Chapter 2

1495 Words
Hari ini libur akhir semester telah berakhir. Bagi anak-anak yang baru masuk, semuanya terasa sangat menyenangkan. Teman baru, pelajaran baru, semuanya terasa baru. Bagi Mia, semester ini adalah semester terakhirnya di sekolah sebelum dia naik ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu bangku kuliah. Jadi, tahun ini dia harus berjuang keras untuk bisa masuk ke universitas yang dia inginkan. “Murid baru, pacar baru.” Hannah menyenggol pundak Mia pelan. Hannah adalah teman Mia sejak bangku kelas satu di New Paltz High School. Saat itu Mia adalah murid pindahan, dia tidak banyak bicara dan bergaul dengan anak-anak lain.  Sedangkan Hannah termasuk tipe yang tidak bisa berbaur dengan orang lain jika tidak memiliki kesamaan dengannya. Dan Mia, dia beruntung mendapatkan teman di hari pertamanya pindah ke sekolah itu. “Itu kau, bukan aku. Kau selalu berganti pacar setiap tahun ajaran baru.” Mia menatap sahabatnya menggoda. “Lagi pula, kita sudah kelas tiga dan ini semester terakhir.” Lorong sekolah mulai ramai seperti biasanya. Banyak anak baru yang kelihatan kebingungan dengan loker mereka. Ada juga anak-anak yang kelihatannya akan menjadi populer hanya dalam waktu satu hari. Mia teringat saat tahun pertamanya. Dia hampir tidak punya teman jika Hannah tidak menyapanya. Gadis itu tidak suka terlalu menonjol di sekolah, padahal kemampuannya dalam pelajaran cukup bagus. Hannah juga tipe yang tidak suka menonjol, walaupun dia suka mengencani para pria. Hannah termasuk gadis yang tidak suka dengan pesta dan hiruk-piruknya, sama dengan Mia. Karena itu mereka sering menghabiskan waktu bersama. “Justru karena ini tahun terakhir kita, kita harus menikmati masa-masa ini sebelum kita kuliah,” kata Hannah. Keduanya sudah sampai di depan kelas saat beberapa anak mendorong mereka untuk cepat-cepat masuk kelas. Kelas pertama mereka adalah kelas matematika. Bukan pelajaran yang banyak disukai semua orang, tapi bagi Mia kelas matematika sangatlah penting untuk mengejar jurusan yang dia inginkan di universitas nanti. Nilai matematikanya tahun kemarin juga tidak cukup bagus, dia harus belajar sendiri karena guru matematikanya mengundurkan diri secara tiba-tiba, dan New Paltz High School hanya memiliki satu guru matematika. Saat itu pihak sekolah belum menemukan guru matematika yang baru hingga tahun pelajaran berakhir. Tapi mereka harus tetap mengikuti ujian, tanpa guru yang membimbing mereka. Bagi beberapa anak, belajar sendiri akan sangat menyenangkan. Sementara bagi Mia, harus ada seseorang yang mengajarinya untuk bisa memahami beberapa pelajaran tertentu. Suasana kelas tampak seperti biasanya, tapi banyak anak-anak yang mulai berbisik-bisik soal guru baru yang akan mengajar kelas matematika. Tipikal pada murid yang suka bergosip, berita tersebar begitu cepat bahkan dihari pertama sekolah tahun ajaran baru. “Sepertinya sekolah sudah menemukan guru matematika yang baru.” Hannah menaruh tasnya di atas meja. Dia duduk di kursi ketiga dari depan. Tempat kesukaannya, karena tidak terlalu depan, dan tidak pula terlalu belakang. “Baguslah, nilai matematikaku turun karena tidak ada yang mengajariku,” kata Mia yang duduk di samping sahabatnya itu. “Yang aku dengar, guru itu masih muda dan tampan!” Hannah menyunggingkan senyum lebar dan membayangkan sosok guru matematika barunya. “Hannah! Yang benar saja!” Mia memutar bola mata. Bel berbuyi saat kedua sahabat itu saling berargumen, kemudian seseorang masuk ke dalam kelas dengan tergesa-gesa. “Maaf, saya sedikit terlambat.” Pria itu menaruh tasnya di meja. Aura kelas terlihat sangat berbeda. Bukan suasananya saja, seolah udara dari luar masuk ke kelas dan ikut bersama pria itu. Sudah jelas itu guru baru mereka, jika tidak dia tidak mungkin duduk di meja guru. Mengenakan kemeja biru dan celana bahan berwarna hitam, serta kacamata menghiasi mata birunya. Sedangkan rambut cokelatnya ditata rapi dengan gel khusus rambut. Semua anak terpaku pada guru baru mereka tanpa berkedip sedikit pun. Terutama para perempuan, tidak satu detik pun terlewatkan tanpa melihat guru baru mereka. Udara terasa panas seketika di sekeliling Mia. Gadis itu merasa tercekat, seolah baru saja melihat sosok pangeran dalam mimpinya. Bukan, tentu saja bukan pangeran, tapi benar-benar seseorang yang dia lihat dalam mimpinya. “Namaku Samuel Fox, dan aku rasa kalian tahu aku adalah guru matematika baru kalian.” Samuel berdiri di tengah-tengah dan mulai berbicara. “Karena ini tahun pertamaku mengajar di sini, aku ingin mengenal kalian. Dan berhubung aku lupa membawa daftar nama kalian, jadi silahkan tuliskan nama kalian masing-masing dalam satu lembar kertas kecil dan aku akan memangil nama kalian satu persatu untuk maju ke depan.” Semua anak mulai menulis nama masing-masing dalam satu lembar kertas kecil seperti yang diperintahkan. Menulis nama tentu saja mudah, tapi gadis-gadis ini bukan hanya menuliskan nama, melainkan mencantumkan nomor telepon juga. “Hannah, kau juga?” Mia menatap sahabatnya yang sedang menuliskan nomor telepon di kertasnya. “Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, mungkin seharusnya kau juga,” kata Hannah yang sudah selesai menuliskan nama dan nomor teleponnya. Setelah mengumpulkan semua kertas, Mr. Fox mulai memanggil nama mereka satu-persatu. Sambil maju ke depan, mereka diberikan dua lembar kertas yang berisi soal matematika. Semua anak yang telah mendapatkan kertas soal memandangi dengan raut wajah berbeda-beda. Mulai dari tidak suka, kecewa, dan tentu saja senang. Senang bukan karena mendapatkan soal matematika, melainkan karena bisa melihat guru barunya itu dari jarak yang cukup dekat. Hingga saat nama Mia dipanggil. “Mia Paris!” Suara Mr. Fox yang berat terdengar memanggil Mia. Mia menghela napas panjang. Dia teringat mimpinya waktu itu, apakah itu benar-benar mimpi atau kenyataan, dia tidak bisa membedakannya. Itu mimpi, tapi benar-benar terasa nyata baginya. Lagi pula, kenapa Mr. Fox ada di dalam mimpinya? Bahkan sebelum hari ini, dia tidak pernah bertemu dengannya. Mia berjalan ke depan perlahan. Saat di depan mejanya, Mr. Fox memandanginya cukup lama, hingga dia tersadar dan berpaling, kemudian memberikan lembaran kertasnya. Pria itu sedikit berbeda saat dalam mimpi Mia. Di mimpinya Mr. Fox terlihat lebih berantakan. Dengan celana jeans, kaus berwarna yang pudar, dan sepatu sneakers, membuatnya terlihat lebih muda. Sedangkan sekarang dengan kacamata, kemeja biru, dan celana hitam bahannya, pria itu terlihat lebih dewasa. Pelajaran berakhir dihabiskan dengan pembagian kertas soal dan perkenalan yang dilakukan gurunya. Para gadis-gadis melontarkan banyak pertanyaan yang tidak perlu dan membuat para pria dalam kelas menggeleng-geleng. Mr. Fox juga sudah menjelaskan apa yang harus mereka kerjakan dengan kertas yang dia berikan. “Aku ingin tugas ini selesai minggu depan. Karena ini pelajaran tahun kemarin, aku yakin kalian pasti bisa mengerjakannya hanya dalam waktu satu minggu,” jelas Mr. Fox. Bel[H1]  berbunyi saat dia menyudahi kalimatnya sambil membuka pintu kelas, dan semua anak berhamburan keluar. Mia memasukkan bukunya ke dalam tas dengan cara yang dilambat-lambatkan. Dia ingin keluar terakhir. Sahabatnya Hannah telah meninggalkan kelas terlebih dahulu karena ingin ke toilet, walaupun sebenarnya dia sangat ingin berlama-lama di kelas. Saat semuanya telah pergi, Mia berjalan ke pintu dan menatap guru barunya itu. Dia ingin mengakatakan bahwa dia pernah melihatnya dalam mimpi. Tapi tentu saja itu akan membuatnya sangat aneh. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Akhirnya hanya pertanyaan itu yang terlontar dari Mia. Mr. Fox menatapnya sambil tersenyum kecil, senyuman yang akan membuat gadis mana pun tidak akan berpaling darinya. “Aku rasa tidak,” jawab Mr. Fox. Mata birunya seakan membawa Mia ke lautan lepas yang menenteramkan. Sedangkan rambut cokelatnya mengingatkan Mia akan musim gugur beserta udara hangatnya. Mia hanya memandanginya sekilas dan langsung berjalan keluar. Dia merasa bodoh telah menanyakan hal itu pada seseorang yang memiliki banyak penggemar. Seolah-olah dia juga memuja pria itu, walaupun sebenarnya iya, tapi dia tidak akan pernah jatuh cinta pada seseorang yang populer seperti Mr. Fox. Terlalu beresiko untuk berhubungan dengan pria semacam dia. “Hei, masih memikirkan Mr. Fox? Dia tampan, ‘kan?” Hannah menyambar lengan sahabatnya dari belakang. “Apanya yang tampan, dia lebih terlihat seperti seseorang yang hanya mengencani gadis-gadis populer kemudian meninggalkan mereka.” Mia melepaskan lengannya dari sahabatnya itu. Dan berjalan beberapa langkah di depannya. “Maksudmu, dia menawan?” Hannah menyandarkan tubuhnya di samping Mia yang sedang membuka lokernya. “Maksudku dia berengsek, Hannah.” Mia memutar bola matanya lagi. Sahabatnya itu suka menggodanya jika masalah laki-laki. Pasalnya, Hannah yang sudah berkali-kali pacaran saja, tidak akan tahan menatap Mr. Fox, apalagi Mia yang baru sekali, atau malah bisa dibilang itu bukan pacaran. Saat itu di sekolah lamanya, ada pria paling populer, Zack, mengajaknya berkencan. Mia mengiyakan hanya karena pria itu tampan. Kencannya berjalan lancar, dan Mia seolah menjadi ratu sekolah karena telah mengencani pria idaman semua orang. Malam berikutnya, Zack mengajaknya berhubungan intim dan tentu saja Mia menolaknya. Dia tidak ingin melakukannya sebelum menikah. Tapi Zack memaksanya hingga mereka bertengkar hebat. Zack mengamuk dan memukul Mia dengan sebuah bat[1]. Untungnya dia telah menelepon polisi dan mereka datang saat Mia hampir sekarat. Mia mengalami memar di sekujur tubuhnya, namun sayangnya Zack tidak di penjara karena masih di bawah umur. Sejak saat itu, Mia tidak pernah berpacaran lagi, bahkan saat dia melihat pria semacam Zack, bulu romanya merinding dan mengingatkannya akan luka lamanya. Karena itu Mia tidak ingin menonjol di sekolahnya yang sekarang. “Aku ada kelas sejarah dunia sekarang, sampai jumpa makan siang nanti.” Hannah melambaikan tangannya pada Mia, dan meninggalkan sahabatnya itu di lorong. [1]     Tongkat pemukul dalam olahraga bisbol.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD