Cerita ini merupakan season kedua dari ceritaku sebelumnya yang berjudul First. Disarankan membaca First terlebih dulu biar ga gagal paham sama nama-nama di dalamnya. Terimakasih ;)
****
"Kya … tampan sekali …."
Suara jeritan seolah saling bersahutan saat dua orang pemuda berjalan di depan mereka. Pemuda tampan dengan sorot mata dingin, namun tetap membuat setiap gadis menjerit.
"Ken … Ken … Zio …."
Pemuda yang dipanggil itu sama sekali tak menoleh dan tetap melangkah angkuh dengan kedua tangan masuk saku celana.
Sementara pemuda di belakangnya terlihat menebar pesonanya pada semua gadis yang berdiri berjajar di kanan kiri mereka. "Hei, Ken, mereka memanggilmu, tuh!" ujar pemuda itu yang kini merangkul saudara sepupunya yang berbeda beberapa bulan darinya. Tinggi mereka sama dengan wajah mereka juga serupa, sama-sama tampan tapi bukan kembar. Meski begitu, akan sulit membedakan jika baru pertama kali bertemu dengan keduanya.
"Cih." Ken mendecih dengan tetap melangkah dimana tatapanya lurus ke depan.
"Hahaha, kau ini." Zio, saudara sepupu Ken, kian menarik Ken dan memukul kecil bahunya. Meski Ken begitu dingin namun tidak untuknya karena mereka tumbuh bersama sejak kecil. Sekarang mereka telah memasuki universitas dan telah berada di semester akhir jurusan business salah satu universitas terbaik Jakarta.
"Kak Ken!" Suara melengking kembali terdengar bersamaan dengan derap langkah cepat seorang gadis yang berlari ke arah Ken.
Brugh!
Gadis itu menerjang Ken dari belakang dan membuat Ken jatuh karena tak sempat menghindar. Semua mata melebar juga teriakan terkejut mahasiswa lain terdengar memenuhi lorong. Sepertinya gadis itu adalah anak baru yang tidak mengetahui apapun tentang Ken.
Ken memegangi belakang kepalanya yang terasa berdenyut karena membentur lantai. Sementara gadis bak boneka Barbie itu duduk di atas perut Ken dan menatapnya penuh damba dengan wajah merona.
Mata Ken melebar dan ia segera mendorong gadis itu dengan kasar kemudian kembali berdiri. Bahkan nyaris saja tangannya melayangkan pukulan pada si gadis. Namun sebelum itu terjadi, Zio segera mencegah dengan menahan tangannya yang sudah berada di udara.
"Tenang, Ken! Dia hanya anak baru," ujar Zio memperingati. Seluruh kampus tahu bahwa Ken adalah pangeran es yang dingin. Tidak ada, dan tidak boleh ada gadis yang berani mendekatinya. Tidak ada yang tahu kenapa, namun semua orang hanya berjaga-jaga agar tak terjadi kejadian serupa seperti yang gadis sebelumnya lakukan.
Dulu Ken pernah nyaris masuk penjara hanya karena mematahkan tangan gadis yang berusaha menggodanya. Sejak saat itu, semua gadis hanya bisa melihatnya dari jauh. Tak ada yang berani menyatakan perasaannya kecuali lewat surat yang dititipkan lewat Zio, saudara sekaligus sahabat Ken di kampus. Namun sebanyak apapun surat yang ia dapat atau dari siapapun itu, tak ada satupun yang Ken terima.
Nafas Ken naik turun tak terkendali dengan keringat dingin meluncur melewati pelipis. Ditatapnya gadis yang saat ini masih terduduk di lantai ketakutan dengan sorot matanya yang menusuk.
"Sudahlah, kita harus segera ke kelas," bujuk Zio yang tak berhenti berusaha menenangkan Ken.
Perlahan Ken mulai kembali normal setelah mengambil nafas panjang dan mengembuskannya perlahan selama beberapa kali. Kemudian ia segera berbalik dan pergi tanpa mengatakan apapun pada gadis itu.
"Maaf, ya," ucap Zio tanpa suara pada gadis itu. Beberapa orang di sana segera menolong si gadis yang kini hanya bisa menangis.
"Apa yang kau lakukan? Lain kali, jangan coba dekat-dekat dengannya," tutur salah seorang mahasiswa perempuan. Ia hanya ingin memberitahu agar anak baru itu tidak kembali melakukan hal serupa.
