Petaka Malam Tahun Baru
Bab 3 : Hamil
Kupukuli perut yang kini telah tumbuh janin yang entah benih siapa. Kupikir, setelah ini aku akan bisa melanjutkan kehidupan meski menjadi bahan gunjingan selama sebulan ini, nyatanya ... kepahitan hidup ini akan terus berlanjut. Ya Tuhan, apa yang akan kulakukan sekarang?
Segera kukemasi barang-barang, hari ini juga, aku akan pindah tempat kost. Tak ada yang boleh tahu tentang kehamilan ini, cukup kasus pelecehan itu saja yang tersebar luas. Aku tetap harus lanjut kuliah, janin ini harus bisa kugugurkan. Harus! Aku harus bisa menjadi pengacara dan mempenjarakan para pelaku itu. Aku harus bisa membela kaum wanita yang teraniaya, seperti diriku yang sekarang. Aku tak mau ada Rivana yang lainnya, cukup aku saja yang menjadi b***k cinta hingga akhirnya terpuruk seperti sekarang.
Tak ada yang tahu tentang kepergianku, bahkan Ibu kost sekali pun. Kamar kost ini sudah kubayar setahun dimuka, jadi tak jadi masalah kapan pun aku mau pergi. Dan uang Bastian juga yang telah membayarnya, dia begitu banyak andil dalam kehidupanku. Dari tempat kost, pakaian, hingga kebutuhan sehari-hari, dia yang membiayai semuanya. Kesucianku sudah ia renggut, mungkin itu bayaran yang sudah pantas, jadi aku tak ada hutang lagi dengannya.
Saldo di ATMku juga masih 20juta, itu juga pemberiannya setiap bulan yang kutabung hingga bisa terkumpul sebanyak itu. Untung saja, uang yang ditransfer Bastian juga Ibu setiap bulan masih kutabung di atm, jadi dapat kugunakan di saat mendesak begini. Bastian, untuk saat ini, akan kubiarkan dulu kamu bernapas dengan tenang, tunggu saja saatnya nanti, dendam ini tetap akan kubalaskan kepadamu.
****
Hari terus berlalu, janin ini tak kunjung gugur juga walau sudah kuminumi pil penggugur kandungan sekali pun. Aku juga sudah pernah ke dukun beranak dan meminum ramuan darinya, tapi semuanya gagal. Entah apa rencana Tuhan? Aku hampir lelah menjalani semua ini.
Beberapa kali, sempat terpikir untuk mengakhiri saja kehidupan ini tapi saat belati sudah siap kupotongkan ke pergelangan tangan,wajah letih Ibu mulai terbayang di kepala dan acara bunuh diriku selalu gagal.
Kini usia kandunganku sudah menginjak lima bulan dan masih belum ada yang tahu tentang kehamilan ini. Setiap pergi ke kampus, perut yang sudah terlihat membuncit ini selalu kulilit dengan korset agar mengempes.
Di kampus, aku masih selalu sendiri dan tak mau membaur dengan teman-temanku yang dulu. Apalagi di kost, aku tak pernah keluar rumah selain hanya untuk berangkat kuliah. Aku benar-benar menutup diri dan tak ingin ada yang tahu tentang semua yang kusembunyikan sekarang.
Walau masih banyak yang mengucilkan korban pelecehan sepertiku, tapi semangat untuk bisa menyelesaikan study secepatnya membuat nilai-nilai yang kudapat selalu bagus. Aku yang dulu malas belajar dan hanya memikirkan cinta, kini sudah tidak lagi. Aku harus bisa menjadi lebih baik lagi.
Ternyata, fokus kepada kuliah dan tak memikirkan urusan pacaran sangat berpengaruh kepada nilai mata kuliah. Aku sudah merasakannya sekarang dan menyesali kebodohanku dahulu, yang hanya memuja cinta namun akhirnya berujung pelecehan yang kudapat.
****
Usia kandungan yang sudah lumayan besar, membuatku semakin sulit untuk menyembunyikannya saat berangkat ke kampus. Setelah memakai korset, jaket selalu kukenakan agar perut buncit ini tak terlihat. Walau terkadang, aku sampai kesulitan bernapas karena kencangnya korset yang melilit perut ini.
Pulang dari kampus, taxi yang kutumpangi malah mogok di pinggir jalan, aku kesorean pulang karena keasyikan membaca di perpustakaan. Mahasiswi jurusan hukum itu harus banyak membaca dan berwawasan luas, aku juga harus bisa menghapal semua pasal juga undang-undang sambil mencari buku referensi untuk bahan skripsi.
“Maaf, Non, naik ojek aja deh, ya! Kayaknya nih taxi kagak mau hidup, kasian Non nya sedang hamil pula,” ujar sang sopir taxi.
Aku terkejut mendengar ucapannya yang ternyata mengetahui keadaanku sekarang yang sedang berbadan dua.
“Eh, Bapak tahu dari mana kalau saya sedang hamil?” tanyaku kaget campur penasaran.
“Dari bentuk tubuh Nona saya tahu kok. Nah, itu ada tukang ojek,” jawabnya sambil melambaikan tangan kepada tukang ojek yang lewat.
Aku tak tahu harus berkata apalagi, mau menyangkal juga tak ada gunanya. Kuulurkan uang kepadanya karena ia telah mengantarku setengah jalan.
“Nggak usah bayar, Non, buat bayar ongkos ojek saja,” jawab sang sopir yang usianya mungkin sebaya dengan ayahku di kampung.
“Ya sudah, terima kasih, Pak,” ujarku sambil bersiap naik ke motor tukang ojek.
Motor ojek melaju perlahan karena sang sopir berpesan kepadanya agar tak mengebut sebab penumpangnya ini adalah seorang ibu hamil. Aku malas protes, sebab dia juga takkan kenal denganku karena wajahku selalu mengenakan masker jika ke mana-mana, kacamata juga tak lepas lagi walau mataku tak menderita rabun, headset juga tak lepas dari telinga ini juga agar aku tak mendengar gibahan orang-orang tentangku yang aneh ini.
Eh, aku seperti melihat Bastian dengan mobil sport terbukanya. Ia sedang bersama seorang wanita yang kini sedang menuju ke sebuah rumah.
“Bang, berhenti dulu!” perintahku sambil menepuk pundak si abang tulang ojek.
“Siap, Nona!” jawabnya sambil menghentikan motornya. “Ini rumahnya, Non?”
“Bukan, saya cuma mau lihat si pengendara mobil merah itu saja,” jawabku sambil mendekat ke pagar rumah.
Kutautkan alis sambil mengamati rumah mewah itu, mungkin ini rumah Bastian juga, yang kutahu rumahnya bukan yang ini waktu kami masih pacaran dulu sebab kedua orangtuanya memang tak tinggal di indonesia tapi selalu memberinya banyak uang sebab keluarga punya beberapa cabang perusahaan di sini juga. Begitu yang kutahu dari Bastian.
Besok akan kucari tahu lagi tentang kehidupan Bastian yang ternyata masih bisa bernapas tenang setelah meninggalkanku tanpa busana di pantai waktu itu setelah memperlakukanku dengan brutal.
Aku kembali naik ke motor tukang ojek dan menyebutkan alamatku yang memang sangat jauh dari kampus, butuh waktu satu jam sebab aku memang mencari tempat kost yang tak ada orang mengenaliku di sana agar tak ada yang tahu jika aku membuang bayi ini nanti, jika dia sudah kulahirkan.
***
Beberapa hari berlalu sejak aku melihat Bastian. Aku sudah melakukan penyelidikan dan ternyata itu memang rumahnya yang baru ia beli beberapa bulan yang lalu. Ia juga pindah kampus demi menghindari diriku yang diduganya melaporkan dirinya ke Polisi dan hebatnya, ia juga ganti nama menjadi Davit. Oh, aku sungguh tak menyangka akalnya sebulus ini. oke, lanjutkan saja. Pembalasan untukmu juga sedang otw.
Bersambung ....