Hoss.. Hoss.
Nafas Sena tersengal-sengal, untuk kesekian kali ia bermimpi tentang masa lalunya di Australia. Bayangan wanita jalang yang merebut papanya itu terus menghantui Sena yang kini sudah berusia dua puluh tiga tahun.
“Aku kangen papa, aku kangen mama, aku kangen keluarga kita,” kata Sena di tengah malam yang sangat sunyi itu. Sena menatap jam dinding yang tepat berada di atas pintu.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, sewaktu semuanya tidur, Sena setiap jam dua harus bangun karena mimpi buruknya.
Suara sesegukan semakin memenuhi ruangan tersebut, sekarang Sena sedang berada di apartemennya yang berada di lantai sembilan. Sena melangkah menuju jendela, dengan pelan ia menyingkirkan gorden yang sedari tadi menutupi pemandangan kota Jakarta.
Suasana di Jakarta masih terlihat ramai lancar walaupun sudah pukul dua dini hari. Pemandangan tersebut membuat Sena tenggelam dalam dendamnya lagi, sudah bertahun-tahun ia mencari sang papa di Indonesia sampai rela menjadi Warga negara Indonesia, namun hal itu terasa sia-sia.
Tidak ada satu pun petunjuk di mana papanya berada.
“Aku gak akan nyerah gitu aja, aku akan balaskan dendam mama dan sakit hati aku selama bertahun-tahun,” ucap Sena dengan tatapan lurus menatap jalanan yang masih sedikit ramai.
Dulu Hermelina tidak suka dengan anak yang menyimpan dendam, setiap kali Sena iri dengan teman-temannya yang dijemput papanya, Sena akan mendapatkan teguran dari Hermelina.
“Orang dendam gak akan bawa keuntungan yang ada kerugian, Sena ga boleh iri sama teman-teman. Papa Sena juga sayang kok sama Sena, cuma ada sesuatu hal yang gak akan Sena tahu sebelum Sena dewasa,” jelas Hermelina sambil mengelus pipi mungil Sena kecil.
Sena mengusap wajahnya kasar, semakin diingat semakin ia dendam dengan Siska. Sena melangkah ygontai menuju tempat tidurnya untuk kembali beristirahat. Tubuhnya lelah dengan segala pikirannya, apalagi sekarang ia harus bekerja mencari sesuap nasi dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Warisan Hermelina di Australia memang cukup untuk menghidupi dirinya sendiri, namun tetap saja Sena tidak ingin bergantung dengan warisan tersebut.
Gadis itu memejamkan matanya mencoba tidur, besok ia harus bekerja lagi di kantor Pak Richard yang sangat menyebalkan itu. Beberapa menit kemudian kantuk pun menyerang dirinya, Sena pun sudah tertidur lelap di bawah bed covernya yang tebal berwarna biru tersebut.
‹‹‹
Kring... Kring
Suara telepon mengusik tidur Sena yang sangat nyenyak itu, wanita itu pun mengangkat telepon tersebut yang berada di ruang tamu dengan langkah gontai sambil mengusap matanya.
“Ya, halo?” jawab Sena masih dengan mata yang terkantuk-kantuk.
“INI SUDAH JAM BERAPA, SENA?? KAMU TIDAK INGAT JAM SEBELAS NANTI ADA MEETING?” teriak suara dari telepon tersebut terdengar menggelegar. Mata Sena yang sedari tadi masih merem pun tiba-tiba jadi lebih segar setelah mendengar suara teriakan dari telepon tersebut.
“Pak Richard? Bapak ngapain telepon saya subuh-subuh gini?” tanya Sena masih tidak sadar bahwa hari sudah sangat siang. Pertanyaan Sena membuat Pak Richard naik pitam, pasalnya ini sudah setengah sepuluh dan Sena belum berada di kantor, berkas-berkas untuk meeting ada di Sena.
“Bisa-bisanya kamu nanya ngapain saya telepon? Ini sudah siang Sena!! Subuh gimana?” tanya Pak Richard yang sebal dengan tingkah Sena.
Sena tidak langsung menjawab, ia menatap jam dinding yang terdapat di dekat pintu. Benar saja, ini sudah setengah sepuluh yang artinya ia terlambat dua jam sejak jam masuk kantor tadi.
Perempuan itu cepat-cepat memutuskan sambungan tersebut sebelum Pak Richard berteriak lagi di telinganya. Ia tidak mau masih muda tetapi sudah tuli karena teriakan Pak Richard.
Sena berlari ke kamar mandi untuk mandi koboy saja, hari ini ia tidak bisa lama-lama memanjakan dirinya di kamar mandi seperti biasa. Hanya butuh waktu lima menit untuk Sena bersiap-siap, ia lupa kalau hari ini ada meeting dengan investor terbesar yang akan menguntungkan perusahaan.
Nafasnya memburu mengejar lift yang sebentar lagi akan tertutup, orang-orang yang berada di lift tersebut menatap Sena dengan bingung. Ketika sudah mencapai lantai dasar, perempuan itu berlari secepat mungkin memberhentikan taksi yang kebetulan berada di depan apartemen tersebut.
Sena menghela nafas kasar, ia yakin make up-nya sudah luntur sedari tadi. Baru saja ia akan menambah make up, ponselnya kembali berdering membuat Sena terkejut.
“Ya, halo pak?? Ini saya lagi di jalan!” kata Sena sedikit kesal. Terdengar Pak Richard tertawa pelan, ia tahu pasti Sena hari ini sedang kelabakan. “Sorry, Sena. Ternyata investornya undurin jadwalnya, dia ada urusan mendadak,” kata Pak Richard dengan santainya. Bahkan bosnya itu enggan meminta maaf karena sudah membentak Sena. Sena yang mendengar itu tampak mengepalkan tangan kirinya, Pak Richard itu memang menyebalkan.
Sena tidak menjawabnya, ia langsung memutus sambungan tersebut dengan cepat. “Dasar bos gak waras!” celetuk Sena di dalam taksi. “Pak, puter balik aja, ke Sarinah ya!” kata Sena yang memutuskan untuk ke pusat perbelanjaan saja Untuk bertemu Alexander yang kebetulan baru datang dari Australia hari ini dari pada ke kantor Pak Richard.
“Baik mbak,” ucap sang sopir taksi sambil sibuk memutar balik mobilnya tersebut.
Tidak butuh waktu yang lama, taksi itu akhirnya sampai juga di Sarinah. Sena membayar taksi itu beserta tip. Setelah itu Sena menuju gedung tersebut, hari ini ia juga berjanji pada Alexander yang sedang berkunjung ke Indonesia demi bertemu dengan Sena.
“Halo, Lex kamu dimana?” tanya Sena sambil memasuki gedung itu.
“Aku lagi di foodcourt, tapi aku mau keluar nih kamu tunggu aja di luar dulu ga usah masuk,” kata Alexander kemudian menutup telepon tersebut. Sena menaikkan alisnya yang bingung karena tingkah aneh Alex. Sena pun hanya bisa menuruti saja perintah Alex, ia menunggu pria itu di depan mall tersebut kemudian duduk asal di depan mall seperti orang bule miskin yang sedang mengemis.
Sementara itu Alexander yang melihat sesuatu di area foudcourt pun masih tak percaya dengan penglihatannya tersebut. Ia mengambil ponselnya yang berada di saku untuk mengambil gambar orang yang mengusik penglihatannya itu, tindakan Alex memang salah karena mengambil gambar orang lain secara diam-diam, tapi untuk sekali ini saja Alex ingin bermanfaat bagi Sena.
Setelah mengambil gambar orang tersebut, Alexander cepat-cepat pergi bergegas pergi karena ia yakin pasti Sena akan sebal jika ia terlambat dan membuatnya menunggu lama.
Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit bagi Alex untuk bertemu dengan Sena. Dari kejauhan Alex tampak tersenyum melihat Sena dari belakang, Ia sangat rindu dengan perempuan itu.
“Halo, Bee,” sapa Alex dengan ramah, ia memeluk Sena yang sudah lama tak ia temui. Perempuan itu tersenyum kemudian membalas pelukan Alex.
“Ada kabar baik sekaligus sedih, mau yang mana dulu?” tanya Alex membuat pilihan untuk Sena.