Housemates With The Boss - 15

2144 Words
Hari kedua bekerja. Pagi ini Eilish datang ke kantor dengan penampilan yang berbanding terbalik dengan hari kemarin. Ya, dia sepertinya mendengarkan masukan Agung untuk tampil tidak terlalu formal. Tapi sepertinya … tampilan kasual Eilish hari ini terlalu kebablasan. Semua mata kini tertuju padanya. Kemunculan Eilish sontak menarik perhatian. Dia datang ke kantor dengan mengenakan setelan baju training lengan panjang berwarna kuning dengan dua garis hitam di setiap lengan baju dan kakinya. Dia bahkan hanya mengenakan sandal jepit keluaran produk lokal. Tidak ada lagi make up menor. Tidak ada juga rambut yang terikat rapi. Hari ini Eilish cuek dengan wajah polos dan rambutnya yang asal dicepol. Dan apalagi itu? Dia juga menyeret dua buah koper besar yang berwarna pink dan kuning emas. Selain itu dipunggungnya juga tersampir sebuah ransel yang sepertinya bisa meledak kapan saja. “Kenapa dia membawa barang-barang seperti itu ke kantor?” “Apa yang dia lakukan?” “Anak baru itu sangat unik. Kemarin kabarnya dia juga berani adu mulut dengan Pak Danu!” “Aku berani bertaruh dia tidak akan lama berada di sini.” “Cantik-cantik saklek juga dia, ya!” “Sangat membagongkan sekali Mbak itu.” Semua orang mulai berbisik tentang Eilish. Sebagian bahkan terang-terangan berbisik sambil menatap padanya. Akan tetapi tentu saja Eilish tidak peduli. Dia masih fokus menarik koper yang membutuhkan tenaga ekstra itu. Hari ini Eilish akan langsung menempati rumah kontrakannya. Itulah mengapa Eilish berinisiatif untuk membawa langsung barang-barang itu agar tidak perlu bolak balik menjemputnya ke kost-annya Aqina. Eilish kini sudah berada di bawah anak tangga. Dia menatap tangga yang curam itu dengan percikan peluh yang sudah merembes di kulit wajahnya. “Kenapa tangga ini jadi terlihat sangat menakutkan sekarang,” desisnya pelan. Eilish berhenti sejenak sambil memegangi pinggangnya. Helaan napasnya masih sesak. Menaiki anak tangga itu sepertinya akan membutuhkan tenaga lebih ekstra lagi. Sementara itu di depan sana terlihat Danu, Agung dan Akil yang berjalan berbarengan memasuki lobi. Mereka tampak sedang serius mendiskusikan sesuatu sambil terus berjalan. Sosok Akil tengah menjelaskan sebuah proyek yang cukup menjanjikan pada Danu. Sosok CEO berwajah jutek itu pun menyimak dengan seksama. Tapi kemudian … Langkahnya terhenti melihat pemandangan yang merusak mata. “Perempuan itu …,” desis Danu pelan. Akil dan Agung kompak melotot, lalu menelan ludah. Untung hanya menelan ludah, kalau bertukar ludah itu beda ceritanya, bukan? Agung pun segera berlari menyusul Eilish yang masih berdiri di bawah tangga untuk melepas penat. “E-Eilish …!” sapanya gugup. Eilish berbalik dan melambaikan tangannya dengan wajah ceria. “Mas Agung … selamat pagi!” Agung juga balas tersenyum canggung. “P-pagi juga … kenapa kamu membawa barang-barang ini ke kantor?” “Aah … hari ini aku akan pindah ke kontrakan baru. Jadi biar nggak bolak balik aku bawa ke kantor dulu aja,” jelas Eilish. “Hahahaha … j-jadi begitu,” suara tawa Agung terdengar bergetar. Sementara itu sosok Danu dan Akil juga sudah berada di sana. Eilish segera tersenyum lagi dan menundukkan kepala sebentar memberikan hormat kepada Akil. Tapip di saat Danu menatapnya, Eilish malah hanya menatap hambar dan tidak melakukan apa-apa. “Kalian berdua segera siapkan rancangan perencanaan untuk proyek itu dan berikan kepada saya