"Maaf, Kak. Aku … tidak tahu. Aku hanya ingin menyapa kak Ken," ujar gadis itu dengan bahunya yang bergetar menahan tangis.
Sementara Ken tetap melangkah dengan Zip yang mengikuti di belakangnya. "Hah … sampai kapan, Ken," gumam Zio dengan memijit kecil kepalanya. Ia merasa prihatin dengan sikap Ken. Meski semua karena rasa traumanya, tapi Ken tetaplah pria yang membutuhkan wanita dalam hidupnya. Ia khawatir jika trauma Ken membawanya menjadi pria abnormal.
***
Suara sorak sorai menggema di sebuah lapangan basket indoor kampus. Puluhan siswa tengah menyaksikan pertandingan basket persahabatan antara UKI dan UP. Jerit para gadis pun terdengar memekakkan telinga karena kebanyakan penonton adalah para mahasiswi.
Sementara di luar, sebuah mobil berwarna merah memasuki area kampus kemudian berhenti di tempat parkir mobil. Selang beberapa saat, kaki jenjang terbalut sepatu sneakers berwarna putih terlihat kala pintu mobil itu terbuka. Perlahan terlihatlah sesosok gadis cantik yang kini berdiri dan menebar pesona pada setiap mata yang menatapnya.
Jbles!
Gadis itu menutup pintu mobilnya kemudian membuka kacamata hitamnya dan mengaitkannya pada kerah kaos yang dipakainya, dan tampaklah kedua mata teduh yang berhias eyeliner dan softlens berwarna biru. Mengambil ikat rambut yang melingkari pergelangan tangan menggunakan mulutnya, kedua tangannya kemudian bekerja sama mengikat rambut panjangnya tinggi. Sementara para mahasiswa yang menyaksikannya nyaris tak berkedip.
"Siapa dia? Aku baru pertama kali melihatnya."
"Iya, aku juga tidak tahu. Siapapun dia, tapi dia benar-benar cantik."
Bisk orang-orang di sana kian membuat gadis itu bersemangat. Diikatnya asal helaian rambutnya tinggi hingga menunjukkan leher jenjangnya, kemudian ia berjalan anggun melewati semua orang.
"Kau selalu sempurna, Aurora," batin gadis itu yang berjalan penuh percaya diri memasuki kampus tempat kekasihnya bertanding.
Tak ada yang tak menatapnya kala ia berjalan, bahkan beberapa mulut terlihat menganga melihat kecantikannya. Gadis berusia 22 tahun bernama Aurora Jovanka yang merupakan mahasiswa semester akhir kampus sebelah, kali ini benar-benar menjadi pusat perhatian.
"Ah, maaf, boleh aku bertanya?" Aurora menghentikan langkahnya saat menyadari aura berbeda dari seorang pemuda yang berjalan berlawanan arah dengannya. Ia melihat bahwa pemuda itu telah melihatnya sebelumnya namun ia tak menunjukkan ekspresi apapun.
Pemuda yang tak lain adalah Ken, hanya menatapnya datar bahkan seolah tak berniat mendengarkan.
"Di mana tempat pertandingan basket persahabatannya? Aku dari kampus sebelah dan datang untuk menyemangati pacarku," ucap Aurora dengan ekspresi dibuat-buat. Mungkin jika orang lain akan terpesona dan memuja betapa imutnya ia sekarang. Namun kali ini Ken Arkanza lah yang ia hadapi dan terpesona adalah hal yang tak akan pernah terjadi.
Ken hanya menunjuk ke belakang punggungnya menggunakan ibu jarinya yang terbalik kemudian kembali melanjutkan langkahnya.
Perempatan siku muncul di kepala Aurora. Ia segera meraih tangan Ken dan menahannya. "Aku tidak tahu, maukah kau mengantarku?" pintanya dengan wajah kembali dibuat sok imut.
Mata Ken melebar menatap pergelangan tangannya yang dipegang Aurora. Dengan kasar ditepisnya tangan Aurora hingga membuatnya terkejut. Dan tanpa mengatakan apapun, Ken kembali hendak melangkah sampai suara Zio menghentikannya.
"Oi … Ken! Tunggu aku!"
Ken menoleh dan mendapati Zio berlari terengah mengejarnya.
"Hah … hah … kau ini, bukankah sudah kubilang tunggu aku?" Zio mencoba menetralkan deru nafasnya dan mencegah Ken kembali berjalan meninggalkannya. Terlalu sibuk mengambil nafas, Zio sampai tak menyadari bahwa Aurora masih berdiri di sana.
"Ah, ma-- maaf."
Suara Aurora yang lembut menyadarkan Zio. Ia segera menoleh dan terdiam selama beberapa saat saat pandangannya bertemu dengan mata Aurora.
Aurora hanya melempar senyuman membuat Zio segera menegakkan punggungnya. Disisirnya rambutnya ke belakang menggunakan jari kemudian menunjukkan wajah sok tampan pada Aurora. "Ada yang bisa kubantu?" tanyanya dengan suara dibuat sepadat dan sehalus mungkin.
Melihat sikap Zio yang berubah 180 derajat dari sebelumnya membuat Aurora terkekeh. "Maaf, aku tengah mencari tempat pertandingan basket, apakah kau bisa mengantarku?" pintanya seraya mulai mengamati Zio dan Ken bergantian. "Mereka terlihat mirip, apakah saudara?" batinnya.
"Ah, tentu saja. Mari, aku akan mengantarmu," jawab Zio dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
"Sangat berbeda," batin Aurora. "Sungguh? Wah … terima kasih,"ucapnya dengan mata berbinar.
"Kawaiii!" teriak Zio dalam hati. Bukan hanya Zio, beberapa orang yang melihatnya tak berhenti memuja betapa manisnya Aurora. Namun lagi-lagi tidak untuk Ken hanya hanya menatapnya tak peduli.
"Jika kau pergi, pulang jalan kaki," sahut Ken guna memperingatkan Zio.
"Tunggu sebentar, ya. Kasihan gadis manis ini, loh, dia kan bukan mahasiswa kampus kita, kalau tersesat bagaimana?" balas Zio dengan merangkul bahu Ken membujuk.
"Najis," cibir Ken kemudian segera pergi meninggalkan Zio dan Aurora yang tak berhenti menatap punggungnya.
"Dia … benar-benar mengabaikan aku?" gumam Aurora dalam hati.
"Ck. Dasar orang itu …." geram Zio yang lebih memilih mengantar Aurora. "Oh, ya, ayo kuantar ke sana," ucapnya pada Aurora dan membuat gadis itu sedikit tersentak.
"Ah, ma-- maaf, iya, dan … terima kasih," jawab Aurora dengan sedikit gugup. Ia masih bertanya-tanya bagaimana bisa ada pria yang mengacuhkannya.
"Hehe, maafkan temanku, ya. Kau pasti tadi bertanya padanya dan dia mengabaikanmu, benar?" tanya Zio guna membuka percakapan saat mereka mulai melangkah menuju lapangan basket.
"Ah, tidak apa-apa, apa dia saudaramu? Kalian terlihat mirip," jawab Aurora sekaligus memberi pertanyaan. Ia cukup penasaran dengan Ken.
"Iya, kami sepupu. Oh ya, kenalkan, namaku Zio." Zio mengulurkan tangan sembari tetap melangkah dan tak menunggu waktu, Aurora menerima jabatan tangannya.
"Namaku Aurora. Sekali lagi, terima kasih karena bersedia mengantarku," jawab Aurora dengan melempar senyum ramah.
Zio tampak tersipu mendapat senyuman dari Aurora. Menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, ia harap sifat aslinya tak keluar. "Jadi, kau datang untuk mendukung kampusmu?" tanyanya guna mengalihkan rayuan yang hendak terlontar.
"Uum. Aku datang untuk mendukung kekasihku," jawab Aurora dengan mengangguk kecil.
"Eh? Sudah punya kekasih? Tapi … wajar saja sih, gadis semanis dirimu memiliki kekasih," puji Zio yang akhirnya keceplosan. Ia memang memiliki sifat bertolak belakang dengan Ken. Lebih mudah bergaul dengan wanita, juga mudah menggombal. Namun sama seperti Ken, ia belum berniat memiliki kekasih yang sesungguhnya. Rayuannya pada banyak wanita hanya sekedar gurauan pelepas penat untuknya.
"Terima kasih, kuanggap itu sebuah pujian," balas Aurora disertai kekehan kecil. "Tapi kekasihku sudah mulai membosankan, bagaimana jika kau menggantikannya?" Aurora menoleh menatap Zio dari samping dengan menunjukkan wajah imut.
"Eh?" Zio menghentikan langkah namun sesaat kemudian seringai tipis terukir di bibirnya. "Gadis ini," gumamnya.