Jbles ….
Zio menutup pintu kamar Ken dengan sedikit hati-hati kemudian menghela nafas lelah dengan tangan yang masih menempel gagang pintu.
“Bagaimana keadaan Ken?” Aurora yang masih berdiri di samping pintu bertanya dengan cemas. Rasa bersalah pun kian menggelayuti pikiran.
Zio menoleh menatap Aurora dan terdiam sesaat, melepas lemah tangan dari gagang pintu kemudian melangkah ke arah tangga untuk kembali ke dapur.
Aurora yang melihatnya hanya bisa mengikuti Zio dan kembali bertanya, “Zi, aku … benar-benar minta maaf. Apa Ken terluka? Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Apa perlu kita bawa ke dokter?”
Tap!
Zio menghentikan langkah dan menatap Aurora dengan pandangan tak terbaca kemudian berkata, “Sebenarnya apa yang kau lakukan?”
“A-- aku hanya … Tapi sungguh, aku sama sekali tak berniat menyakitinya, aku hanya reflek melindungi diri,” jawab Aurora.
Hela nafas panjang lolos dari mulut Zio yang memijit kecil kepala. “Lain kali jangan melakukannya lagi,” peringatnya dan kembali melanjutkan langkah.
Aurora pun kembali mengekor di belakang Zio dan tak henti-hentinya bertanya. “Kalau boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi, Zi? Maksudku, ada apa dengan Ken? Aku yakin dia seperti itu bukan karena kesakitan karena yang aku lakukan.”
Zio hanya diam, ia tengah berpikir apakah harus memberitahu Aurora atau tidak. Namun akhirnya ia memutuskan untuk tak memberitahukannya. Lagi pula ia baru mengenal Aurora meski mereka sudah seperti teman yang mengenal lama. Dan hal itu karena sifat Aurora yang mudah bergaul sama sepertinya. Zio kembali menghentikan langkah dan menoleh menatap Aurora dengan mengukir senyuman. “Jadi bagaimana? Apa kau masih ingin mendekatinya setelah apa yang terjadi barusan?” Bukannya menjawab Aurora Ken memilih mengalihkan topik pembicaraan.
“Jangan mencoba mengalihkan topik, Zi, aku bertanya dengan sungguh-sungguh,” potong Aurora menggebu. Ia benar-benar penasaran.
“Aku tak bisa mengatakannya. Sebaiknya kita lanjutkan acara memasak kita. Ayo.” Diraihnya tangan Aurora dan menyeretnya menuju dapur.
“Tu-- tunggu, Zi, tapi bagaimana dengan Ken? Kau yakin dia baik-baik saja?”
“Kau tenang saja, saat ini yang dia butuhkan adalah waktu untuk sendiri. Lagi pula aku tak habis pikir bagaimana bisa kau melumpuhkannya seperti itu?” sahut Zio tanpa menghentikan langkahmu membawa Aurora menuju dapur. Ia pun kembali mengalihkan topik dengan gurauan agar Aurora berhenti bertanya.
“Aku hanya meminta maaf padanya dan mengajaknya bergabung bersama kita tapi dia justru hendak menyeretku keluar dari kamarnya. Ah, bukan, dia mencekik tanganku, karena itu lah aku melakukan perlawanan,” jawab Aurora menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Seketika Zio melepas pegangan tangannya dari tangan Aurora. “Aku baru tak mengira gadis sepertimu bisa bela diri,” ujarnya.
“Apa maksudmu gadis sepertiku?” potong Aurora dimana sebelah alisnya meninggi. Sepertinya Zio berhasil mengalihkan topik.
“Pft …” Zio berusaha menahan tawa. “Lalu kenapa semalam kau seperti gadis lemah?” celetuknya.
Aurora tersenyum kaku dan menggaruk pipinya yang tak gatal dengan mengalihkan pandangan. “Kan itu di tempat ramai,” ucapnya.
“Dasar musang.” Zio menyentil dahi Aurora diiringi tawa setelahnya. Ia seolah dapat membaca jika Aurora sengaja.
“Ish, aku bukan musang,” decak Aurora dengan memegangi dahinya yang menjadi korban sentilan Zio. “Musang itu swiper, dan swiper itu pencuri, dan aku bukan pencuri,” ketusnya dengan menggembungkan pipi kesal.
Gelak tawa Zio pecah memenuhi dapur dimana ia sampai memegangi perutnya menahan tawa. Menurutnya Aurora memang berbeda dengan gadis lain pada umumnya, dan ia harap ia tak menyukainya karena berharap ia bisa mengentaskan Ken dari traumanya.
Sementara saat ini Ken masih berdiri di depan cermin di kamar mandi. Nafasnya masih sedikit terengah dengan keringat yang masih membasahi wajah. Seringai bengis itu seolah kembali terngiang-ngiang dan membuat punggungnya terasa berat seakan-akan sesuatu berada di sana dan menakut-nakutinya.
“Argh!” Ken berteriak kemudian membasuh wajahnya dengan kasar. Ia juga tak mau seperti ini terus, tapi bayang-bayang tawa kejam dan seringai bengis seolah terus terbayang dalam otak. Wanita itu ingin membunuhnya tanpa ia tahu apa salahnya, ia selalu berpikir bahwa ia masih diberi kesempatan hidup dan jika kembali mempercayai wanita yang tak ia kenal, wanita itu pasti hanya ingin melukainya tanpa ia tahu apa kesalahannya. Hal seperti itulah yang selalu tertanam dalam hati dan pikirannya.
*
*
*
Srssss …
Bunyi dan kepulan asap mengepul saat Zio memasukkan cumi ke dalam wajan berisi bumbu yang telah ia tumis sebelumnya.
“Hm … ah ….” Aurora menghirup aroma masakan Zio yang hanya dari baunya saja sudah sangat lezat. “Baru kali ini aku bertemu pria yang pandai memasak,” ucapnya seraya menoleh pada Zio yang memasukkan bumbu lain yang tak Aurora tahu. Bukan sekedar tak bisa memasak, ia juga tak begitu tahu dengan nama-nama bumbu. Ia tak pernah memasak kecuali hanya telur dadar dan masak air. Saat ia hendak membantu ibunya di dapur, ibunya selalu mengatakan, ‘Biar ibu saja, Sayang.’
“Benarkah? Lagi pula kau yang aneh, kau itu perempuan, tapi tak bisa memasak,” celetuk Zio menimpali ucapan Aurora.
Aurora hanya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan tertawa kikuk. “Hehehe, mau bagaimana lagi, saat aku ingin membantu ibu, ibu selalu bilang, ‘biar ibu saja’.” Menirukan gaya ibunya saat menyuruhnya pergi dari dapur. “Dulu aku juga sering mencoba membuat kue, dan aku tak tahu kenapa, hasilnya selalu pahit. Padahal aku sudah mengikuti resep, loh,” lanjutnya menceritakan kisahnya belajar memasak dan selalu gagal.
“Kue apa yang kau buat?” tanya Zio. Menoleh pada Aurora yang berdiri di sebelahnya mengalihkan atensinya pada masakannya.
“Bolu panggang. Pernah juga kue kering dan benar-benar tak sesuai ekspektasi. Rasanya aku tak mau menyentuh oven lagi,” jawab Aurora dengan bergidik mengingat rasa kue hasil buatannya waktu itu.
“Pft.” Tangan Zio yang terkepal berada di depan mulut guna menahan tawanya. “Padahal itu kue yang paling mudah dibuat. Sepertinya kau benar-benar tak pandai memasak,” ucapnya disertai gelak tawa merekah. Ia tak bisa menahan tawanya membayangkan Aurora membuat kue dan hasilnya gosong sampai hitam.
Kedua tangan Aurora menyatu di belakang punggung, ia setengah membungkuk dan menatap Zio dari posisinya saat ini. “Lalu bagaimana denganmu? Apa keahlianmu menurun dari orang tuamu?”
“Um … entahlah. Kurasa karena terbiasa. Aku dan Ken sudah lama tinggal hanya berdua. Orang tua kami di luar kota jadi aku dan Ken memang lebih sering memasak sendiri,” jawab Zio seraya mematikan kompor kemudian mengambil piring yang akan digunakannya sebagai wadah cumi asam manis masakannya yang sudah matang.
“Oh ….” Mendengar Zio menyebut nama Ken membuat Aurora kembali mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Tapi ia memutuskan untuk tak lagi bertanya karena jawaban Zio sebelumnya sudah sangat jelas bahwa ia tak ingin memberitahukan kebenarannya. “Wah … sepertinya lezat. Menurutmu apa Ken akan mau makan bersama kita?” tanya Aurora seraya mengikuti Zio yang meletakkan sepiring cuminya ke atas meja.
“Um, sepertinya tidak. Maaf, kau harus menelan pil pahit, Honey,” jawab Zio yang terkikik saat mengatakan godaan di akhir kalimatnya. “Bagaimana kalau buat kue? Kau harus memperhatikannya baik-baik. Saat ini aku adalah gurumu,” perintahnya seraya menyentil dahi Aurora.
“Ish, Zi, berhentilah melakukan itu,” sungut Aurora kesal. Di rumah ibunya mencubit hidungnya, dan bersama Zio, pria itu menyentil dahinya.
“Hei, boleh aku bertanya? Kenapa kau begitu ingin mendekati Ken? Bahkan kedatanganmu ke sini semata karenanya bukan?” ucap Zio tiba-tiba dimana raut wajahnya lebih serius dari sebelumnya.
Alis Aurora tampak mengernyit, ia menghela nafas panjang kemudian menjawab, “Bukankah sudah sangat jelas? Kenapa masih bertanya?”
Zio hanya mengedikkan bahu dan menjawab, “Biar kutebak, kau hanya penasaran.”
“Tepat,” jawab Aurora singkat padat dan jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi.
“Dan saat kau mendapat perlakuan kasar darinya seperti tadi, bagaimana?” tanya Zio kembali. “Kau akan menyerah?”
“Tidak. Justru melihatnya seperti itu membuatku semakin bersemangat,” jawab Aurora menggebu. Diangkatnya tangannya dan mengacungkan jempol tepat di depan muka Zio. “Kau tenang saja, kau bersedia membantuku karena ingin dia sembuh kan? Aku wanita yang kuat, kau lihat sendiri aku bisa membuatnya tak bisa bergerak. Jadi aku tak akan menyerah,” sambungnya.
Zio menyandarkan tubuhnya pada tepian meja dan bersedekap d**a, ditatapnya Aurora sesaat dalam diam dimana seulas senyum amat sangat tipis menghiasi wajah. Ia tak mengira Aurora sangat cerdas dan membuatnya berpikir bahwa ia sama sekali belum mengenal Aurora sepenuhnya. “Dan seandainya suatu saat kau berhasil, apa yang akan kau lakukan? Kau hanya penasaran, dan saat kau mendapatkannya kemungkinan besar kau akan bosan dan membuangnya.”
“Hm …” Aurora hanya bergumam tak jelas. Ibu jari dan jari telunjuknya bekerja sama mengusap dagu dengan bola mata yang terlihat bergerak ke atas dan ke bawah seperti tengah mencari jawaban yang tepat. “Kita lihat saja nanti,” jawabnya dimana senyuman manisnya pun tercipta.
“Tsk, kau terlalu percaya diri, Nona,” potong Zio seraya kembali menegakkan tubuhnya dan maju selangkah hingga berdiri tepat di depan Aurora. Ditatapnya Aurora dengan tatapan remeh kemudian kembali membuka suara. “Apa kau tahu? Kepercayaan diri yang terlalu berlebihan akan membawa luka lebih menyayat jika mengalami kegagalan.”
“Tapi kepercayaan diri yang kuat bisa membawa seseorang bangkit dari kegagalan,” potong Aurora dimana raut wajahnya tiba-tiba berubah.