secepatnya juga!” Danu menatap Agung dan Akil secara bergantian. Kedua lelaki itu mengangguk dan segera pergi dari sana. Sekarang hanya tertinggal Danu dan Eilish saja. Danu tidak memedulikan perempuan itu dan mulai melangkah menaiki anak tangga. Namun ternyata sosok Eilish berusaha menyamai langkahnya sambil mengangkat koper yang super berat itu. “Selamat pagi, Bos!” sapa Eilish lagi. Danu diam dan terus melangkah. “Wah … anda ternyata lebih dingin daripada kulkas baru ya. Bukankah dalam keadaan seperti anda seharusnya membantu saya yang sedang kesusahan ini?” tanya Eilish. Danu memejamkan matanya sejenak, lalu mengembuskan napas pelan. “Terlepas dari posisi anda sebagai atasan dan saya yang hanya karyawan … ini adalah situasi yang seharusnya menggelitik sisi kemanusiaan. Saya adalah seorang perempuan yang sedang kesusahan membawa beban yang berat ini. Biasanya lelaki normal akan langsung membantunya,” oceh Eilish lagi. Danu mulai terpancing. “Jadi kamu pikir saya bukan lelaki normal, ha?” Eilish terkikik, lalu menggeleng. “Bukan begitu sih … tapi jaman sekarang emang nggak heran lah, ya. Manusia jaman now cenderung bersikap antisosial dan lebih individualis. They don’t have feeling to others.” Kali ini langkah kaki Danu terhenti. “Sekarang kamu mengatakan bahwa saya tidak punya perasaan?” Eilish tersenyum. Raut wajahnya memang tampak menjengkelkan. “Saya tidak bicara kalau itu anda,” sanggah Eilish. Danu memerhatikan keadaan sekitar. Suasana sudah berubah sepi. Di bawah sana pun lengang. Di atas juga tidak ada orang dan di tangga itu hanya ada mereka berdua saja. “Kamu menganggap saya tidak punya perasaan bukan?” tanya Danu lagi. “jawabannya benar sekali … SAYA MEMANG TIDAK AKAN MEMAKAI PERASAAN PADA MANUSIA RESEK SEPERTI KAMU!” Deg. Eilish terkkejut saat tiba-tiba Danu mendorong koper miliknya hingga berguling-guling jatuh kembali ke bawah. Isi koper itu bahkan langsung tumpah ruah. Baju-baju milik Eilish kini tercecer, bahkan juga pakaia-an dalamnya. Koper itu terus menggelinding hingga akhirnya tiba di lantai bawah kembali. Eilish menatap Danu tak percaya. “A-apa yang sedang anda lakukan, ha!” Danu tersenyum, lalu balas menatap tajam. “Sekarang hanya koper kamu yang saya gulingkan … kalau kamu masih mengganggu saya sekali lagi, maka saya tidak akan segan-segan menggulingkan kamu dari atas sini!” Glek. Ancaman itu sukses membuat Eilish membeku. Sementara Danu sudah melangkah pergi menuju ruangannya. Setelah beberapa detik barulah aliran napas Eilish kembali lancar. Dia tersadar dan langsung bergegas mengemasi pakaiannya yang berceceran di setiap anak tangga. “Dasar Dakjal! Dia ternyata benar-benar bukan manusia! Dasar anak se-tan!” umpat Eilish sambil terus mengumpulkan barang-barang miliknya. . . . Koper cantik berwarna pink itu kini sudah hancur dan penyok di beberapa bagian. Bahkan koper itu tidak lagi bisa menutup sempurna hingga Eilish harus membalutnya dengan selotip. Eilish benar-benar tidak menyangka bahwa sosok Danu bisa melakukan hal yang kekanak-kanakan seperti itu. “Aiiish … benar-benar menjengkelkan,” desisnya lagi. “Lish … ayo kita segera ke ruangan meeting.” seorang perempuan berkacamata melongokkan wajahnya dari pintu. “I-iya, nanti aku akan menyusul.” Sebelum pergi ke ruang meeting, Eilish membasuh mukanya terlebih dahulu. Dia merasa sangat panas dan gerah. Bukan karena cuaca, melainkan karena masih teringat akan tindakan Danu kepadanya. Suasana