Alona bersenandung kecil seraya menyusun beberapa barang ke dalam koper besar yang sudah terisi setengah. Tangannya dengan cekatan memilah-milah mana barang yang akan dibawa dan mana yang akan ia tinggalkan.
Senyumnya mengembang saat tak sengaja matanya tertuju pada benda pipih yang menyerupai stik tergeletak di atas nakas, dan semakin sumringah ketika mengamati dua garis merah terpampang di sana.
Yeah, positif. Setelah sebulan lalu dirinya berjuang untuk mewujudkan impian, akhirnya kini kerja kerasnya hampir membuahkan hasil. Sedikit lagi, hanya tinggal menunggu waktu kurang lebih sembilan bulan lamanya maka semua akan sempurna.
One night stand, hamil, bersalin, lalu hidup berbahagia dengan anaknya yang lucu tanpa perlu bersusah payah menjalani ikatan pernikahan. Semudah itukah bagi Alona?
----
Entah sudah berapa kali sudut bibir itu terangkat saat mengamati layar persegi yang ada di genggaman. Hatinya tidak pernah sehangat ini ketika melihat senyuman seorang perempuan, tapi kali ini berbeda, seakan ada magnet besar yang menariknya ke dalam pusaran senyum menawan sang bidadari cantik.
"Mr. Watson, informasi yang anda inginkan." Seorang pria bertubuh tegap membungkuk hormat sebelum menyerahkan map coklat yang dibawanya. Ia segera berlalu setelah diberi isyarat tangan dari sang tuan yang menandakan untuk segera meninggalkan ruangan tersebut.
Mr. Watson bergerak dengan tenang membuka simpul dari map itu, matanya bergerak liar membaca setiap informasi yang tertera di kertas putih di sana. Sesekali sudut bibirnya kembali terangkat ketika membaca sederet kalimat yang mungkin sedikit menggelikan baginya.
"Hmm, Las Vegas,” gumamnya seraya mengangguk-angguk. "Menarik," tambahnya.
Pria itu segera menyimpan kertas-kertas itu lalu bangkit seraya merapikan setelan jas hitamnya.
"Siapkan jet pribadiku, Drew!" titahnya melalui udara.
---
"Alona, ini bukan mainan!" hardik gadis berambut cokelat itu dengan geram.
Melani Paramita, teman kantor sekaligus sahabat, tempat pembuangan semua keluh kesah kehidupan Alona.
"Siapa bilang ini mainan, Mel?" jawab Alona santai sembari menyantap roti bakarnya.
"Terus ini apa?" ucapnya berapi-api seraya melempar kasar tes pack di tangan.
Alona membersihkan bibir dengan tiss. "Itu memang impian gue, Mel."
"Gila!"
"Yes, I'm."
"Pikirin sekali lagi, Lon, lebih baik minta pertanggung jawaban dari Ayah biologisnya."
"No, guesudah janji itu cuma one night stand."
"Dan lebih memilih anak ini lahir tanpa ayah? Lalu melarikan diri?"
"Bukan melarikan diri, hanya menunggu keadaan membaik."
"Nggak akan ada yang membaik!" tukas Melani geram.
"Mel, please ...."
Gadis itu menghela napas panjang. "Lona, pernikahan itu nggak seburuk yang ada di imajinasi lo," ucapnya lembut.
"Imajinasi?" Alona membeo. "Ini bukan imajinasi, Mel, ini kisah nyata gue. Lo nggak akan tahu karena bukan lo yang ngerasain."
Melani terperangah mendengar ucapan sahabatnya. "Oh, gitu? Gue nggak tahu karena nggak ngerasain?" Alona membuang pandangan ketika melihat pandangan kecewa gadis di hadapannya.
"Oke, sekarang terserah lo." Melani berjalan keluar seraya membanting pintu apartemen Alona dengan keras. Wanita itu mengerang pelan mengetahui kekecewaan sahabatnya itu, tapi tidak ada jalan lain, ini sudah menjadi pilihannya, jalan hidupnya, dan ia tidak bisa mundur.
Sambil melangkah gontai, ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut apartemen, tempat yang sudah hampir tiga tahun ini ia tempati, dan sebentar lagi akan dikosongkannya. Keputusan Alona sudah bulat, dia akan memulai kehidupan baru, meski harus dengan berat hati meninggalkan ibu beserta kakak-kakaknya di Indonesia.
Uang hasilnya bekerja keras selama lima tahun ini rasanya lebih dari cukup untuk membiayai hidup sampai anak di dalam kandungannya ini lahir, setelah dirasa cukup ia akan kembali bekerja.
Yeah, semua akan berjalan baik.
---
Meski mata memandang ke arah awan biru, tapi nyatanya pikiran melayang jauh, bergerak cepat melebihi pergeseran awan, dengan lancangnya pikiran Alona kembali mengingat malam itu, senyum kecil terbit di bibir ketika menyadari ada kehidupan lain di dalam perutnya. Tangan wanita itu bergerak perlahan mengusap perut datarnya. Siapa pun dan di mana pun pria itu sekarang berada, ia ucapkan terima kasih.
Mulai detik ini semua akan berubah, Alona harus menjalani peran barunya sebagai seorang ibu, ibu yang baik bagi si jabang bayi di kandungannya. Sungguh, ia begitu tak sabar untuk mengamati setiap proses tumbuh kembang bayinya, Alona pasti akan menikmati setiap momen itu. Sekali lagi matanya menatap gumpalan awan yang terbelah oleh sayap besi seraya tersenyum.
"Selamat tinggal, Indonesia," bisiknya.
---
Alona tiba di McCarran International Airport hampir tengah malam, setelah berjam-jam terbang di udara akhirnya ia sampai di kota ini, kota yang mungkin aman untuk ditinggali wanita berstatus sama seperti dirinya, kota yang begitu terkenal dengan kehidupan malamnya, kota Las Vegas.
Ia bergegas menuju pihak imigrasi untuk mengurus keperluannya selama di negara asing ini, setelah itu Alona berencana segera meninggalkan bandara untuk secepatnya mencari hotel, dia butuh istirahat malam ini, rasanya ia terserang virus jet lag. Entah karena kepalanya yang terasa pusing atau memang efek jet lag yang mengerikan membuat Alona secara tidak sengaja menabrak seseorang hingga ponsel yang di genggam orang tersebut jatuh ke lantai.
Oh, no! Handphone mahal keluaran terbaru dari merk buah yang hanya separuh itu tergeletak tak berdaya tepat di sebelah kaki Alona. Baru beberapa menit menginjakkan kaki di kota ini, ia sudah ketiban sial, apakah ini pertanda buruk? Semoga saja tidak.
Segera Alona memungut benda pipih itu dengan gusar, di benaknyanya sudah terlintas berbagai macam kemungkinan buruk yang akan menimpanya. Bagaimana kalau pria di hadapannya ini tidak terima dan meminta ganti rugi, sedangkan dirinya sendiri harus berhemat.
"Ma … maaf," cicit wanita itu seraya menyerahkan ponsel pria itu yang tergores di beberapa bagian.
Pria itu menerima ponsel miliknya, lalu mengulurkan tangan. Alona merasa bingung, tapi akhirnya ia menerima uluran tangan itu. Sekian detik berjabat tangan membuat wanita itu akhirnya berinisiatif menyebutkan nama, mungkin pria ini ingin mengenal dirinya.
"Alona," ucapnya gugup.
Pria yang berdiri di hadapannya tersenyum miring, sedikit meremas tangan Alona sambil berucap, "Welcome to my world, Apple."
Apple? Maksudnya? Buah? Fix, pria ini sakit jiwa.