Chapter 5

1257 Words
  Mia tidak habis pikir bagaimana Mr. Fox bisa tahu rumahnya. Pertama, pria itu muncul dalam mimpi Mia yang terasa begitu nyata dan aneh. Kedua, sekarang dia berada di depan mata gadis itu dan tepat di rumahnya. Siapa sebenarnya dia? batin Mia. “Oh, dia gurumu?” Ayahnya menatap Mia dengan kaget, kemudian dia mengulurkan tangan pada Mr. Fox. “Aku ayahnya Mia. Apakah ada masalah dengan Mia di sekolah yang harus kita bicarakan?” Mr. Fox menjabat tangan ayahnya Mia dan tertawa pelan. “Tidak, Mr. Paris, aku ke sini untuk membantu Mia menyelesaikan tugas matematikanya,” jawabnya kemudian. “Wah, bagus sekali. Jadi kau guru matematikanya? Siapa namamu?” Mr. Paris duduk di depan Mr. Fox yang kembali duduk di kursi, kedua pria itu duduk berseberangan. “Maafkan saya, tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Samuel Fox, guru matematika di sekolah Mia.” “Aku tidak mengira kau seorang guru, kau terlihat masih sangat muda untuk itu. Berapa umurmu?” “Dua puluh tiga, sir,” kata Mr. Fox. Mia yang masih berdiri di depan kursi benar-benar terkejut. Mr. Fox yang dia lihat di depannya persis seperti di dalam mimpinya, bukan pria yang dia lihat di sekolah tadi pagi. Terlebih lagi dia tidak menggunakan kaca matanya saat ini. Pria itu terlihat lebih tampan dengan pakaian seperti itu. Selanjutnya dengan satu gerakan cepat, gadis itu berlari menuju kamarnya dan menyambar telepon genggam. Dia menutup pintu kamar di belakangnya lalu menelpon Hannah dengan tombol cepat. Dering pertama, kemudian dering kedua. “Hai, Mia. Ada apa?” Suara Hannah di ujung telepon terdengar sangat ramai. “Hannah, kau tidak akan percaya padaku jika kau tidak datang sendiri.” Mia berdiri di depan jendela kamarnya yang menghadap keluar. “Apa maksudmu?” “Mr. Fox ada di sini, di rumahku!” Suara Mia mulai terdengar panik. Dia sendiri tidak tahu kenapa dirinya panik. “Siapa? Mr. Fox?” “Iya, sebaiknya kau ke sini sekarang juga, atau aku akan mati konyol!” Mia mulai menuntut temannya. “Ya, ampun. Benarkah? Whoa! Aku berharap dia datang ke rumahku,” kata Hannah. “Tapi maaf, Mia, aku memang sangat ingin ke sana. Tapi—“ Hannah berhenti, “ayahku baru saja pulang dari Eropa, sepupuku dan beberapa saudara datang bersama ayah untuk tinggal beberapa bulan di sini.” Suara Hannah terdengar lebih jernih sekarang. Mia hanya terdiam dan tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Dia tahu, sahabatnya itu jarang bertemu ayahnya yang suka berpergian ke luar negeri. Tapi, situasinya saat ini sangatlah mendesak bagi Mia. “Ceritakan saja besok apa yang dia lakukan di rumahmu, oke? Aku harus pergi sekarang. Bye, Mia!” Hannah menutup teleponnya. Mia menatap layar ponselnya dan hanya bisa pasrah. Akhirnya dia mengambil buku yang dia pinjam beserta kertas yang diberikan oleh guru matematikanya itu. Ayahnya masih mengobrol dengan Mr. Fox saat Mia kembali ke ruang tamu. Dia kemudian berdeham. “Oh, ya, mungkin sebaiknya kita makan malam dulu. Mia sudah memasak malam ini,” kata ayahnya. Sebenarnya bukan itu yang diharapkan Mia. Dia ingin cepat-cepat mengerjakan soalnya supaya gurunya itu cepat pulang. Menyuruhnya untuk makan malam di rumahnya berarti mereka menyambutnya. Sebenarnya, ayahnya saja sih yang menyambutnya, bukan Mia. Mia menaruh peralatan belajarnya di atas meja, lalu menyiapkan meja makan untuk tiga orang. Ayahnya pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian dan meninggalkan Mia berdua dengan Mr. Fox. Mia menaruh piring di meja dan Mr. Fox membantunya menyiapkan meja makan. Sampai akhirnya Mia membuka suara. “Apa yang Mr. Fox lakukan di sini? Aku kan tidak butuh bantuan apa pun,” tanya Mia seraya menatap Mr. Fox yang tengah menyusun peralatan makan di meja. “Panggil Sam saja. Mr. Fox itu terlalu formal, “ ucapnya tanpa melihat ke arah Mia. Mia mengerjap tidak percaya. “Baiklah, Sam, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Mia kembali yang sudah menahan amarah. Dia juga tidak mengerti kenapa dia harus marah. “Aku kan bilang, kalau aku berhutang sesuatu padamu,” jawab Sam. “Kau tidak berhutang apa pun padaku, jika ada pun, aku sudah melunaskannya,” kata Mia tenang. Ayahnya muncul saat mereka berdua selesai merapikan meja makan. Sebetulnya Mia masih ingin bicara dengan Sam dan membahas semua ini, tapi tidak mungkin saat ada ayahnya. Jadi, gadis itu hanya diam dan menuangkan makanan di setiap piring. Sam duduk berseberangan dengan Mia, sedangkan ayah Mia berada di antara mereka. “Aku jadi tahu kenapa Mia sangat ingin memasak makan malam hari ini. Jadi karena kau akan datang,” kata Ayahnya sambil melirik Sam dan Mia. “Dad!” protes Mia. Tentu saja bukan karena itu Mia ingin memasak, walaupun dia sendiri tidak tahu keinginannya memasak sangat besar hari ini. Jika dia tahu Sam akan datang, dia pasti akan meminta ayahnya untuk membelikan masakan Cina saja. Ayahnya mulai menyuap makan malamnya, begitu pula Sam. Mia hanya diam menatap keduanya, menunggu reaksi yang akan mereka keluarkan. “Ini enak sekali, tapi ayah belum pernah melihatmu masak makanan ini sebelumnya.” Ayahnya menyuap lagi. “Aku masak masakan Asia, ibunya Hannah pernah menyajikan ini saat aku berkunjung. Namanya opor.” Akhirnya Mia mulai menyuap santapannya. Sam hanya diam tanpa komentar sedikit pun. Dia menyantap setiap suapannya dengan tenang. Mereka tidak banyak berbicara saat makan. Biasanya Mia akan banyak bertanya pada ayahnya tentang hari ini. Ada kejadian apa, atau bahkan adakah wanita yang disukai ayahnya sekarang. Saat ditanyai begitu, ayahnya hanya menjawab, ‘wanita terpenting dalam hidupku saat ini hanyalah kau’. Ayahnya juga sering bertanya tentang hari-hari gadis itu di sekolah. Akan tetapi sekarang mereka hanya diam, mungkin karena Sam juga diam saja. Selesai makan dan membersihkan sisa makanannya, Mia menghampiri Sam yang duduk di ruang tamu dengan sangat tenang. Ayahnya sudah pergi ke ruang kerjanya dan menyelesaikan pekerjaannya. Lagi-lagi Mia harus berduaan saja dengan Sam. Gadis itu mengambil buku beserta peralatan tulisnya yang tadi dia bawa. Mia duduk di samping Sam yang menatapnya sambil tersenyum. "Karena kau sudah di sini, jadi aku tidak akan menyia-nyiakannya.” Mia mulai membuka bukunya, lalu menunjukkan apa yang tidak dia mengerti. Sam menunjukkan cara-cara yang mudah Mia pahami. Namun jarak yang terlalu dekat di antara keduanya, membuat Mia tidak menyadari bahwa dia tengah memandangi Sam, dan tidak memperhatikan penjelasan gurunya itu. “Apa kau mengerti? Atau kau terlalu menikmati memandangiku?” tanya Sam tiba-tiba. Mia yang tersadar dari kelakuannya, langsung mengalihkan pandangannya. “Aku harus ke toilet dulu,” kata gadis itu akhirnya. Sam diam-diam tersenyum sambil mengamati Mia yang terus berjalan. Di kamar mandi, Mia menatap wajahnya di cermin. Dia merasa sangat bodoh dengan menatap Sam seperti itu secara terus-menerus. Kemudian gadis itu membasuh wajahnya dengan air. Suara berisik dari luar kamar mandi membuat Mia segera mengeringkan wajahnya dan berlari keluar. Sam sedang menggenggam pisau di tangan kanannya, sementara di depannya berdiri seseorang pemuda. Pemuda itu terlihat lebih muda dari Sam, mungkin seumuran dengan Mia. Rambutnya berwarna hitam keabu-abuan, dengan bola mata berwarna hijau. Senyuman mengerikannya, membuat siapa pun bergidik melihatnya. Saat melihat Mia, laki-laki itu seketika bergerak ke arahnya dengan satu gerakan cepat yang tidak biasa. Manusia biasa tidak ada yang bisa bergerak secepat itu. Mia terhuyung ke belakang saat laki-laki itu mencengkeram pergelangan tangan Mia dengan sangat erat. Pikiran Mia teringat akan mimpinya waktu itu. Namun saat itu, dia tidak melihat begitu jelas pria yang bertarung dengan Sam di dalam mimpinya. Sam menatap si pemuda dengan penuh amarah. Mia tidak akan pernah mengira bahwa Sam bisa semarah itu. Kemudian Sam yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya, menikam jantung Mia menggunakan pisaunya. Darah keluar dari tempat Sam menikamnya, juga dari mulutnya. Kemudian semuanya gelap seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD