"astaga keponakan-keponakan aku kenapa tampan sekali." ucap Aura kagum melihat keponakannya gagah dalam balutan jas.
hari ini adalah hari pernikahan Dafi dan Linsay. Daren terlihat tampan seperti biasanya dalam balutan jas berwarna hitam. sedangkan Dafi juga tidak kalah tampan dalam balutan jas berwarna putih senada dengan gaun mempelai wanita.
Pernikahan yang digelar di sisi pantai dengan dihiasi oleh bunga mawar putih menjadi pilihan konsep pernikahannya. sebuah impian Linsay sejak dulu bisa menikah dengan konsep suasana pantai yang indah.
"Hei! kenapa wajah kamu murung begitu?" tanya Aura sambil merapikan dasi Daren.
"tidak apa-apa, aku hanya sedikit lelah." jawab Daren berusaha menarik sudut bibirnya.
Krisna yang berada di sampingnya hanya memandang iba pada keponakannya itu, dia sangat tahu apa yang sekarang keponakannya rasakan.
"apa kamu sakit?" tanya Aura sambil menempelkan punggung tangannya ke dahi Daren. tidak lama terdengar helaan napas lega karena suhu tubuh Daren normal.
"tante masih belum percaya sebentar lagi Dafi akan menjadi seorang suami." ucap Aura tersenyum bahagia. Rasanya baru kemarin keponakannya itu
merengek meminta dibelikan mobil-mobilan, waktu sangat cepat berlalu.
"kamu kapan mengenalkan pacar kamu pada tante?" ucap Aura sambil melirik Daren yang lagi-lagi terlihat melamun.
"Daren." panggil tantenya sambil menyentuh lengan kekar Daren.
Daren langsung saja menoleh ketika merasakan lengannya tersentuh dan dia langsung bisa melihat raut wajah kesal tantenya.
"hei!" kamu ini sebenarnya kenapa sih?" tanya Aura dengan gemas.
Daren menurutnya benar-benar bersikap aneh hari ini.
"sudahlah sayang, mungkin Daren kelelahan. Kamu tahu sendiri bagaimana sibuknya dia." ucap Krisna pada istrinya.
Aura mengangguk mengerti.
"aku ke sana dulu ya, mas." pamit Aura pada suaminya untuk menyambut para tamu yang mulai berdatangan.
"ini belum terlambat, kamu masih bisa menggagalkannya." ucap Krisna pada Daren, sambil menatap tempat yang akan menjadi upacara pernikahan Dafi keponakannya itu berlangsung.
"aku tidak akan melakukan itu." balas Daren tanpa menoleh ke arah Krisna.
"dasar bodoh." ucap Krisna mencibir.
Daren hanya menarik sudut bibirnya, bagaimana mungkin dia tega menghancurkan upacara pernikahan saudaranya sendiri? pria itu melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana bahagianya Dafi bisa menikahi Linsay, perawat cantik yang sering merawatnya di rumah sakit.
"Hari ini makan apa, ya?" ucap Jaira sambil berpikir yang hanya duduk termenung.
"malang sekali nasib aku sekarang, untuk makan saja harus berpikir dulu." ucap Jaira menggerutu sambil jari jemari lentiknya mengetuk-ngetuk meja makan.
Tok tok tok!
Jaira mendengkus, siapa yang bertamu sepagi ini?
"Jaira, ini aku." teriak seseorang dari luar.
dengan langkah gontai, Jaira menuju pintu utama untuk membukakan pintu. saat pintu di buka mata Jaira berbinar melihat seseorang yang di kenalnya memberikan sebuah bingkisan yang dia yakini adalah makanan.
"belum makan, kan?" tebak Ares nyengir memperlihatkan barisan gigi putihnya.
Jaira langsung mengambil bingkisan itu dan menarik Ares untuk masuk ke dalam. Pria itu hanya tersenyum kecil, bahkan hanya sentuhan sederhana dari wanita itu bisa membuat jantungnya berdebar.
"kamu tidak makan?" tanya Jaira sambil memakan bakmie yang dibawa Ares dengan lahap.
Ares memperhatikan bagaimana lahapnya Jaira makan. terkadang dia bingung Jaira bisa menghabiskan makanan untuk porsi pria dewasa, tapi berat badannya tidak pernah bertambah.
"melihat kamu makan sudah membuat aku kenyang." ucap Ares jujur.
Jaira mendongak sambil terus memasukkan bakmie ke dalam mulut kecilnya.
"apa ini boleh aku makan?" tanya Jaira menunjuk bakmie bagian Ares yang belum pria itu sentuh.
Ares tersenyum sambil mendorong mangkok bakmie miliknya agar Jaira dapat mengambil dengan mudah.
"terima kasih, Ares." Jaira memberikan senyuman manisnya membuat Ares kelabakan mengontrol detak jantungnya yang seakan ingin meloncat dari tempatnya.
Setelah upacara pernikahan Dafi dan Linsay selesai, Daren langsung pamit pulang dengan alasan tidak enak badan.
awalnya Aura melarangnya pulang ke apartemen dan memintanya untuk kembali tinggal di rumah. apalagi sekarang Dafi sudah menikah yang artinya hanya Maminyalah yang tinggal di rumah besar itu.
namun, karena sifat keras kepala Daren dan sedikit bantuan dari Krisna akhirnya dia bisa kembali pulang ke apartemennya.
kini Daren sudah berada di apartemennya dengan sebuah laptop di depan, tangannya begitu lihai menekan tombol-tombol keyboard. matanya fokus memeriksa laporan keuangan perusahaan dengan harapan bisa melupakan wanita yang kini berganti status menjadi kakak iparnya.
namun, tanpa diminta memori itu lagi-lagi datang dan membuatnya tidak bisa fokus bekerja.
Dreett.. Dreett..
ponsel di saku jasnya bergetar tanda ada panggilan masuk. tertulis nama my brother di sana.
Daren menghela napasnya sebelum bergeser icon berwarna hijau yang bergerak-gerak.
"halo." ucap Daren sebiasa mungkin.
"Dek, sudah sampai?" sapa orang yang ada di seberang sana.
"hmm." ucap Daren, jika boleh jujur ingin sekali dia membanting ponselnya sekarang juga agar kakaknya berhenti berbicara.
"syukurlah, sekarang aku sedang di perjalanan menuju rumah baru yang akan kami tempati." ucap Dafi bercerita tanpa ditanya.
Daren hanya diam tidak memberi respon apa-apa, yang jelas hatinya sekarang ini seperti di tusuk oleh ribuan belati, sakit sekali.
"dek, kamu masih di sana kan?" tanya Dafi, karena dari tadi adiknya itu tidak bersuara.
"ah iya, sorry kak." ucap Daren dengan suara yang sedikit parau dan itu membuat Dafi khawatir.
"kamu terdengar tidak baik-baik saja, apa perlu aku ke sana agar istri aku dapat memeriksa kamu." tanya Dafi lagi.
"iya, tunggu sebentar!" ucap Daren sedikit berteriak untuk mencari alasan agar Dafi mengakhiri telponnya.
"sorry, sepertinya ada tamu." ucap Daren mencari alasan agar Dafi mempercayainya.
paham dengan maksud adiknya, akhirnya Dafi mengakhiri obrolan mereka.
"ya sudah, aku cuma ingin mengabari itu saja. Jaga kesehatan aku tidak mau kamu sakit." ucap Dafi sebelum mengakhiri obrolan mereka.
Argh!
Daren membanting ponselnya ke lantai, tidak peduli ponselnya rusak atau hancur sekalipun. tiba-tiba saja kaki Daren terasa lemas, dia merosot ke bawah dengan lutut yang menjadi tumpuannya.
"kenapa? kenapa harus kamu?"
teriak Daren sambil meremas foto wanita yang sedang tersenyum manis ke arah kamera.