"Tapi aku cukup bahagia karena Laura tidak keberatan menikah dengan Oscar. Dia mendapatkan laki-laki terbaik." Sambungnya berusaha menghibur diri sendiri.
Bastian menatapnya dengan tatapan rumit. Lelaki baik tidak akan membatalkan pertunanganan di hari H didepan umum pula.
"Apakah kamu punya pacar?" Tanya Bastian sambil memperhatikan kedua orang itu dari kejauhan.
Pacar? Bukankah semua orang bilang bahwa Oscar pacarnya? Mengapa dia masih bertanya?
Mendengar itu kening Risya berkerut. Bastian tidak menetap di Saint Lucia, adalah hal yang wajar pria ini tidak tau apapun.
"Maksud mu?" Risya bertanya dengan bingung.
"Apa kamu tidak ingin balas dendam pada mereka?" Tanya Bastian lagi sambil menghela napas. Dia tidak pernah sesabar ini menghadapi perempuan. Namun demi ambisinya, dia bisa menahannya sedikit.
"Bastil, apa maksudmu? Aku tidak mengerti." Jawab Risya pelan.
Balas dendam? Untuk siapa? Oscar?
Bastian tidak lagi menjelaskan. Gadis ini tampaknya masih sama seperti dulu. Terlalu polos. Seringkali dia kesal dengan kepolosan gadis ini. Dia bangkit dan menepuk puncak kepala Risya namun ekspresinya tetap dingin.
"Maukah kamu jika aku membantumu balas dendam?" Tanya Bastian lagi.
Risya sedikit terkejut, namun rasa terhina dan dibuang tadi menggema dari lubuk hatinya setelah mendengar kata-kata Bastian. Jika memang ada cara untuk balas dendam mengapa tidak?
"Caranya?"
Mendengar gadis itu tertarik, senyum jahat melintas dengan cepat di wajah tampan Bastian.
"Aku akan membantumu. Tapi sebelum itu, kamu harus berjanji terlebih dahulu apapun yang aku lakukan, kamu harus patuh." Ketika Bastian mengatakan kalimat ini, sebuah bayangan dejavu muncul di ingatan Risya.
[Aku berjanji padamu, Risya]
Sepertinya potongan ingatan ini kembali masuk ke memorinya. Itu sudah sangat lama.
"Risya?" Panggilan Bastian membuyar lamunannya. Ia segera mengangguk.
"Baiklah."
Persis seperti waktu itu. Batin Bastian sembari meraih kursi roda dan mendorongnya ke tengah Aula tempat dimata para bintang acara masih berdiri untuk berbagi kebahagian.
"Bastil, kita akan kemana?" Tanya Risya sedikit panik. Dia setuju dengan pembalasan, tapi tidak cukup bodoh jika harus menarik perhatian semua orang.
"Kamu sudah berjanji untuk patuh." Bisik Bastian di telinga Risya.
Sampai ditengah aula, mata semua orang akhirnya tertuju pada dua orang yang baru bergabung itu.
"Aku dan Risya mrngucapkan selamat kepada kalian berdua..." ujar Bastian ketika tatapannya bertemu dengan tatapan dingin Oscar.
Laura dan oscar masih bersikap sama sama dingin dan sama-sama tanpa emosi. Dia bahkan tidak melirik Risya yang duduk di kursi roda dengan canggung.
"Semoga bahagia." Tambah Risya dalam suara lirih yang terdengar menyedihkan dimata para tamu lainnya.
Tangan Bastian yang kekar mengusap bahu Risya dengan lembut. Risya sedikit tersentak dengan sentuhan itu dan menatap ke atas. Tatapannya bertemu dengan jakun tampan Bastian.
Menyadari Risya menatapnya dari bawah. Bastian melihat kebawah dan menepuk pucuk kepala Risya dengan lembut. Kejadian itu membuat Risya kaget. Belum sepenuhnya sadar dengan perilaku aneh Bastian, Risya mengalami kejutan lain.
"Mengapa kamu terlihat sedih, bukan kah kita harus mengumumkannya sekarang?" Kata kata Bastian cukup terdengar penuh misteri.
Risya berbisik dengan panik.
"Apa maksudmu?"
Bastian mendekatkan mulut ke telinga Risya dan menjawab pelan.
"Bukankah kamu sudah berjanji untuk patuh?"
Risya menghela napas. Baiklah, balas dendam memang bagus, tapi tidak perlu sampai terlihat seolah mereka sudah lama bersama seperti ini, bukan?
Bastian lebih banyak berada di amerika untuk menempuh pendidikan. Belakangan Risya tau bahwa setelah kembali dari amerika, Bastian pergi ke kepulauan saint angela yang berada sekitar dua puluh mil dari kepulauan Saint Lucia.
"Ayah, aku juga ingin menyampaikan sedikit berita bahagia..."
Suara Bastian membuyar lamunan Risya.
Ia mengeluarkan sekotak beludru merah dengan akses mawar diatasnya. Kemudian memutar kursi roda Risya hingga gadis itu menghadap ke arahnya yang berlutut dengan satu kaki.
Jantung Risya hampir melompat lewat tenggorokannya. Ya Tuhan, apa yang akan dilakukan pria ini?
"Risya, lima belas tahun lalu aku pernah berjanji akan menikahimu ketika kamu jatuh dari pohon pir ditaman rumah kakek, apa kamu ingat?"
Bastian menatap lekat ke mata coklat Risya yang saat ini belum pulih dari gelombang kejutan yang bertubi-tubi. Bastian mengabaikan tatapan bingung Risya. Ia membuka kotak beludru merah itu dan menyedorkannya ke hadapan Risya.
"Maukah kamu menikah denganku sekarang?"
Sepasah cincin emas berlapis potongan kecil berlian menari-nari dimata Risya. Jantungnya seketika hampir melompat keluar. Bukankah drama balas dendam ini terlalu nyata?
Dasar bastil sialan!
"Aku...aku.." suara Risya tercekat.
Bastian tidak menunggu jawaban. Ia mengambil tangan Risya dan memakaikan cincin itu dengan pas. Kebingunan Risya beralih pada cincin berlian itu, ukurannya sangat pas!
"Kamu harus memakaikan cincin ini padaku." Ujar Bastian sambil tersenyum tampak bahagia. Sejenak Risya terpana, akting Bastian sangat natural.
Risya dengan patuh memakaikan cincin itu ke jari Bastian.
Dari kejauhan, Sofia yang sudah hampir pingsan, ia berusaha berlari ke tengah aula untuk menghentikan adegan itu, namun sudah terlambat.
Bahkan Rudy terlalu syok untuk bicara. Hanya suara pembawa acara yang terdengar seperti dengung lebah di telinga mereka.
Dan seluruh prosesi dapat terdengar langsung di pengeras suara yang tersedia di setiap sudut aula.
Sofia berteriak dengan putus asa ditengah suara riuh para tamu. Namun suaranya hilang ditelan kerumunan komentar para tamu.
"Kamu sangat baik." Bisik Bastian pelan.
Ia mendekatkan diri ke wajah Risya mendekatkan bibirnya ke bibir gadis itu. Sebuah ciuman mendarat di bibir. Pelan dan singkat namun sangat membekas.
Dasar bodoh!