tidak tahu, Tuan. Nona Rose tadi sempat terakhir kali ke dapur, mengambil pisau, untuk membuka buah, katanya. Kalau istri saya, mungkin ke pasar, belanja barang-barang dapur yang habis.”
“Pisau?!” Edward dan Liana terbelalak.
“Jangan-jangan ... ah, tidak!” entak suara Edward sembari diikuti gelengan frustrasi dari gerak kepala Liana.
Bingung harus berbuat apa dan hanya bisa menunggu di atas kursi, tepat di depan meja makan, Edward dan Liana berharap ada sebuah tanda-tanda bahwa Rose baik-baik saja. Benak yang tidak-tidak keluar dari dalam pikirannya, saat Pak supir menyebutkan kata ‘pisau’ sedang diambil Rose saat kedua sahabatnya tadi berpamitan untuk pulang kembali.
Akan tetapi, belum tentu. Soalnya Ms Gina juga tidak ada di rumah, bersamaan dengan tidak adanya Rose di tempat ini. Bisa jadi pikiran mereka salah, dan ternyata Rose pergi ke pasar bersama asisten rumah tangga James itu.
Derap langkah kaki seseorang terdengar berjalan dari arah belakang. Suara dua orang yang saling berbincang juga terdengar jelas di pendengaran Liana dan Edward.
“Siapa yang sedang berbicara?” tanyanya spontan kepada Liana yang terduduk di hadapan.
“Iya, suara siapa itu? Sepertinya aku kenal, Edward, atau hanya salah dengar?”
Menatap punggung seseorang yang berdiri di depan meja makan, Rose memberhentikan langkahnya. Gadis itu terdiam mematung di tempat, sembari mengerutkan dahi.
“Edward ... Liana ...?” panggil lirih suara Rose.
Berbalik arah dan menatap seseorang di ujung sana, Edward dan Liana juga ikut menatap heran.
“Ro-Rose?” ucap dua orang itu secara bersamaan.