Apa Lo Bahagia?

2517 Words
Tidak dapat dipungkiri kalau Davira hancur sekali karena hasil pemeriksaan itu. Hatinya hancur membayangkan kalau dirinya akan mandul seumur hidup. Padahal sebelum menikah, ia sudah melakukannya dengan menggunakan alat. Ia diberitahu oleh beberapa teman dan mencoba namun hasilnya tidak mandul. Tidak seperti sekarang yang membuat jantungnya lemas. Yang lebih membuat Davira kecewa justru sikap suaminya. Karena sejak kejadian itu, Gavin bahkan tak menghiraukannya sedikit pun. Termasuk pagi ini sejak Davira bangun pagi. Sejujurnya, Davira hanya ingin agar lelaki itu menghiburnya. Karena ia lah yang merasa kalau ia yang paling terpuruk di sini bukan Gavin. Ia yang diperiksa dan ia yang mandul namun Gavin malah seperti ini. Tidak bergerak untuk membantu menyembuhkan suasana hatinya. Davira sampai tak mengerti. Gavin yang saat ini ia lihat tidak seperti dulu lagi atau kah memang ini lah sikap asli Gavin? Karena kata orang jika menikah maka semua sifat asli, jelek-jeleknya akan keluar. "Mas gak makan?" tanyanya. Setidaknya, meski ia hancur, Davira masih mau menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Ruitinitas pagi yang menjadi kebiasaannya sejak menjadi istri Gavin. "Kamu aja, aku harus berangkat," tuturnya dan terdengar agak dingin. Davira hanya diam. Tak mau membalas. Selama ini ia juga begitu. Pada siapapun ia bertengkar atau ada masalah, Davira akan selalu diam dan mengalah. Ia memang tidak suka bermasalah dengan orang-orang sekalipun mereka tampak menyebalkan. Suara mobil menderu meninggalkan rumah mereka. Davira menghela nafas. Nafsu makannya pun hilang. Alih-alih makan, ia memilih untuk berangkat ke kampus. Mahasiswa-mahasiswinya menungguinya. "Sendirian heh?" tegur seseorang. Tahu-tahu ada mobil yang memepet ke arahnya. Padahal Davira hendak berjalan ke depan komplek. Kebetulan tidak begitu jauh. Ia terbiasa naik kendaraan umum. Kadang naik taksi kalau sedang terburu-buru. Tapi kalau sedang santai begini, pasti naik busway. Davira tersenyum kecil. Pintu di sebelahnya langsung terbuka. Tampak yang mengendarai adalah seorang lelaki muda seumuran dengannya namun memilih untuk melajang. Dia, Eshal. Sahabatnya dari kuliah. Sekarang sama-sama mengajar di kampus yang sama. Dulu yang memberitahu kalau di kampus mereka ada lowongan juga Eshal. Karena cowok itu memulai karir dari asisten dosen. "Suami lo mana? Berangkat duluan atau ada urusan?" tanyanya begitu Davira masuk. Perempuan itu memasang sabuk pengaman sementara Eshal menginjak pedal gas. Mobil mulai melaju pelan. Rumah lelaki ini tak begitu jauh dengan rumahnya. Hanya berselang beberapa blok. Anak perantauan yang betah di ibukota. "Kedua-duanya," sahutnya dengan senyuman tipis. Eshal menggeleng-gelengkan kepala. "Gue kalo punya bini, tiap hari gue anterin dia ke tempat kerjanya. Pulangnya gue jemput lagi." Davira tertawa. "Udah memutuskan untuk punya bini?" Eshal menjentikkan jari. "Itu lah yang sulit. Cewek banyak tapi gak ada yang pas." "Gak ada yang pas atau lo yang pilih-pilih?" "Pilih-pilih itu wajar, Vir." Davira terkekeh. "Kalo cowok 28 tahun sih santai, Shal. Beda dengan cewek." "Capek ya ditanya-tanya mulu?" Davira tertawa. Ia juga baru menikah tahun lalu kan? Belum genap setahun malah. "Perkara capek ditanya atau malas menikah itu kan ranah pribadi. Seharusnya orang-orang gak perlu memusingkan hidup orang lain." "Tapi gak semua orang kayak lo." Eshal tersenyum kecil. Ia memperbaiki letak kacamata hitamnya yang agak turun. Sementara tangannya terlihat tangkas menyetir mobil menuju ke kampus. "Sekarang, cewek mana lagi yang pacari?" Eshal tergelak. Terlalu banyak perempuan di sekitarnya. Sejak awal mengenal Eshal dulu pun, Davira tahu kalau cowok yang satu ini sungguh playboy. Tak pernah menetap lama dengan perempuan. Kalau bosan pasti mencari yang lain. Entah apa pula yang dicarinya karena sampai sekarang pun tak ada satu pun yang menetap. "Terakhir yang gue ingat itu Gladys, Sonya, Aura, Aurel, Prilly, Shireen, Mika, Nia, terus entah siapa lagi." Eshal terbahak. Ia salut pada Davira karena mengingat-ingat nama itu. Kalau Eshal? Sama sekali tak ingat. Ia bahkan tak ingat urutannya. Kadang kalau sedang berjalan-jalan, ia sering tak sengaja bertemu mantannya. Ada yang akan memakinya atau bersikap sok manis. Biasanya yang bersikap sok manis ini sudah lama putus dengan Eshal tapi mungkin masih tertarik. Namun sayangnya, Eshal bahkan tak ingat kapan pacaran dengannya. Semua yang tahu cewek-cewek itu hanya Davira. Karena apa? Davira sering dilabrak mereka yang salah paham dengan hubungannya dengan Eshal. Setelah dilabrak biasanya mereka akan menghubungi Davira untuk bersikap lebih baik. Karena Eshal akan marah besar jika ada yang menganggu Davira. "Kalo dibikin antrian di teller bank, gue yakin dari Sudirman bisa sampe Tanah Abang itu!" Eshal terbahak lagi. Ia hanya menggaruk tengkuknya. Mana tahu kalau ada banyak perempuan yang pernah bersamanya. Hatinya memang tak pernah menetap. Ia selalu berpindah. Mungkin karena belum menemukan kenyamanan. Apalagi bagi Eshal, menikah itu tak mudah. Tak berbeda jauh dari Davira, latar belakang keluarga Eshal juga b****k. Bahkan mungkin lebih parah. Orangtuanya bercerai. Ibunya sudah dengan pria lain. Begitu pula dengan ayahnya. Ia tak punya saudara. Sejak lama pun hidup sendiri dimulai dari biaya kuliah yang kebetulan mendapat beasiswa. "Pernikahan itu tidak buruk, Shal." Eshal berdeham. Hanya Davira yang paling tahu bagaimana hidupnya selama ini. Ia hanya menemukan Davira sebagai orang ternyaman di dalam hidupnya. Meski tak pernah mengerti kenapa hanya Davira. Sahabatnya sendiri dan perempuan yang sudah menikah. Selain itu, ia juga punya trauma. Takut berakhir sendirian seperti apa yang terjadi padanya. Disaat susah pun, orangtuanya tak pernah menolongnya. Ia hanya sendirian menjalani hidupnya hingga saat ini. "Lo sendiri bahagia dengan pernikahan lo?" Davira terdiam. Tiba-tiba tak ada satu pun kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya. Ah ya, apakah ia benar-benar bahagia dengan pernikahannya? Seharusnya iya bukan? Tapi entah kenapa, ia bahkan terasa kelu mengakuinya. Apalagi dengan apa yang sedang terjadi saat ini. @@@ "Aku sibuk. Sorry gak bisa temenin kamu makan siang," itu jawaban Fajri. Arabella masih mencoba tersenyum untuk mendengar kenyataan itu. Oke tak masalah. Namun karena tak kehabisan akal, Arabella memutuskan untuk tetap ke kantor DPR. Urusan ada atau tidaknya Fajri di sana, terserah lah. Ia hanya ingin tahu keberadaan lelaki itu. Karena sesungguhnya ia tak tenang. Dulu disaat awal-awal menikah, suaminya bahkan rela mengendarai mobil dari gedung DPR ke lokasi syutingnya hanya agar bisa bertemu atau makan siang bersamanya. Namun sekarang bukan kah terasa jauh? Ya oke lah memang Arabella merasa bersalah dengan keadaan ini. Makanya ia ingin memperbaikinya. Namun lelaki itu bahkan tak berpikir untuk mau memperbaiki apa yang terjadi di antara mereka. Arabella turun dari taksi. Ia tadi sempat mampir sebentar ke sbeuah toko kue. Setidaknya membawa beberapa cemilan dapat menjadi alasan untuk bisa bertemu Fajri bukan? Ia menghampiri satpam di lobi yang sudah menyapanya dengan senyuman. Ya Arabella tak perlu memperkenalkan diri karena semua orang juga tahu siapa Arabella dan juga suaminya. "Tadi Pak Fajri keluar, Bu," tutur sang satpam. Andai Arabella menyadari kalau senyumannya terasa ganjil. Seperti gelisah akan sesuatu. "Iya gak apa-apa, saya tunggu di sini aja," tuturnya. Tapi sang satpam bersikeras membuatnya agar duduk di dalam saja. Karena berdiri di lobi akan terasa aneh. Ini sudah hampir jam satu siang, sudah banyak para wakil rakyat yang kembali ke kantor siang ini. Meski tak semuanya. Karena ada banyak pula yang memutuskan untuk pulang dan tidak kembali. Arabella masih duduk di sofa sembari menunggu. Beberapa anggota DPR perempuan yang juga artis dan teman-teman sosialita dan mengenal Arabella, langsung mendatangi Arabella. Mereka menyapa Arabella dengan hangat hingga Arabella larut dalam candaan kecil bersama mereka. Sementara itu, orang yang dicarinya malah baru keluar dar mobil bersama seorang perempuan. Perempuan yang sama dengan saat itu. Perempuan yang membuatnya menggila hingga lupa diri kalau statusnya bukan lagi lelaki perjaka. Tapi bubur tetap lah bubur. Tidak akan pernah bisa menjadi nasi lagi. "Malam ini gak ke tempatku aja, beyb? Istrimu pasti membosankan. Dia hanya kerja saja bukan?" Fajri berdeham. Memang benar. Ia merasa tak mendapatkan perhatian lagi semenjak karir istrinya semakin naik. Oke, ia harusnya senang bukan? Namun kenyataannya tak sama sekali. Apalagi kalau mendengar orang-orang berbicara tentang karirnya yang katanya besar karena nama istrinya. Soalnya, ia tidak bisa menampik namun enggan juga mengakui. "Kalo aku yang jadi istrimu, aku gak akan biarin kamu kesepian kayak gini," bisiknya mesra. Sudah tak malu lagi bermesraan di gedung ini. Toh sejak setengah tahun terakhir, sudah banyak yang tahu. Untuk apa pula disembunyikan kalau lelaki di sampingnya ini juga berniat menikahinya dan akan meninggalkan istri pertamanya? Ia tersenyum kecil. Mau perempuan itu secantik apapun nyatanya akan kalah padanya yang pandai melayaninya, menemaninya dan menghiburnya dikala kesepian. Itu lah celah perselingkuhan yang akhirnya menjadi dosa besar. Bukan hanya dosa zinah tapi juga dosa menzalimi istri dan anaknya. Tapi kalau orang yang sedang bahagia di atas dosa itu memang tak akan merasa jika perbuatannya salah. "Wadaaww!" Sang satpam tadi berseru. Ia sedang berjalan dari arah samping menuju lobi. Ia melihat Fajri dan kekasih gelapnya itu hendak masuk. Namun sialnya, Arabella dan beberapa perempuan tidak melihat. Padahal Fajri jelas-jelas lewat tak jauh dari mereka sambil bergandengan tangan dengan perempuan itu. Beberapa staf yang melihat pun ada yang ternganga hingga berbisik-bisik. Tentu kaget. Jelas-jelas ada istrinya kan? Tapi suaminya malah melintas dengan tepat di depan mata bersama selingkuhannya. "Ajaaiib! Mbak Bella gak ngelihat sih. Harusnya ngelihat!" seru salah satu staf lain. Orang-orang yang ada di dekatnya mengangguk-angguk. Namun kejadian itu tak berlangsung lama. Karena Arabella justru melihat saat Fajri membalik badan menghadap ke arahnya ketika masuk ke dalam lift. Perempuan itu langsung memanggil. Staf-staf tadi terperangah dan gugup. Fajri yang akhirnya menyadari kehadiran istrinya langsung melepas tangan perempuan yang sedari tadi bergelayut manja. Tentu saja kejadian itu disaksikan beberapa orang di dalam lift. Satu orang yang tampaknya membela Arabella langsung menekan tombol lift agar pintu lift terbuka. Fajri tak jadi lega. Padahal tadi seharusnya pintu lift itu tak terbuka dan ia tak perlu melihat istrinya di sini. Karena semua orang menangkap basahnya kecuali istrinya yang masih tersenyum senang, membawakannya kue. Baik sekali bukan? "Kamu ngapain di sini?" Malah itu sapaan yang ia dapat usai ditarik Fajri agak menjauh dari keramaian. Ia sempat melirik ke arah perempuan yang berada di dalam lift dan tampak kesal dengan kehadiran Arabella. Beberapa ibu yang menyelonong masuk ke dalam lift dengan sengaja menyenggol tubuhnya. Mereka senang kalau keadaannya seperti ini. Pelakor itu harusnya dipermalukan. Kenapa? Toh mereka melakukan itu juga dengan sangat sadar bahkan tak mempunyai rasa malu lagi. "Gak malu ya Mbaknya, ngambil suami orang?" Yang lain tertawa. Beberapa lelaki yang berdiri di belakangnya juga menahan tawa. Ia hanya bisa diam. Terjepit keadaan ini. Tak berkutik pula. Percuma membela diri. Ia juga sudah dijauhi banyak orang di sini. Bahkan teman-temannya juga melakukan hal yang sama. Hal yang ingin ia tanyakan adalah memngnya salah kalau jatuh cinta pada seorang lelaki? "Istrinya datang tuh. Kirain mau ngelabrak!" seru yang lain kemudian disambut heboh. Kalau Arabella berniat melakukan itu dijamin, banyak perempuan di sini yang akan membantunya. Karena mereka yang melihat saja tersakiti. Apalagi Arabella? "Aku cuma mampir sebentar, Mas. Terus nih buat Mas sama temen-temen, Mas," ujar istrinya. Ia tak ambil hati dengan kata-kata yang tadi terdengar kesal. Fajri mengusap wajahnya. Setelah hampir ketahuan dan membuatnya tiba-tiba emosi. Bukan kah yang seharusnya marah itu adalah Arabella? Lah ini? Kenapa ia yang marah? Arabella mengelus wajahnya. "Aku balik ya? Mas masuk aja. Aku tunggu di rumah," tutur perempuan itu dengan senyuman kecil lalu meninggalkan Fajri yang hanya menghela nafas. Ketika ia menoleh ke sekitar, semua orang menatapnya. Ada yang langsung memalingkan wajah, ada yang mengutuknya meski hanya di dalam hati. Ada yang balas menatapnya. Siapa? Pandu yang baru kembali dari toilet di lobi dan kini berhadapan dengannya. "Anterin bini lo," tutur lelaki itu kemudian menepuk bahu Fajri saat melewatinya. Fajri menghela nafas. Usai mengatur emosinya sendiri, ia berjalan menuju lobi dan melihat punggung Arabella. Sebetulnya Arabella sedih dan hampir menangis mengingat kejadian tadi. Tapi ia hanya diam. Menahan diri. Ia juga merasa bersalah karena membuat Fajri kesal padanya. "Naik apa kamu?" tanya lelaki itu pelan. Pertanyaan itu membuat Arabella menoleh. Wajahnya yang tadi berduka mendadak sejuk meski hanya sesaat. "Naik taksi," tuturnya singkat. Fajri mengangguk. Lelaki itu meminta tolong satpam untuk mencari taksi di depan. Ketika taksi itu muncul, Fajri membukakan pintu untuknya. Ia hanya berdeham melihat senyuman istrinya dan juga tutur kata terima kasih yang membuat benak Fajri semakin dalam merasa bersalah. @@@ "Bengong aja," tegur Eshal. Ia tadi berniat makan siang bersama dosen lain. Tapi melihat Davira bengong sendirian di bangku depan departemen membuatnya ingin menganggu. "Makan yuk! Gue laper nih. Biasa jomblo, gak ada yang nyiapin sarapan," candanya sembari menarik-narik lengan baju Davira. Tak lama, wajahnya malah ditabok ringan. Ia terkekeh. "Gue heran kenapa banyak cewek mau sama lo," keluhnya yang membuat Eshal tertawa. Keduanya berjalan bersama. Tapi satu-satunya dosen yang jarang dihormati mahasiswa karena keslengekannya ya cuma Eshal. "Lo liat nih," ia menunjuk wajahnya sendiri. Davira ingin muntah tapi ia ingat kalau ini adalah lingkungan kampus. Dulu banyak gosip yang beredar di kalangan dosen dan juga mahasiswa tentang hubungan keduanya. Banyak yang mengira kalau keduanya pacaran tapi saat Davira menyebar undangan, semua gosip itu terhapus. Davira menemukan kebahagiaan dengan caranya sendiri. "Wajah ini investasi. Itu alasan pertama. Kedua, nih," ia mengeluarkan kunci mobil. "Cewek-cewek suka ini," lanjutnya yang membuat Davira terkekeh. "Ketiga, itu semua hasil kerja keras sendiri," tuturnya bangga. Davira menggeleng-gelengkan kepala. Meski ia mengakuinya. "Gimana cewek gak klepek-klepek? Aah iya," ia teringat sesuatu. "Kecuali elo emang." Davira terpingkal. Rasanya tidak sehari pun Eshal tidak membuatnya tertawa. Meski dalam hal tersedih sekalipun. Dulu, ia dan Eshal biasa pelukan jika merasakan sesuatu yang sedih atau terlalu bahagia ketika mereka merayakannya berdua. Kalau sekarang? Tentu tidak seperti itu lagi. Apalagi semenjak Davira memutuskan untuk mengenakan kerudung saat menikah kemarin. Eshal menemukan kedewasaan yang berbeda pada diri Davira. Ia juga tampak lebih anggun dibandingkan sebelumnya. Lebih cantik dengan caranya sendiri. "Padahal si Gavin gak ada apa-apanya sama gue," ia berucap songong. Kalau tidak banyak mahasiswa di sekitar mereka, Davira pasti sudah menoyornya berkali-kali. Lelaki ini memang agak over percaya diri ketika membicarakan diri sendiri. Meski kenyataan itu benar. Maksudnya, Eshal diciptakan untuk sempurna dimata manusia. "Emang kalo udah cinta, batok kelapa juga kayak orang!" sungutnya yang membuat Davira kembali terpingkal. Keduanya baru saja memesan bakso, sembari menunggu masih sempat pula bercanda. "Lo gak ada rencana serius sama siapa gitu? Cewek lo siapa sekarang?" Rasa-rasanya ia sudah tak pernah lagi mendengar curhatan Eshal. Terakhir kapan ya? Davira menggaruk keningnya. Rasanya benar-benar sudah lama karena ia pun tenggelam dengan kesibukan baru sebagai ibu rumah tangga. "Semua orang pasti pengen berumah tangga, Vir." "Lo gak trauma kan?" "Kalau pesimis sih iya." Davira tersenyum kecil. "Biasanya Eshal yang gue kenal itu selalu percaya diri." "Pernikahan jelas berbeda dengan penampilan. Itu bukan sesuatu yang bisa gue banggakan." Ia menghela nafas. "Lo sendiri belum menjawab pertanyaan gue, Vir. Apa lo bahagia dengan status lo saat ini?" "Menurut lo bagaimana?" Eshal menatap serius kali ini. Baginya saat Davira mengatakan akan menikah pun, Eshal memastikan hal ini berkali-kali. Karena apa? Ia tak mau ada penyesalan dan tak mau Davira terluka dengan sebuah pernikahan. Karena memang ia mengakui kalau tak semua pernikahan itu akan berakhir bahagia. "Gue gak pernah bisa baca hati orang, Vir. Karena kebahagiaan itu terkait hati. Dan hati itu lo yang punya. Lo yang bisa menerka apakah lo bahagia atau tidak. Lo yang bisa merasakan apakah lo benar-benar merasa benar dengan pernikahan ini atau tidak," ujarnya dengan mata yang menembus ke dalam mata milik Davira. Ketika membicarakan hal ini, Davira tahu kalau Eshal hanya tak ingin ia menyesal atas apa yang telah terjadi sekaligus memastikan apakah ia baik-baik saja dengan pernikahan ini? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD