When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Aku melongok ke luar jendela mobil yang kebetulan sekali kaca jendela mobil suamiku ini lumayan gelap, sehingga tak tampak jelas dari luar. Aku jadi bebas memperhatikan interaksi Pak Ujang dan Hesti. “Mbak, sini saya bantu. Pasti sakit sekali, ya. Lagiannya kok jalan nggak lihat-lihat. Mobil jangan ditubruk, Mbak. Sakit ini lho,” ucap Pak Ujang, yang membuatku senyum-senyum sendiri. “Eh, Pak. Jangan dekat-dekat saya. Sudah sana pergi! Saya nggak apa-apa. Saya bisa bangun sendiri kok,” tutur Hesti sedikit ketus. Dia tampak berusaha agar tak menatap Pak Ujang. Aku melihat reaksi Pak Ujang yang kaget. Dia menarik kembali tangannya yang sebelumnya ingin membantu Hesti berdiri. “Mau dibantu berdiri kok ya nggak mau. Ya sudah kalau nggak mau. Silakan saja berdiri sendiri! Lagiannya saya tadi