Abigail muntah lagi. Wanita itu berpegangan di pinggiran wastafel dengan tangan gemetar. Tubuhnya sangat lemas. Sejak awal pesta sampai pesta mewah dan membosankan itu hampir berakhir, terhitung sudah lebih dari sepuluh kali dia ke toilet untuk muntah.
Abigail heran. Padahal biasanya dia hanya muntah di pagi hari saja. Namun kenapa sekarang, bahkan sampai saat malam pun dia terus mual. Berkumpul dengan banyak orang membuatnya mual. Apalagi jika dia harus berdekatan dengan musuhnya, si Daniel yang sialnya saat ini sudah resmi menjadi suaminya.
“Mbak Abby gak pa-pa?”
Abby mendesah lirih. Bahkan dengan mata tertutup, wanita itu bisa mengenali suara Sinta, asistennya yang sedang mendekat saat ini. Di antara sebegitu banyaknya manusia di dalam gedung, hanya Sinta seorang yang merasa panik saat dia sedang mual-mual. Jangankan Daniel, papanya sendiri juga tidak peduli dengannya. Pria itu sibuk menyapa para rekan-rekan bisnisnya dan juga papa Daniel di sepanjang pesta.
“Sin, ambilin minyak angin!” Abby menegakkan tubuhnya. Meskipun sangat lemas, tapi dia tidak mau terlihat lemah di mata orang lain. Dia lantas mengambil sebotol minyak angin yang disodorkan oleh Sinta.
“Mbak Abby mau saya pesankan teh hangat nggak?”
“Emang ada?” balas Abby ketus. Dia terlalu kesal dan jengkel saat ini.
“Bentar, Mbak!” Sinta kemudian berjalan keluar dari toilet tersebut dan pergi entah kemana.
Abigail menghela napas beratnya. Tidak dia sangka jika hamil itu sangat menyusahkan. Namun dia tidak menyesali pilihannya saat ini. Dia tidak menyesal sudah menyusahkan diri agar bisa membalas Daniel.
“Masih muntah, lo?”
Abigail terkejut, wanita itu membelalak kaget melihat sang suami yang baru saja dinikahinya itu, si Daniel, masuk ke dalam toilet untuk menemuinya. “Ngapain lo kesini?” tanyanya ketus kepada pria itu.
Jangan bilang dia cemas, batin Abby. Dia akan sangat terharu jika Daniel berkata seperti itu. Dan selanjutnya, seperti dugaan Abby, jika hal tersebut tidak mungkin terjadi. “Disuruh Mama ngajak elo pulang! Katanya pestanya udah selesai.”
“Serius?” kata Abby senang.
“Cepetan keluar! Lo udah ditungguin sopir tuh!”
Abby kelewat senang. Dia sudah sangat tersiksa seharian. Jadi dia ingin langsung pulang, mandi dan tidur di ranjangnya. Wanita itu melengos pada Daniel dan kemudian beranjak berdiri tanpa perlu bertanya apa pria itu akan ikut pulang bersamanya, karena jawabannya pasti tidak. Daniel tidak akan pernah mau pulang dengannya.
Namun saat Abby masuk ke dalam mobil, wanita itu dikejutkan dengan Daniel yang mengikutinya masuk ke dalam mobil pula. “Lo ngapain di sini?” tanya Abby kepada pria itu.
“Emang kenapa kalau gue di sini? Salah? Ini kan mobil gue.”
Abigail mengabaikan balasan pria itu. Tubuhnya sudah lemas dan dia sudah kehabisan tenaga karena acara sialan itu. Bisa-bisanya wanita hamil berdiri menyalami tamu dari siang sampai malam. Beruntung Abby tidak pingsan karenanya. Beruntung juga dia punya asisten yang terlampau peka seperti Sinta.
Abby mendesah lirih. Desahannya membuat perhatian Daniel sontak tertuju kepadanya. “Kenapa lo?”
“Nggak.”
Daniel lantas diam. Namun diamnya dia justru diam-diam dia memperhatikan Abby lewat sudut matanya. Daniel merasa seperti kembali ke masa lalu, dimana dia dan wanita itu pernah menjalin sebuah hubungan yang penuh dengan kebohongan. Tidak jauh berbeda dengan sekarang. Saat ini status mereka sebagai pasangan pun hanya sebatas hubungan hukum. Jika bukan karena bayi sialan yang saat ini sedang tumbuh di perut Abby, pasti bukan Abby, melainkan Diana lah yang tengah bersamanya.
Saat mobil berhenti di depan halaman rumah besar milik keluarga Wiryawan. Daniel lebih dulu turun dan masuk tanpa repot-repot mengajak Abby. Melihat kelakuan sang suami, wanita itu hanya bisa mendesah kesal. Namun dia tidak perlu repot memikirkan Daniel dan segala tingkahnya. Asal pria itu gagal menikahi Diana, Abby sudah senang. Dia tidak mau jika sampai dunia Daniel berjalan dengan baik-baik saja. Tugasnya setelah ini memastikan hidup Daniel kacau balau.
“Mbak Abby ya?” Saat masuk, wanita itu langsung disambut oleh seorang wanita paruh baya, dia adalah Bi Tuti, asisten rumah tangga di sana.
Abby hanya berdeham dan membiarkan wanita itu menunjukkan dimana kamarnya. “Mbak Abby mau disiapkan air hangat buat mandi?” tawarnya.
“Saya bisa sendiri!” balas Abby sebelum menutup pintu dengan keras-keras.
Bi Tuti seketika langsung terjingkat kaget. “Eh, ya ampun! Nggak sopan banget sih ditanyain main banting-banting pintu,” omelnya. Wanita itu geleng-geleng kepala sambil berdecak kesal. “Padahal kan saudara, tapi kelakuannya beda banget sama Mbak Diana.”
Abby mendengar hal itu dari balik pintu, tapi dia mengabaikannya. Dia tidak peduli apapun dan siapapun saat ini. Tubuhnya sudah terlalu lelah untuk berdebat. Jadi wanita itu langsung mengambil baju dari lemari dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat kembali dari kamar mandi, wanita itu dikagetkan dengan sosok Daniel yang sedang berbaring di ranjangnya.
“Dan!” teriaknya kesal. “Lo ngapain di sini?”
Daniel tidak menjawab. Pria itu justru melempar bantal ke arah Abby. “Lo tidur di sofa aja ya, By. Ini ranjangnya cuma satu. Besok gue cariin elo kasur lantai deh.”
“Apa?” Abby seketika geram. “Lo gila ya? Gue nggak bisa tidur di sofa, Dan! Gue ini hamil, ingat?”
Namun Daniel malah merespon itu dengan seringai kecilnya. “Oh, ya udah tidur aja sama gue!” katanya kepada wanita itu. Daniel lantas menepuk sisi kasur di sampingnya. “Sini, By!”
Abby langsung mendelik dengan segala kemarahannya. “Dan! Jangan mentang-mentang ini rumah elo, ya! Makanya elo bisa seenaknya!”
“Kenapa harus marah sih? Disuruh tidur di sofa nggak mau, tidur di ranjang sama gue aja kalau gitu,” balas Daniel dengan santai. “Kan kita udah nikah, By. Lagian ini juga bukan pertama kalinya kan kita tidur bareng?”
Abby langsung waspada saat melihat senyuman licik pria itu. Perasaan trauma yang dia miliki sepuluh tahun lalu rupanya belum sembuh sepenuhnya. Kaki Abby langsung gemetar saat Daniel bangun dan menghampirinya. Tubuhnya menggigil ketika Daniel mencengkam lengannya. “Masih ingat kan, waktu pertama kali kita bercinta waktu itu?” seringainya.
Abby ingin sekali mengangkat tangannya dan mendaratkan sebuah tamparan keras di wajah Daniel. Dia belum sempat memukul Daniel kala itu. Ini kesempatannya. Namun jika Abby bereaksi seperti itu sekarang, Daniel tentu akan merasa menang. Abby tidak mau kalah lagi. Dia tentu tidak ingin diinjak-injak oleh Daniel lagi.
Dengan sekuat hati, wanita itu mencoba menguasai diri dan kemudian membalas Daniel dengan sebuah senyuman. “Pasti, siapa yang akan lupa pengalaman pertama seindah itu. Elo juga kan, Dan?”
Seringai Daniel tadi langsung memudar. Bahkan dia langsung menahan jijik saat Abby menyentuh dadanya yang telanjang karena kebiasaannya saat malam yang selalu tidur tanpa atasan. Pria itu merasa sudah salah menduga selama ini. Wanita itu memang seorang jalang.
Daniel kesal, dia marah, tidak menyangka jika dialah yang harus berakhir menikahi w************n itu. Namun Dia yakin jika bukan hanya dirinya yang pernah tidur dengan wanita nakal tersebut. Dan pria itu yakin jika dia bukanlah pria yang menghamilinya. sialnya dia yang harus bertanggung jawab.
“By …” Daniel lantas menahan tangan Abby yang sedang meraba karet celana tidurnya. “Masih ingat kan apa yang gue bilang waktu itu. Kalau sampai gue tau bayi itu bukan dari benih gue, bakal habis lo!”
Abby tersenyum geli. “Kita liat nanti aja ya, Suamiku,” katanya sambil menepuk kecil pipi Daniel.
Daniel menahan amarahnya, pria itu menatap sosok Abigail yang dengan santainya naik ke atas ranjang dan berbaring dengan senyuman puas. Daniel lantas berjalan keluar dan membanting pintu dengan keras.