“Kenapa kaget, Pa? Ini kan bukan pertama kalinya.” Abigail menatap papanya yang mendelik mendengar ucapannya. Pria itu diam. Bibirnya tidak bergerak tapi Abigail tau dia sedang marah. Kertas di hadapannya perlahan kusut karena cengkeraman tangan papanya.
“Siapa ayahnya kali ini?” ujar pria itu dingin.
Melihat Abigail yang terdiam, dia semakin marah. Pria itu lantas menggebrak meja dengan keras. “Jangan bilang kalau kali ini kamu juga tidak tau siapa yang menghamili kamu,” ungkapnya geram.
“Pa …”
“Cukup Abigail!” seru pria itu dengan nada tinggi kepada Abby.
“Papa tau kamu nakal dan urakan. Namun Papa berharap kamu tidak sampai melewati batas seperti ini! Terjerumus pada pergaulan bebas sampai hamil di luar nikah! Apa kamu nggak punya malu?” marahnya.
Abigail mengendikkan bahunya pelan. “Ya … itu kan salah Papa karena Papa gagal mendidik aku,” balasnya enteng. “Lagi pula selama ini kan Papa sibuk sama istri dan anak tiri papa. Mana pernah Papa ngurusin aku!”
“Abby!”
Abigail menghela napas panjangnya. “Kali ini Abby mau minta tolong sama Papa,” katanya pelan. “Abby minta Papa menuntut pertanggung jawaban sama orang yang sudah menghamili Abby.”
Alan, papa Abigail melonggarkan genggaman tangannya kepada kertas-kertas yang berisi laporan pekerjaannya secara perlahan. “Kamu sungguh tau orangnya?”
Abigail mengangguk pelan. “Papa mau kan bantu Abby dan minta tanggung jawab pria itu?”
Alan mendesah berat. Pria itu menutup dokumen yang tadi dia kerjakan di atas meja, menyingkirkannya jauh. “Papa akan urus dia. Kali ini, kamu harus menikah dan memulai hidup baru. Berhenti dari kebiasaan kamu keluyuran tidak jelas.”
Abigail langsung mengulas senyuman lebarnya. “Makasih, Pa.”
“Siapa orang itu. Kamu sebutkan saja, nanti biar Papa urus,” ujar Alan.
Abby mengangguk dengan senang. “Papa kenal kok, orangnya. Dia anak dari teman bisnis Papa.”
“Oh ya? Siapa?”
“Papa nggak masalah kalau aku nikah sama anak teman bisnis Papa? Apa Papa nggak malu?”
Alan mengangguk kecil. “Mungkin Papa akan malu sama teman Papa karena perbuatan kalian,” katanya. “Tapi kalau nanti kami bisa berbisnis lebih baik dengan pernikahan kalian berdua, Papa nggak keberatan.”
Abigail tersenyum tipis. Memang sejak dulu yang dipikirkan papanya hanyalah uang dan kekuasaan belaka. Itulah yang membuat mamanya menggugat cerai. Pria itu tidak punya hati. Abigail mendesah lirih. “Daniel Steffan Wiryawan, CEO Wiryawan grup. Papa pasti kenal kan?”
“Daniel Steffan Wiryawan?” Alan terdiam sejenak dengan mata tajamnya. “Maksud kamu Daniel …”
Abby mengangguk cepat. Senyumnya melebar sempurna. “Iya, Daniel yang itu. Daniel calon tunangannya Diana, anak tiri papa.”
Setelah ucapan terakhir Abigail itu keluar, beberapa detik kemudian vas bunga di atas meja kerja Alan jatuh ke atas lantai dan pecah berkeping-keping. “Apa-apaan kamu!” seru pria itu kepada Abigail dengan mata nyalang.
***
Daniel yang sedang sibuk bekerja di ruangannya siang itu, kemudian terkejut saat mendengar sekretarisnya, Dinda, memberi tahukan jika calon mertuanya akan datang. Pria itu lantas membereskan pekerjannya dengan cepat agar bisa menemui ayah dari tunangannya tersebut.
“Siang, Pa. Tumben mampir?”
Belum sempat pria itu menyelesaikan ucapannya, dia lebih dulu dikejutkan dengan sebuah pukulan yang mendarat sempurna di wajahnya. Pria itu lantas terhuyung, dia limbung ke belakang dengan syok karena tidak bersiap. “Pa … ada apa?”
“Berani sekali kamu menyentuh putriku!” kata Alan dengan wajah memerah karena marah. “Dasar b******n kamu!” geramnya.
Daniel ternganga di tempatnya berdiri. Pria itu masih bingung dengan sikap calon mertuanya tersebut. “Salah Daniel apa, Pa?” tanyanya heran.
“Tidak usah berbelit-belit kamu! Kamu sudah menghamili putri saya kan?”
Daniel membelalak kaget. Pria itu menatap Alan dengan mata melotot. “Ap---apa? Hamil?” katanya kaku.
“Siapa, Pa? Diana?” lanjutnya kemudian. Daniel membeku dengan wajah pias.
Dia tidak menyangka jika gadis itu akan hamil. Padahal selama ini Daniel tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Dia sangat menghormati Diana, sebagaimana menghormati pilihan gadis itu untuk tidak melakukan kontak fisik yang intim apalagi berhubungan seksual sebelum mereka resmi menikah.
Daniel terpaku, dia lagi-lagi menggeleng karena terlalu syok. Pria itu sungguh tidak menyangka jika Diana akan hamil. Mungkinkah Diana berselingkuh di belakangnya selama ini?
“Jangan pura-pura tidak tau!” seru Alan marah. “Abby sudah mengakui jika kamulah orang yang sudah menghamilinya!”
Daniel mendelik kaget. “A---Abby?” Pria itu lantas melihat sosok Abigail yang masuk ke dalam ruangannya dengan senyuman kecil.
Daniel sontak saja melotot kepada gadis itu. Melihat ekspresi Abigail yang seperti saat ini, sudah bisa dibaca dengan jelas oleh Daniel. Gadis itu berniat menjebaknya. Daniel menggeleng pelan. Dia tidak menyangka jika Abigail akan senekat ini.
Daniel sudah berfirasat buruk saat bertemu dengannya dua bulan lalu di pesta ulang tahun Diana. Pria itu benar-benar tidak menyangka jika saudari tiri yang rajin diceritakan oleh Diana kala itu adalah Abigail, Abigail yang itu, mantan pacarnya sepuluh tahun lalu.
Daniel sungguh panik. Dia kemudian mendekati Abigail saat memiliki kesempatan. Pria itu sudah minta maaf dan Abigail bilang jika dia sudah melupakan hal tersebut. Namun kenapa sekarang justru … sial memang.
“Pa!”
“Kamu harus bertanggung jawab, Dan! Saya sudah mengadukan hal ini kepada Papamu!”
“Apa?” tanpa sadar Daniel berseru keras kepada Alan. Pria itu lantas mendesah pelan ketika sadar sudah kelewatan. “Pa …”
“Jadilah Jantan, Dan! Bertanggung jawablah atas apa yang sudah kamu perbuat,” kata Alan dengan geram. “Kamu sudah menghamili Abigail, maka kamu harus menikahinya!” lanjutnya kemudian.
“Saya tidak mau jika sampai cucu saya nanti terlahir tanpa ayah,” ujar Alan sebelum pergi meninggalkan kantor Daniel siang itu.
Sedangkan Daniel hanya bisa diam ternganga di tempatnya. Sepeninggal Alan, pria itu lantas mendekati Abigail yang duduk di sofa dengan kaki yang disilangkan. Wanita itu tampak tidak peduli dengan tatapan tajam Daniel.
“Apa-apaan ini, By?” tanyanya kepada Abigail.
Abigail mengendikkan bahunya, sambil meneliti kukunya yang baru dicat, wanita itu tersenyum kecil. “Apanya yang apa-apaan?” balasnya santai.
“Omong kosong macam apa ini? Elo lagi merencanakan apa sih?” seru Daniel kesal.
Abigail mendengus kecil. “Omong kosong? Gue beneran hamil, Dan. Itu bukan omong kosong,” katanya.
“Tapi kenapa elo bilang kalau gue yang sudah menghamili elo?” balas Daniel geram. “Elo masih dendam ya sama gue karena masalah dulu?” lanjutnya.
“Please, By. Gue kan udah minta maaf. Gue akui kalau gue memang salah. Dan lo bilang sudah memaafkan gue. Kesalahan gue dulu itu memang sangat besar. Tapi itu kan saat kita masih sama-sama remaja, By. Kita belum terlalu dewasa saat itu,” ujarnya sambil mendesah lelah.
Abigail meringis tipis. Memang mudah untuk mengatakan hal tersebut. Nyatanya, Abigail tidak pernah bisa melupakannya. Dia tidak bisa benar-benar memaafkan Daniel atas perbuatannya dahulu. Itu terlalu menyakitkan buat Abigail. Nyatanya perasaannya yang tulus hanya dijadikan bahan taruhan oleh Daniel.
Daniel tidak tau betapa terlukanya hatinya kala itu. Untungnya dia masih sadar dan tidak memutuskan untuk mengakhiri hidupnya yang benar-benar kacau. Padahal Abigail memiliki alasan tepat untuk mati kala itu.
Mungkin waktu kemudian bisa membuatnya melupakan kejadian tersebut secara perlahan. Namun luka yang hampir hilang sepenuhnya terpaksa terbuka kembali ketika tanpa sengaja bertemu lagi dengan Daniel di pesta ulang tahun Diana. Di sana mereka berdua dengan senyuman bahagianya mengumumkan tentang pertunangan mereka yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Senyuman bahagia keduanya, tidak bisa Abby lupakan. Senyuman itu seperti air garam yang disiramkan pada luka hatinya yang masih berdarah setelah sekian lama.
Saat itu, Abigail juga terkejut. Dia kaget ternyata Daniel yang diceritakan oleh Diana selama ini adalah Daniel mantan kekasihnya yang sudah tidak pernah dia temui sepuluh tahun lalu. Abigail sama sekali tidak mengenalinya karena kala itu Daniel tidak memakai nama belakang ayahnya. Sepuluh tahun lalu dia masih tinggal dengan ibunya dan memakai nama belakang dari keluarga ibunya.
Abigail sungguh ingin melupakannya. Namun rupanya tidak bisa. Melihat Daniel bisa hidup dengan baik dan bahagia bersama Diana sekarang, membuat hatinya terluka. Dia selama ini menahan rasa sakitnya sendiri karena tidak memiliki siapapun bersamanya, hanya Karina-lah satu-satunya orang yang menjadi saksi perjalanan pahitnya karena wanita itu sudah menjadi temannya sejak menginjak bangku sekolah menengah atas.
“Ya, gimana ya, Dan. Waktu itu elo mabuk, gue mabuk. Terus ya udah …”
“Apa?”
Abby menatap Daniel lalu mengangguk pelan. “Dua bulan yang lalu, klub malam Zeus.”
Daniel langsung mendelik kaget. “Klub malam Zeus … “ Pria itu terdiam dengan pikiran berkelana. Klub malam … klub malam … Daniel benar-benar melupakannya sepertinya. Pria itu memang akan lupa daratan bahkan jati dirinya sendiri ketika sudah menyentuh alkohol.
“Lo nggak bohong kan, By?”
Abigail mendesah lirih. Wanita itu lantas mengendikkan bahunya sekilas dan menatap Daniel dengan wajah datarnya. “Tes DNA aja kalau nggak yakin.”
“Apa-apaan?” Daniel meremas rambutnya dengan kasar. Pria itu menatap Abigail dalam waktu yang lama, berharap jika Abigail tidak yakin dengan ucapannya. Namun rupanya dia salah. Sepertinya Abigail bicara jujur.
Daniel menghela nafasnya frustrasi. Mati elo, Dan. Mau bilang apa nanti dia pada Diana, batin pria itu.