Lenguhan kecil lolos dari mulut Ken saat pria itu mulai terbangun dari tidurnya yang tak begitu nyenyak. Tangannya mencoba meraba meraih atas meja mencari ponsel yang seingatnya ia letakkan di sana. Diraihnya ponsel itu dan segera mengusap layar melihat jam. Sayangnya ponselnya tak segera menunjukkan cahaya. Ken pun akhirnya berusaha membuka lebar kedua matanya yang terasa berat. Dan benar saja, ponselnya benar-benar hitam dan gelap. Tiba-tiba ia teringat jika ia mematikan ponselnya semalam karena Aurora tak berhenti mengiriminya pesan. Satu tangannya menutup mulut kala ia menguap dan satu tangannya masih menggenggam ponsel di tangan dan mencoba menghidupkannya. Akhirnya layar ponsel itu mulai menunjukkan cahaya, dan setelah beberapa detik setelah ponselnya menyala, ponselnya terus bergetar dengan pesan masuk yang jumlahnya tak terhitung.
{Aku akan terus mengirim pesan. Sampai kau membalasnya.}
Adalah isi pesan dari Aurora, bukan hanya itu saja, pesan berisi kata maaf juga mengalir deras. Merasa geram, Ken melempar ponselnya kasar di atas ranjang dan memilih segera bangun dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun saat kakinya baru menapak lantai, saat itu juga dering ponsel tanda panggilan membuatnya berhenti. Ia menoleh pada ponselnya yang teronggok di sisi kiri ranjang dan memilih mengabaikannya karena mengira itu adalah Aurora. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.
Di tempat Aurora sendiri saat ini ia masih tertidur pulas. Entah sampai jam berapa ia terjaga semalam dengan terus mengirimi Ken pesan sampai ibu jarinya gemetaran. Dan sama sekali tak sesuai harapan, tak ada satupun chatnya yang dibalas bahkan dibaca.
Samar-samar lenguhan ringan pun terdengar, Aurora mengerjapkan matanya yang terasa pedas dan berat karena begadang semalam. Setelah cukup meraih kesadaran, ia bangun dan meregangkan kedua tangan ke atas kemudian ke samping. Sesekali ia menguap meski kedua matanya telah terbuka lebar. Tanpa sengaja saat ia meregangkan tangan ke kanan, pandangannya jatuh pada beberapa ponsel yang tergeletak di atas meja nakas samping tempat tidurnya. Ia pun tersadar dan segera mengambil semua ponsel itu untuk melihat apakah pesannya semalam mendapat balasan atau setidaknya dibaca. Seulas senyum pun terukir di bibir saat melihat seluruh pesan yang dikirim tercentang dua meski belum centang biru. Tiba-tiba senyuman itu menjadi cekikikan dimana ia terdengar bergumam, “Kuharap ponselnya tidak rusak.”
*
*
*
Beberapa hari telah berlalu dan saat ini Aurora telah berdiri di depan pintu rumah Ken dan Zio. Ia tampil menawan dengan rok plisket di atas lutut berwarna putih dan kaos oversize lengan panjang berwarna navy. Sebuah topi berwarna grey menjadi pelindung kepala dimana rambut halusnya dibiarkan tergerai. Dan sepasang sneaker warna putih menjadi penyempurna penampilannya kali ini. Zio mengatakan jika hari ini ia dan Ken pulang kuliah lebih awal dan saat ini mereka telah di rumah.
Tok … tok … tok ….
Aurora kembali mengetuk pintu berharap Zio segera mempersilahkannya masuk. Ia tak sabar lagi memberikan kue buatannya sendiri untuk Ken sebagai permohonan maafnya kemarin. Kemarin Zio bilang Ken tidak suka makanan manis, jadi Ken pasti akan menyukai kee buatannya kali ini.
Cklek …
Dan tepat sekali, beberapa saat kemudian Zio membuka pintu dan menyambut kedatangan Aurora dengan senyuman hangat. “Perasaan kau selalu ke rumahku. Di sini hanya ada dua pria normal, loh,” ujarnya dimana kekehan merekah di akhir kalimat.
“Maaf, Tuan, kedatanganku kemari bukan untuk menemuimu,” balas Aurora dengan senyuman merekah sarat akan makna.
Zio menyandarkan bahunya pada kusen pintu dan menatap Aurora dengan sebelah alis meninggi. “Jika kau lupa, tanpaku kau tak akan bisa mendekati saudaraku,” sergahnya.
Tangan Aurora terkepal di depan mulut guna menahan tawa kemudian menyodorkan sebuah kotak persegi berisi kue buatannya. “Baiklah, kalau begitu makan saja ini bersama Ken. Ngomong-ngomong apa aku bisa bertemu dengannya?” tanya Aurora sarat akan nada harapan bahkan kedua matanya menunjukkan jurus puppy eyes yang membuat Zio tak dapat menjawab.
“Ku-- kue? Hari ini bukan ulang tahun, Ken, untuk apa memberinya kue?” ujar Zio dengan menerima kotak berukuran sekitar 20 x 20 cm itu. Rasanya tak tega juga mengatakan pada Aurora jika Ken sama sekali tak sudi bertemu dengannya.
“Kan sudah kubilang sebagai permintaan maafku pada Ken. Jadi bagaimana? Apa aku bisa menemuinya sekarang?” Aurora mengatupkan kedua tangan memohon tanpa melunturkan jurus puppy eyes layaknya seekor anak kucing minta dipungut.
“Ken tidak ada di rumah,” jawab Zio. Karena kalaupun Ken di rumah, tentu tak akan bersedia menemui Aurora.
Seketika jurus puppy eyes Aurora lenyap digantikan dengan raut wajah yang tak dapat dijelaskan. Ia menatap Zio dengan pandangan tak terbaca kemudian menuduhnya dimana pandangannya menjadi sorot mata penuh selidik. “Kau membohongiku?”
“Tidak,” jawab Zio dengan gelengan kepala.
“Sungguh?” tanya Aurora menuntut jawaban kejujuran.
Zio memutar bola mata malas dan kembali menjawab, “Apa karena aku belum haji jadi kau tak percaya padaku? Seharusnya aku ikut Ken pergi, tapi aku ingat jika kau akan datang makanya Ken pergi sendiri.”
“Tapi kau bilang Ken jarang keluar rumah, kan?” potong Aurora. Ia masih tak percaya pada Zio.
“Jarang bukan berarti tak pernah, Ra,” sahut Ken dan memberi sentilan kecil di dahi Aurora.
“Memangnya dia kemana? Kau tak khawatir padanya? Bagaimana jika penyakitnya kambuh seperti kemarin?”
“Penyakit?” ulang Zio dimana alisnya tampak berkerut.
“Bukankah apa yang terjadi pada Ken kemarin karena dia mengalami suatu penyakit? Jika tidak, dia tidak akan seperti itu, Zi. Nah, dan yang jadi pertanyaanku sekarang adalah.” Aurora menghentikan ucapannya sejenak kemudian kembali melanjutkan kata-katanya. “Apa kau tak akan mempersilahkan aku masuk ke dalam? Atau apa kau akan membiarkanku berdiri di luar pintu seperti seperti seorang pengantar paket? Atau kau sebenarnya ingin aku menunggu Ken?”
“Stop!” Jari telunjuk Ken berdiri di depan mulut Aurora. Ia mengatakan, “Jika ada lomba bicara terpanjang sepertinya kau akan menang.”
Seketika Aurora menggembungkan pipi kesal. Dan saat ia ingin membantah lelucon Zio, bunyi klakson mobil membuat atensinya tertuju pada sebuah mobil yang memasuki halaman rumah.
“Sepertinya dia sudah pulang,” ujar Zio yang juga mengarah pandangannya pada mobil yang baru saja sampai.
Aurora masih terdiam dan terus mengamati mobil itu karena samar-samar ia dapat melihat bahwa penumpang di belakang tidak sendiri. Sementara ia tahu bahwa mobil itu adalah mobil grab. ‘Apa penumpang lain?’ batinnya. Namun rasanya amat sangat tidak mungkin.
Cklek …
Beberapa saat kemudian pintu mobil itu terbuka dimana sebuah kaki terbalut celana jeans hitam terlihat turun lebih dulu dan memijak tanah. Dan saat pintu terbuka lebar, seketika kedua mata Aurora membulat. Kenapa? Karena saat ini dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat Ken keluar dari mobil dengan menggendong seorang gadis.
‘Bagaimana bisa? Sementara Zio mengatakan Ken begitu membenci wanita. Lalu apa yang ia lihat sekarang? Jadi, apakah sebenarnya ia telah dibohongi? batin Aurora yang tak melepas pandanganya sedikitpun dari Ken juga seorang wanita dalam gendongannya.