ruangan meeting itu tidak terlalu ramai. Karena memang hanya ada tim desain di sana yang terdiri sebanyak delapan orang termasuk Eilish. Di sana juga turut hadir Akil dan juga Agung dan tak beberapa lama kemudian, sosok Danu pun juga masuk ke ruangan itu. Mereka semua duduk mengitari meja bundar yang cukup besar. Selaku CEO, Danu duduk di bagian center di depan sana. Sementara itu sialnya Eilish malah duduk di sisi berlawanan dan mengharuskan dia berhadap-hadapan dengan sosok yang ia benci itu. Danu hanya menatap sekilas, lalu kembali bersikap cuek seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. “Oke! Hari ini kita akan memulai rapatnya. Jadi ini adalah proyek pertama kita dibawah pimpinan CEO yang baru,” ucap Agung membuka rapat. “Kali ini kita mendapatkan kesempatan untuk menggarap iklan sebuah produk makanan cepat saji dari salah satu brand lokal.” Suara Agung menggema keras karena ia memakai microfon. Layar di depan sana juga langsung menampilkan foto sebuah gerai makanan cepat saji berupa ayam geprek yang memang sudah sangat terkenal. “Jadi … klien sudah mempercayakan kita untuk menggarap sebuah iklan yang nantinya akan ditayangkan di televisi nasional, media sosial dan juga berupa papan-papan iklan yang akan dipasang di tempat-tempat umum,” jelas Agung lagi. Sosok Akil yang sedari tadi diam, kini mengambil alih pembicaraan. “Jadi … sekarang ini kita harus menyusun rancangan ide terlebih dahulu untuk diperlihatkan kepada klien. Dan tugas kalian sebagai tim kreatif dan desain tentu saja sudah jelas bukan?” Semua langsung mengangguk, termasuk Eilish. Akhirnya tantangan pertama itu datang. Setiap orang diminta untuk memikirkan rancangan ide iklan yang sekiranya cocok dengan image dan juga tujuan dari custumers. “Kalau boleh tau deadline-nya kapan?” tanya Eilish setelah mengangkat tangannya. “Tiga hari dari sekarang! Jadi kalian semua harus menyerahkan rencana ataupun rancangan ide mentah terlebih dahulu. Dan nantinya … proposal yang lolos akan mendapatkan bonus dan juga akan menjadi ketua tim dalam proyek kali ini,” jelas Agung. Semua orang tampak bersemangat. Termasuk Eilish sendiri. Dia tampak serius membaca profil perusahaan yang bergerak di bidang makanan itu. Eilish terlihat membara, hingga ia tidak sadar bahwa Danu kini memerhatikannya lekat-lekat. Danu masih merasa ada yang ganjil. Dia merasa sudah pernah bertemu dengan Eilish sebelumnya. Danu mencoba kembali berpikir, hingga kemudian dia tersentak dan langsung memegangi pipinya. “D-dia perempuan yang menampar aku di jalanan waktu itu, bukan?” bisik Danu dalam hatinya. . . . “Haloooo o haaalooooo …! kamu pasti Lilis, ya?” tante Stasya menyambut ramah sambil berlari tergopoh-gopoh. Eilish yang baru turun dari mobil grab yang ditumpanginya pun balas tersenyum. “I-iya, Mbak.” “Jangan panggil, Mbak! Panggil tante.” “I-iya Tante,” ulang Eilish kemudian. Tante Stasya memerhatikan sosok Eilish dari ujung kaki hingga rambut sejenak. “Waw … kamu tinggi sekali cantik! Pekerjaan kamu model, ya?” “Bukan Tante.” “Terus kamu kerjanya apa?” “Aku cuma karyawan kantoran biasa aja.” Tante Stasya mengangguk tanda mengerti. “Oh iya, kemarin itu perkenalan kita belum tuntas di telepon. Jadi nama kalu lilis, ya?” “Sebenernya bukan Lilism tapi Eilish.” “Ei leis?” lidah tante Stasya nyaris keseleo. “Oalah … saya pikir Lilis.” Eilish tertawa. “Bukan. Nama saya Eilish Anderson.” Tante Stasya langsung menganga kaget. “Pantes kamu mirip bule. Saya pikir rambut pirang cokelat kamu ini di cat! Mata kamu berarti asli ya … nggak pake soffel berarti?” “Soflens Tante … Kalo soffel itu untuk obat nyamuk,” sergah Eilish. Tante Stasya tertawa hingga badannya bergoncang. Eilish padahal sudah merasa sangat lelah. Dia ingin segera masuk dan beristirahat. “Oh iya. Kamu berasal dari mana?” tanya tante Stasya lagi. “Saya dari Padang.” Tante Stasya langsung melotot. “Onde mandeeee … rancak bana …! kamu bawa rendang dong, ke sini?” Deg. Eilish terpana. Sementara tante Stasya tampak menatap penuh harap. Eilish ebnar-benar tidak mengerti. Apa semua orang yang berasal dari Padang harus selalu membawa rendang bersamanya? Oh tidak, Eilish sendiri kurang akrab dengan masakan khas Minang itu. Bukan karena tidak suka, melainkan Eilish sejak kecil sudah merasa bosan dan sekarang dia tidak begitu sering lagi memakannya. “Nanti kalau saya pulang kampung saya bawakan, ya, Tante,” ucap Eilish kemudian. Basa-basi itu akhirnya berakhir. Tante Stasya kemudian menunjukkan kamar yang akan ditempati oleh Eilish. Tante Stasya juga menjelaskan semuanya termasuk tentang teman serumah yang menempati kamar sebelah. “Dia anak baik, kok! Kamu pasti bisa cepat akrab dengan dia,” ucap tante Stasya. Eilish mengangguk. “Baik, Tante … terima kasih untuk semuanya.” “Kalau ada apa-apa … kamu bisa lapor ke saya! Saya tinggal tepat di seberang jalan.” Tante Stasya menunjuk sebuah rumah tingkat dua di seberang sana. “Baik, Tante,” jawab Eilish. “Haaaaaah ….” Eilish mengembuskan napas lega. Akhirnya dia bisa bebas sekarang. Eilish segera menarik barang-barangnya masuk ke dalam kamar. Dia kemudian langsung merebahkan tubuhnya di ranjang yang empuk itu. Hingga kemudian Eilish memejamkan matanya sejenak. Kamar itu terasa sangat nyaman sehingga membuat matanya langsung mengantuk. Apalagi sepoi angin juga berhembus masuk dari jendela yang memang ia buka. “Hidup baru akan dimulai dari sini … semoga semua baik-baik saja,” bisik Eilish seiring dengan matanya yang terpejam. . . . Langit sudah berubah gelap saat mobil milik Danu memasuki pekarangan rumah. Dia segera menutup pintu gerbang kembali dan bergegas masuk karena hujan sepertinya juga akan segera turun. Danu merogoh kantongnya mencari kunci rumah. Tapi kemudian dia menyadari bahwa pintu itu sudah terbuka. “Eh … k-kenapa?” bisiknya pelan. Danu langsung masuk ke dalam rumah. Dia langsung mengedarkan pandangannya ke segala penjuru dengan tatapan waspada. “Apa mungkin maling menerobos masuk?” desisnya lagi. Danu terus memerhatikan keadaan sekitar. Hingga kemudian dia juga melihat bahwa pintu kamar sebelah yang biasanya terkunci itu juga terbuka. Bersamaan dengan itu tiba-tiba handphone-nya langsung berdering dan ternyata itu adalah panggilan telepon dari tante Stasya pemilik rumah. “Halo ganteeeeng!” Danu hanya menghela napas gusar. “Halo Tante, Ada apa?” “Saya hanya pengen ngasih tau … kalau housemate kamu sudah datang. Jangan berantem, ya … semoga kalian berdua bisa akur dan bahagia.” Danu mengembuskan napas panjang. Akhirnya dia mengerti sekarang. Rumah itu tidak diterobos oleh maling, melainkan sosok yang juga akan tinggal di rumah itu. Tante Stasya masih meracau di telepon, tapi Danu memutus panggilan begitu saja. Dia pun beralih menatap pintu kamar yang sedikit terbuka itu, lalu kemudian berbisik pelan. “Jadi dia sudah datang ….” . . . Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD