Pucat masih menghiasi wajah Sena saat ini, ia berjalan dengan langkah gontai ke arah gedung apartemen tempat di mana ia tinggal. Alex yang baru saja keluar dari gedung tersebut mendapati Sena dengan langkah yang terlihat lemas itu.
"Sena!" panggil Alex yang berlari kecil ke arah Kekasihnya itu. Tentu saja hal ini membuat Sena tampak gugup, ia berpura-pura terlihat sehat, namun apa daya perutnya masih sangatlah sakit.
"K-kamu ngapain di sini?" tanya Sena yang berusaha terlihat baik-baik saja. Alex hanya bisa menghela nafasnya kasar, kurang lebih dua jam ia mencari Sena dan menghubungi orang terdekatnya, tapi tidak ada yang tahu keberadaan Sena, namun saat ia sudah pasrah, Sena malah dengan santai bertanya seperti itu.
"Aku, ngapain di sini? Menurut kamu ngapain aku di sini?" tanya Alex dengan nada kesal. Sena tidak menjawab pertanyaan Alex, ia hanya tersenyum lemah kemudian berjalan memasuki gedung itu yang diikuti oleh Alex dari belakang.
"Sena, muka kamu pucet, kamu gapapa?" tanya Alex mulai curiga apa yang sedang terjadi dengan kekasihnya itu. Sena hanya menggeleng sambil mempercepat langkahnya.
Namun sepertinya Sena terlalu cepat melangkah hingga membuat perutnya kembali sakit.
"Aduh!" Pekik Sena dengan kedua tangan berada diperutnya. Alex yang sedari tadi menguntit Sena dari belakang pun berlari kecl menghampiri perempuan tersebut dan menolongnya.
"Ayo kita ke rumah sakit, aku takut kamu kenapa-napa," ucap Alex dengan tegas, ia hendak membawa Sena ke rumah sakit dengan taksi, namun perempuan itu menghempaskan kedua tangan Alex yang hendak membantunya itu.
"Aku gak kenapa-napa, Lex. Aku cuma butuh istirahat," kata Sena berusaha menutupi semua yang sedang terjadi saat ini. Ia yakin bisa menghadapi semua sendirian tanpa bantuan dari Alex, selama ini ia selalu membebani Alex. Namun kali ini ia tidak ingin Alex terbebani dengan apa yang sudah ia lakukan.
Kesalahannya adalah miliknya, Sena tidak ingin karena kesalahannya ia malah menjadi beban untuk orang sekitarnya, terutama kekasihnya, Alexander.
Alexander tampak mengamati Sena dengan jeli, ia merasa ada yang aneh dengan Sena saat ini. Seperti sedang menahan sakit diperutnya.
"Janin kamu baik-baik saja kan? Kita harus ke dokter, aku takut janin kamu kenapa-kenapa," ujar Alex dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia mencoba membujuk Sena untuk memeriksa kandungannyake dokter.
Sena menatap wajah Alex dengan intens. Matanya mencoba mencari celah kemunafikan dimata Alex, namun tidak ia temui yang ia temui hanyalah sebuah ketulusan seperti saat pertama kali pemuda itu menyatakan cintanya dan membantu apa saja yang Sena butuhkan.
Sena memegangi tangan Alex dengan lembut, ia tidak bermaksud menyakiti hati Alex, namun dengan tidak sengaja dendamnya bukan hanya menyakiti dirinya, tapi juga orang lain seperti Alex saat ini yang menjadi korban.
"Lex, kamu tahu kan aku bukan dari keluarga yang orang tuanya utuh, papaku kabur dengan wanita lain, sementara mama meninggal karena stress memikirkan papa sepanjang hari, aku sering melihat mama nangis di kamar meliihat foto orang yang ia cintai yang udah gak peduli lagi. Dan tentu saja aku sebagai seorang anak yang menyaksikan itu sangatlah tersakiti..." ucapan Sena terjeda ia kembali tersenyum samar pada Alex dengan tulus.
"Tolong lepaskan aku, aku gak mau kamu jadi korban karena dendamku dengan pria. Kamu bisa mencari wanita yang lebih baik yang berasal dari keluarga yang harmonis, yang bisa setia sama kamu. Mulai sekarang kita putus ya, maaf sudah banyak merepotkan kamu selama ini." Kalimat itu sekaligus menutup perjumpaan Sena dengan Alex sore itu. Alex masih syok dengan apa yang dikatakan oleh Sena.
"Sena, Sena!" teriak Alex yang berlari kecil ke arah Sena, namun wanita itu telah menghilang dengan lift yang ia naiki.
Rasa hancur tentu saja membuat dirinya semakin frustasi.
"Arrghh! Ada apa sih ini? Kenapa semua yang udah aku bangun jadi seperti ini semua? Apa salahku Tuhan?" tanya Alex menatap langit-langit gedung itu, air matanya ia tahan agar tidak keluar begitu saja.
Beberapa orang menatap Alex terheran-heran berada di depan lift, namun tidak masuk ke dalam sana.
"Maaf, Mister. Mau naik lift atau gak ya? Tolong jangan menghalangi jalan," ujar wanita paruh baya tersebut dengan wajah kesal. Alex meminta maaf atas ketidaknyamanan tersebut, sepertinya otak Alex sudah tidak bisa berpikir jernih lagi karena masalahnyaa dengan Sena yang belum terselesaikan.
Alex pun memilih untuk pulang saja dari pada menganggu Sena, ia paham bahwa mereka butuh waktu untuk sembuh dari luka.
Tring!
Suara pesan masuk dari ponsel Alex membuat pemuda itu menyeka airmatanya, ia menatap layar tersebut dengan wajah lelah, belum selesai masalah satu, masalah lain berdatangan, sungguh sesuatu yang membingungkan.
Alex cepat-cepat ke alamat yang baru saja dikirimkan oleh seseorang yang nomornya tidak pemuda itu simpan.
Sekitar tiga puluh menit, akhirnya taksi yang ditumpangi oleh Alex berhenti disebuah rumah terpencil di Jakarta, tanah yang mengelilingi rumah tersebut cukup terbilang luas, hanya ada satu rumah yang berada di tanah tersebut.
"Maaf Pak, ini benar emang alamat yang tadi saya kasih?" tanya Alex yang masih terlihat bingung. Supir taksi itu mengangguk membenarkan, ia tahu betul lokasi ini karena sering melewati area tersebut.
"Benar Pak, saya sering lewat sini. Beberapa kali juga ada yang meminta mengantarkan ke sini jadi tidak mungkin salah," jelas supir taksi tersebut dengan yakin.
"Baiklah kalau begitu, Pak. Terima kasih ya. Kembaliannya ambil saja," ucap Alex sambil menyodorkan dua lembar uang seratusan.
Alex pun turun dari taksi sambil melihat sekeliling. Ia melangkahkan kakinya dengan pelan sambil masih melihat sekeliling dengan waspada, pasalnya di tempat itu sangatlah sepi dan jauh dari tetangga.
"Cari siapa ya, Mas?" tanya seseorang yang berada di belakang Alex. Alex sedikit terkejut, untung saja ia tidak mengeluarkan sumpah serapah ketika ia terkejut tadi.
Terlihat nenek-nenek tua yang memakai baju kebaya dengan postur tubuh yang sedikit bungkuk menghampiri Alex.
"Ah, anu Nek. Apa benar di sini rumah Mbah Momo?" tanya Alex dengan sedikit ragu. Wanita tua itu mengagguk ramah sambil tersenyum.
"Iya benar itu saya sendiri, mari masuk," ajak Mbah Momo mempersilakan Alex untuk memasuki rumahnya yang sudah lumayan dekat itu.
Alex hanya mengangguk kemudian menguntit Mbah Momo dari belakang. Ia masih tidak yakin Sena ke tempat seperti ini untuk apa? Dalam hati ia terus bertanya mengapa Sena repot-repot ke rumah seperti ini.
Sesampainya di teras gubuk Mbah Momo, Alex dipersilakan duduk sementara Mbah Momo membuatkan teh hangat untuk tamunya tersebut.
Mata Alex terus was-was, dari gubuk tersebut tercium bau amis darah. Gubuk yang sebenarnya terbilang tidak layak huni ini membuat Alex sedikit risih.
Wajah Alex seketika panik ketika ada seorang wanita yang datang memanggil nama Mbah Momo dengan lantang.