Kecurigaan

1067 Words
Berjalan di antara impitan kendaraan berlalu lintas, membuat Liana sedikit kesulitan untuk lebih cepat. Dia urung, menahan agar perjalanan itu tak berujung sia-sia jika semata-mata dirinya malah merugikan banyak pihak di sekitar. Mungkin dengan seperti ini, bisa terjamin sampai di lokasi yang tertuju dengan baik-baik saja serta aman-aman pula. “Ibu, aku lapar...!” Mengusap perutnya yang terlihat sangat kempis, anak seusia lima tahun tersebut benar-benar memasang ekspresi wajah memelas. Dia merintih, memegangi kepala dan juga gerakan yang membuat iba. “Sabar, ya, Ibu lagi usaha cari makan. Entah mengapa sudah siang seperti ini, tapi Ayah kamu belum juga pulang.” Tidak bisa mencerna lebih jauh ucapan dari mulut ibunya, sang anak sontak berteriak keras-keras. Dia mengatakan bahwa dirinya tengah lapar dan menunggu ada respons yang bisa diperbuat oleh wanita cukup tua di sebelahnya. “Lapar ... lapar ... aku lapar...!” Tidak henti walaupun wanita tersebut mencoba menahan, anak yang berada di dekatnya terlihat lebih menjadi-jadi. Tentu ini membuat banyak pergerakan yang dilakukan oleh sang pemilik suara langsung terdiam mendadak ketika ada perlakuan sedikit lebih tegas untuknya. “Diam! Ibu sudah katakan berapa kali bahwa kita tidak punya uang?” Membuka mata lebar-lebar, harapan sang ibu adalah agar anaknya takut. Tidak terkecuali selain menipu keadaan sekitar, bahwa diamnya di tempat sedang merasakan baik-baik saja. “Kapan, Ibu? Aku lapar!” Mendengar beberapa kali entakkan serta marah besar yang dikeluarkan oleh orang tuanya, semua itu terlihat belum juga mampu menyadarkan si anak. Dia tidak bisa diam, terus menuntut haknya sebagai anak-anak yang mengerti makan dan tidur saja untuk sekarang. “Jika kamu berani berbicara lagi, Ibu tidak akan mau menunggu sampai kamu mendapatkan makanan. Akan Ibu tinggal, karena sudah membuat Ibu malu.” Wajar berbicara dengan nada suara tegas seadanya, samar-samar terlihat dan terdengar bahwa sesungguhnya memang mereka mempermasalahkan tentang bagaimana bisa menemukan jalan keluar. Ini sulit dipahami, apa lagi ketika tahu sebenarnya perjalanan itu bukanlah cukup mudah dilakukan. “Ibu akan membawa kamu, asalkan kamu diam. Ingat dan lihat, Nak, kita sedang ditertawakan oleh orang-orang di sini.” “Bukan, Ibu. Mereka hanya berpura-pura. Aku yakin pasti ada yang menyayangi kita, bukan? Itu senyuman palsu yang digunakan untuk berhasil menipu kita agar tidak percaya diri. Ingatlah bahwa Ibu pernah berkata, kita tidak bisa melihat sesuatu dari depannya saja.” Selesai dalam berbuat itu, mentah-mentah terlihat bahwa sebenarnya Liana terus menatap kedua sosok tersebut. Mereka sangat mengingatkan Liana pada sosok Jean, mamanya yang kebetulan sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Jikalau itu terjadi pada Liana, mungkin seketika dia mengingat pasal mamanya juga. Itu tidak akan bisa dihindari ketika segala dunia hampa dan remeh menganggap diri kita, selain orang tua—Ibu. Mendekat perlahan, tapak kaki Liana dapat terpantul ke tanah. Ini membuat sang lawan bicara seketika tidak bisa banyak berbuat apa-apa selain terhenti di satu titik saja. “Hai!” Mengarahkan pandangan pada arah panggilan itu, di sini bisa dipastikan bahwa serta merta terlihat Liana sedang berpapasan wajah dengan sosok gadis kecil berumur lima tahun yang berdiri dekat kaki ibunya. “Nama kamu siapa, cantik? Mau sama Kakak? Kita cari makan, loh.” Memberi tawaran yang terjadi secara tiba-tiba, gerakan mata dan ketulusan hati Liana mampu membuat sang anak bahagia. Seketika pula mereka merenggang pergi, ingin angkat kaki menuju suatu titik tujuan. “Jangan bawa anak saya. Siapa kau?” Awalnya menolak dengan cara mentah-mentah, orang tuanya merasa jika Liana ingin bermain licik saja. Akan tetapi, usai diamati lebih dalam, ragu-ragu menerapkan masih bisa direspons oleh hati lawan bicara dan Liana sendiri. Mereka mencoba ingin lebih dekat demi melancarkan proses semua ini. “Saya Liana, Ibu. Kebetulan saya sedang menunggu orang tua saya yang dirawat dalam ruangan lantai atas.” Tersenyum tipis dan hangat sebelum berkata seperti itu, Liana memastikan pada sang Ibu agar tidak menaruh perasaan buruk lagi. Sudah cukup sampai di sana, sejak akhir dari segala harapan yang terletak setelah respons jawabannya membuat lawan bicara percaya. Tidak ada kata-kata, Ibu tadi hanya mencoba mengikuti. Dia enggan juga melepas begitu saja pada orang yang baru saja datang dan baru saja juga dikenal olehnya. Masih ada kecurigaan tersemat, yang juga bisa kebetulan seperti ini tiba-tiba saja mendapati sosok pendengar dari ucapan anaknya. “Saya ikut, karena semuanya demi kebaikan bersama.” “Baik, Ibu, tidak masalah. Saya tidak memiliki niat buruk apa-apa, jadi sah saja membantu dengan benak dan hati yang tulus. Terima kasih sudah mengizinkan, Ibu.” Sulit menerima terlalu banyak respons yang diberikan oleh Liana, ibu-ibu itu terlihat cemas dan kaku. Sepanjang perjalanan dengan Liana, tak ada sepatah atau setitik kalimat saja yang bisa diucapkan oleh Ibu anak tersebut. Mungkin pikirannya mengarah pada lebih banyak tenang dari pada harus mengatakan macam-macam hal. “Kita beli makanan yang banyak, ya, Ibu.” “Untuk apa? Kamu tidak merasa rugi membantu orang miskin seperti kami?” “Tidak ada yang rugi, selagi masih membawa nama keselamatan keluarga. Memangnya Ibu lebih tega dan memikirkan perasaan tidak ikhlas orang-orang, demi melihat anak Ibu gemetar menahan laparnya?” Terdiam tak ada kata, mulai terjadi bahwa sosok ini sadarkan diri. Dia juga tidak segan-segan untuk menundukkan kepala dan mengedarkan sepasang penglihatan itu pada titik yang tertuju. Intinya jangan sampai menatap mata Liana dan menemukan segala bentuk kesalahannya. “Jawab, Ibu! Saya hanya ingin mendengar bahwa pilihan Ibu ini mengarah pada sesuatu yang lebih penting. Semua terlihat penting, tetapi cukup beberapa saja ada yang jauh lebih penting.” Tak ada kata-kata, mereka diam total. Perlahan kemudian Liana meminta agar Ibu di depannya dan sang anak mengambil saja apa yang ingin mereka lakukan. Terpenting adalah mempunyai stok makanan untuk kehidupan selanjutnya jika tidak ada Liana lagi yang mengiringi kehidupannya. “Ambil sesuka hati Adik dan Ibu, ya. Biar semua Kakak yang bayar, selagi sanggup. Ayo ambil terus,” pinta ucapan Liana lagi dan lagi. Bahagia dan tidak kontrol diri, gadis kecil cantik itu dengan cepat mengambil dan meraih beberapa makanan dan sesuatu lainnya lagi yang sekiranya bisa menjadi stok makanan ke depan. “Banyak banget, Kakak. Nanti bayarnya pakai apa, dong?” “Kamu jangan pikirkan itu, ya. Ambil saja semuanya, asal kamu merasa senang. Happy, bukan?” Mengangguk cepat, wajah dan tingkah anak itu terlihat tidak bisa ditahan. Dia mengambil semua makanan yang ada, kemudian berhenti usai sang ibu memangil namanya untuk cepat-cepat diminta berhenti. “Sudah, ini lebih dari cukup dari yang kita bayangkan. Jika masih mau ambil, Ibu yang akan marah!” tandas wanita tua itu dengan ekspresi tegas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD