Jatuh cinta sendirian benar-benar tidak menyenangkan. Selain itu, hanya akan menyisakan luka untuk diri sendiri.”
-Amerald-
***
Pria itu duduk di dalam sebuah ferrari berwarna merah. Sementara kedua matanya yang tajam, menatap lurus pada pemandangan seorang gadis berambut panjang yang tengah membawa bunga-bunga ke dalam sebuah kafe. Sudah sekitar lima menit dia di sana, duduk diam, dan sesekali sebuah senyuman miring muncul dari wajah tampannya.
“Anda sungguh jatuh cinta pada gadis itu?”
Sebuah suara menginterupsi kegiatan lelaki tersebut, sehingga membuatnya berdecak kecil. “Bisakah kau bertanya di waktu yang tepat, Ame?” dengkusnya jengkel. Menoleh singkat ke sisi kirinya di mana seorang wanita yang sepertinya berumur beberapa tahun lebih muda darinya—duduk dengan malas.
Wanita itu berwajah cantik. Memiliki postur yang tinggi dan kekar berkat olahraga berat yang sering dia lakukan. Rambutnya berwarna pirang lurus sepunggung. Dengan kulit cerah yang terlihat terawat meski pekerjaan utamanya di lapangan. Mata dengan warna amber bertatapan tajam yang sering kali mengintimidasi lawan bicara tampak menatap malas pada lelaki di sisinya.
“Saya hanya muak dengan sikap Anda yang terus memata-matai gadis itu dari jauh. Padahal Anda tinggal mendekati gadis itu, datang padanya, dan katakan bahwa Anda jatuh cinta. Ajak menikah saja sekalian. Jika gadis itu menolak, oh, sialan! Berarti matanya buta.”
Laki-laki berjaket hitam itu menoleh. “Haruskah begitu?” tanyanya. Kemudian kembali memusatkan atensi pada gadis yang saat ini tengah membersihkan kaca. Sampai akhirnya helaan napas keras Ame membuatnya ikut menghela napas juga.
“Apa yang Anda takutkan?” Ame tanya.
“Banyak,” lelaki itu membalas dengan senyuman sendu.
“Di antaranya?”
“Saya b******k. Tidak layak. Saya pernah menghancurkan hidupnya. Dan setiap hari, saya selalu berada di antara pertarungan hidup dan mati.”
“Lalu sampai kapan? Sampai kapan Anda akan menyiksa diri Anda sendiri dengan mencintainya dalam diam? Saya tahu, bertahan dalam posisi itu sangatlah sulit dan sakit. Saya pernah ada di posisi yang sama.”
Sesaat, permata kelam Ame berubah kosong. Dan lelaki itu tahu tanpa Ame harus berbicara secara gamblang soal masalahnya.
“Haruskah saya mulai mendekatinya?”
“Tentu. Kau harus, Kapten. Jatuh cinta sendirian benar-benar tidak menyenangkan. Selain itu, hanya akan menyisakan luka untuk diri sendiri.”
***