Prolog

3397 Words
Mahasiswa tingkat akhir yang tengah sibuk-sibuknya dengan karya ilmiah tugas akhir untuk kelulusannya dari universitas Malaysia. Menunggui perpustakaan dengan sebuah laptop penampung kata dan kalimat yang terangkat berdasarkan riset dan penelitiannya dalam bentuk bahasa ilmiah terduduk tepat di atas meja di depannya. Lalu bagaimana bisa dengan buku dan berkas tebal menumpuk di samping kiri dan kanannya? Benar-benar terlihat sibuk dan ruwet. Bukan pemandangan yang aneh untuk mereka para mahasiswa baik itu mahasiswa tingkat strata satu ataupun strata dua, semua menjadi hal biasa dan wajar karena mereka bersungguh-sungguh ingin segera menyelesaikan perkuliahan mereka. Tengah sibuk dengan dengan jari-jari lentik menarik di atas papan keyboard laptop serta tatapan mata sekali-sekali teralih untuk menatap dan menelisik kertas jurnal miliknya. Atensinya teralihkan karena sebuah getaran berasal dari tas yang tergeletak di atas meja, sengaja ia hanya memberikan mode getar agar tidak mengganggu ketenangan di dalam perpustakaan. Hal tersebut terasa dan cukup membuat ia tahu jika ada panggilan masuk ke dalam ponselnya. Aktifitas ia hentikan dan merogoh tas ransel miliknya. “Ya Hallo, assalamualaikum… haha waalaikumussalam… di perpustakaan, tengah mengetik sedikit lagi, sekitar jam dua siang nanti harus ketemu dosen pembimbing karena janji pagi tadi ternyata ada sedikit revisi. Dia cuma bisa hari ini, diberi waktu hari ini sebab beliau akan pergi ke Indonesia selama dua hari tapi seminggu waktu tidak akan dapat ketemu, beliau ke Singapore.” Dia menjelaskan pada si penelepon tentang apa yang dia kerjakan dan kenapa segitu sibuknya ia mengerjakannya. “Tentu tidak akan lupa –eum nah, sebentar lagi selesai baru keluar terus cafetaria, of course not roti… ya… I have gerd but not dying. Nah… okey… you win. Heum… makan nasi with sambal matah, dimana aku mencari itu di sini? Logic Nadia… kamu terlalu perhatian Nadia, Kakak dan Ibuku aja tidak seperhatian kamu.” Ia berbicara dengan nada cukup rendah kepada penelpon di seberang sana. “Ya… I will sadar diri, hmm… mengecewakan sekali. Kapan tuh? –urusan kerja sama? Hmm sudah terbaca, di otak kamu hanya ada dia dan bisnis.” “Tidak juga, ini sudah hampir selesai. Selalu sendirian, Barra tengah hectic, gak enak ganggu dia, apalagi dia juga persiapan untuk strata dua. Hmm ya tentu… calon suami idaman bahkan sudah bisa dikatakan pacar siaga. Kemarin demam kan, nah yang ngurusin aku ke rumah sakit itu Barra, demam biasa aja aku harus off name, melucu. Tidak tidak tidak, Barra selalu ada, beruntung dan merasa bersyukur banget sih, kalau gak ada Barra aku juga gak tahu gimana, siapa yang ngurusin aku, sekarat di apartment juga gak akan ada yang tahu, apalagi Ayah juga gak bakal bisa ke Malaysia, beliau sedang berlayar baliknya masih empat bulan lagi padahal udah enam bulan, nambah dua bulan lagi katanya jadi sisa satu bulan kemarin malah jadi tiga bulan lagi. Kalau Kak Aleta sama Ibu, jangan diharap aku kasih tahu aku sakit di sini aja belum tentu direspon. Hey hey hey jangan… kenapa sih, kamu juga sibuk tauk, ya ‘kan… hotel juga kamu gak bisa tinggal sekarang, perhatiin pembangunannya harus selalu dipantau jangan dibiarkan tukang bekerja sendiri, pemantauan keuangan dan manajemen hotel kamu juga perhatiin, aku cuma mengingatkan soalnya kamu bisa kelupaan, jangan ngebucin yang sudah jelas gak ada kejelasannya jatuhnya malah halu.” “Kamu ke sini kalau sempat boleh jenguk kalau engga jangan dipaksa ya….” “Please Nadia… I support you. Yas, karena itu aku gak mau kamu kecelongan lagi? Aku gak dekat kamu kayak dulu, jadi cuma bisa ngingatin lewat telepon begini.” “Thanks… you’re the best, jangan capek-capek juga buat mengingatkan aku, Nadia. Eum… sayang Nadia juga. Eum boleh aku tutup teleponnya dulu? nanggung, aku harus selesaikan sedikit lagi –ya sebentar eum lima belas menit? Maybe? –iya nanti kalau sudah menghadapi makan siang aku video call kamu. Aku heran kenapa kamu gak ambil kedokteran aja sih, perhatian banget sama kesehatan aku –ih aku gak ngejek, sorry Nadia… kamu gak seburuk itu dipelajaran, buktinya kamu sangat sukses lebih dulu dari pada aku yang masih berkecimpung dengan buku-buku riset, belum lagi harus bolak balik mahkamah persekutuan Malaysia, seru sih tapi pusing, aku gak yakin ada hasilnya setelah semua ini aku lalui,” tuturnya untuk semua keraguan dan kekacauan yang ada pada hidupnya. “Ya aku kacau, mereka stir aku, evaluasi mereka adalah kepuasan mereka tapi mereka gak pernah puas, gimana dong?” “Aku kebanyakan ngeluh sama kamu. Yeah, tunggu beberapa menit okey, makan siang bareng untuk kamu yang kedua kalinya hari ini, iya karena aku lihat kamu kurusan. Dah ya… bye Nadia, sebentar aja…. Hahaha siap ibu bos.” Setelah ia tertawa kecil karena protesan si penelepon yang tidak ingin ia dikatai kurus oleh sahabatnya, mereka mengakhiri panggilan sebab untuk beberapa menit berikutnya ia harus kembali fokus pada tugas akhirnya, selesai untuk hari itu maka barulah ia akan makan siang menghindari sahabat cerewetnya semakin cerewet bahkan marah padanya. Ia meletakkan ponselnya di atas meja. Sejenak menghirup udara dengan aroma buku khas perpustakaan, menenangkan untuk orang-orang yang memang sangat menyukai bau kayu dari kertas-kertas setiap buku yang ada di perpustakaan tersebut, bahkan ada beberapa orang yang mengatakan bahwa bau kayu pada kertas buku itu malah membuat kecanduan. Begitupun baginya, ia menyukainya hanya saja tidak sampai membuatnya kecanduan. Tapi untuk beberapa bulan terakhir sepertinya ia mulai kecanduan sebab ia memang harus menjadikannya candu agak ia tidak muak sendiri karena harus berfokus pada tugas akhir yang benar-benar intensif dan harus ia segera selesaikan. Satu motivasinya… Ia ingin segera lulus dan dapat menikah dengan pujaan hatinya, pria yang selama ini menemaninya, memberikan semangat, dan menjaganya di negeri orang untuk kuliah. Mereka tengah bersama-sama berjuang dan sama-sama membenahi diri agar masing-masing menjadi layak untuk bersama, untuk membangun rumah tangga yang indah. Dia. “Ketemu.” Ucap sebuah suara tepat di depan mejanya. Ia mengangkat wajah dan mendongak kemudian tersenyum kecut. “Kenapa ke sini?” tanyanya pada seseorang itu. “Kamu lupa makan siang ya?” tebak pria itu dengan tatapan menelisik tertuju pada wanita yang masih setia mendongakkan kepalanya. “Bukan lupa tapi menunda, lagi pula hanya beberapa menit Bar gak sampai seharian lagi kok,” ucap ia meluruskan. “Kalau aku gak datang ke sini, apa masih beberapa menit? Jeyana… ini hanya belum berubah menjadi berjam-jam, kamu baru saja keluar dari rumah sakit dan kamu masih konsumsi obat, apa obat yang sebelum makan sudah diminum?” tanya Barra pada sang Kekasih bernama Jeyana. Jeyana tersenyum meringis. “Ehehe, kalau yang itu eum…” Jeyana menghela napas. “Lupa, tapi sekarang sudah ingat selesai ini aku minum,” sambung Jya dengan cepat agar sang Kekasih tidak langsung protes memarahinya dan berceramah panjang lebar karena kebengalannya yang lupa meminum obat. “Gak heran sih, sudah sekarang minum obat dulu setelah itu baru lanjut,” perintah Barra pada Jya. “Nanti please..? aku gak bawa air ke sini,” balas Jya. Kemudian Barra mengeluarkan satu botol air mineral dari tas punggungnya, lalu membuka tutup botol yang masih bersegel penanda air tersebut masih baru. Selanjutnya ia menyodorkan pada sang Kekasih. “Gak ada alasan minum sekarang,” perintahnya. Jya menatapnya dengan memelas, akan tetapi tangannya tetap terulur untuk menyambut botol air mineral tersebut. Ia terharu tapi juga sedikit gemas pada kekasihnya itu. “Kamu tau sekarang kita sedang di perpustakaan.” Berusaha ia memberikan penjelasan pada Barra. Barra menarik kursi yang sedikit berjarak dari posisi Jya duduk, lalu ia menempatinya. “Kamu belum selesaikan? Tanggung kalau kita keluar sekarang yang ada kamu nanti gak fokus makan kalau sambil kerja, jadi mending sekarang gak ada yang lihat, kalau CCTV lihat gak masalah bakal ngerti kok operatornya karena kamu harus minum obat sekarang,” bujuk Barra. Peraturan di dalam perpustakaan, tidak boleh membawa makanan dan minum ke dalam perpustakaan. Peraturan tersebut tertulis lalu bagaimana bisa air mineral yang Barra bawa lolos masuk ke dalam perpustakaan, jawabannya karena setiap mahasiswa harusnya memiliki kesadaran diri untuk menaati peraturan bukan menunggu pihak perpustakaan yang bertindak untuk memeriksa tas setiap mahasiswa yang masuk ke dalam perpustakaan. Jya menghela napas. Percuma ia berdebat dengan Barra, ia bisa menang tapi ia tidak ingin bertengkar. Jya mengalah dan merogoh tas untuk mengambil dua tablet obat yang memang ia bawa kemana-mana, sebenarnya jumlahnya ada lima tapi yang harus ia konsumsi sebelum makan hanya ada dua lalu sisanya harus ia konsumsi saat setelah makan. Barra membantu Jya untuk membuka dua biji pil dari tablet untuk segera Jya konsumsi lalu memberikannya pada Jya. Jya menyambut dan cukup satu tegukan ia dapat menelan keduanya dengan bantuan air mineral yang dibawa oleh Barra. Sebenarnya ia bisa mengemut atau mengunyah pil tersebut karena seharusnya begitu aturan konsumsinya, akan tetapi ia tidak ingin memperpanjang masa makannya dan menampilkan air mineral di atas meja, maka pilihan terbaiknya dalam kondisi itu adalah mengkonsumsinya dengan cara langsung menelannya dalam satu tegukan. “Setelah ini mau kemana?” tanya Barra sambil memperhatikan kekasihnya itu yang kembali fokus pada layar desktop laptopnya. Jari Jya berhenti sejenak dengan wajah terangkat rata memandang ke depan dan mata yang bergerak terlihat seperti tengah berpikir. “Tadi rencananya mau makan siang?” jawab Jya dengan nada tanya sebab ia ragu terlihat dari kernyitan dahi sedikit berkerut. “Ya sudah ayo, aku bantu berberes.” Barra hendak menyentuh tas untuk memasukkan buku-buku yang memang milik kekasihnya itu. “Op.” Jya menghentikan pergerakan tangan Barra. “Em em.. tidak sekarang, aku masih mau ngetik, masih ada sedikit lagi, sedikit…,” cerah Jya sambil memberikan gesture dengan tangannya menunjukkan seberapa sedikit yang ia maksudkan. Barra menghela napas. “Ada lagikah yang lebih penting dari kesehatan kamu?” tanya Barra. “Kamu baru saja keluar rumah sakit, jangan dipaksakan lagi, tubuh kamu belum pulih benar,” nasihat Barra untuk Jya. “Sedikit lagi, janji setelah ini selesai kita ke cafetaria dan aku akan makan banyak kalau kamu yang order, hehe…” Jya menunjukkan tawa kecil dengan kedua matanya yang menyipit. “Syukur sayang, syukur sabar,” gumam Barra. “Terimakasih You,” ucap Jya yang tentu saja dikhususkan untuk Barra. “Sama-sama You,” balas Barra sedikit terpaksa. “Okey, You sabar kejap ee… saya siap lunch, after all this is finish, You,” ujar Jya dengan nada menggoda kekasihnya itu. “Mulai…, cocok sekali kamu untuk tinggal di sini lebih lama,” kata Barra untuk Jya. “Yakin?” “Yakin, karena abang ‘kan masih di sini dua tahun lagi,” ucap Barra kemudian menggoda Jya. “Hmh. Cukup dulu ya… di simpan dulu gombalannya, selesaikan dulu ketikanku,” sela Jya untuk mengakhiri gombalan Barra yang tidak henti-hentinya. “Aku tungguin,” putus Barra kemudian. “Harus,” balas Jya. “Bertahun-tahun kita sama-sama baru kali ini aku ngelihat muka serius kamu itu kelihatan lucu banget, Jya,” kata Barra. Jya mengangkat wajahnya dan menoleh sebentar. Dahinya berkerut kemudian bertanya, “lucu doang?” Barra mengangguk kecil. Jya mencebik kecil kemudian kembali fokus pada layar laptopnya. “Kenapa cemberut?” tanya Barra berpura-pura tidak mengerti apapun. Jya menghiraukannya. “Hmmh…” Barra menghela napas dan memperbaiki posisi duduknya. “Sejak kapan kamu peduli dengan penilaian orang lain tentang diri kamu?” tanya Barra kemudian. “Aku? Tidak,” balas Jya. “Tadi?” “Kamu beda,” ucap Jya. “Tidak,” kilah Barra tidak terima. “Hmm… yakin?” tanya Jya kali ini ia menghentikan jemarinya menari atas papan ketikan. “Orang pintar beda ya...? mau sambil ngobrol pun dia tetap bisa fokus ke ketikannya,” ucap Barra mengalihkan pembicaraan. Jya mendengus kesal lalu kembali menatap layar desktop laptop miliknya dan melanjutkan ketikannya yang tertunda. “Sayang…?” panggil Barra selang 10 menit Jya fokus pada ketikannya. “Sedikit lagi, sabar sebentar ya…,” ucap Jya tapi tidak mengalihkan tatapannya dari layar laptop. Barra tidak bersuara, cukup sekitar 6 menit berikutnya Barra kembali bersuara yang membuat Jya benar-benar menghentikan jemarinya untuk mengetik. “Kalau suatu hari nanti kita kenyataannya tidak berjodoh bagaimana?” tanya Barra. Jya menghentikan kegiatannya yang memang telah selesai ia buat. Jya menoleh perlahan. “Maksud kamu?” tanya Jya hati-hati. Barra memposisikan duduknya menatap Jya di sampingnya. “Begini. Jika suatu hari nanti kita, kamu dan aku kenyataannya tidak berjodoh bagaimana?” tanya Barra sekali lagi dengan kalimat yang sedikit lebih panjang. Jya tidak menjawab langsung. Ia menjeda, tertegun dengan pertanyaan tiba-tiba dari Barra yang cukup mengejutkannya. “Kenapa tiba-tiba kamu nanya begitu?” tanya Jya khawatir. Barra tersenyum kecil. “Masa depan siapa yang tahu, tidak ada yang tahu, bukan? Baik itu kamu ataupun aku sekalipun, diantara kita bahkan orang lain, tidak ada yang tahu dengan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. –bisa saja aku akan bersama orang lain nantinya,” jelas Barra pada Jya. Jya menatap Barra lekat. “Kamu menemukannya?” tanya Jya hati-hati dan was-was. Tidak bisa dipungkiri, perasaannya was-was dan cemas. Ia memiliki pikirannya sendiri mendengar ucapan sang Kekasih tadi. Ada kekhawatiran yang tidak jelas kenyataannya, tapi patut ia perkirakan karena ia tidak ingin terlampau sakit dikemudian waktu. “Menemukan apa?” tanya Barra. “Seseorang yang menggantikan aku dihari-hari kamu berikutnya,” jawab Jya. “Apa maksud kamu?” “Jika iya. Aku tidak masalah Barra, mungkin benar kata kamu, kita tidak berjodoh dikemudian hari. Maka bahagiakan dia dan jaga dia sebagaimana kamu menjaga aku dan membahagiakan aku, lalu aku mungkin –akan mencari kebahagiaanku sendiri,” tutur Jya. “Hei hei hei… kenapa kamu berbicara seperti itu…? aku tidak bisa aku menemukan seseorang selain kamu. Aku tidak berpikir itu akan terjadi, aku hanya mengira-ngira mungkin saja aku meninggal lebih dulu, kamu kenapa berpikir aku dengan yang lain. Hayo… kamu pikir aku berselingkuh begitu?” protes Barra tidak terima dengan ucapan pasrah dari Jya. Jya mencebik yang terlihat lucu karena ia kesal baru saja dibuat khawatir oleh Barra. “Siapa yang tahu juga ‘kan? Kamu ketemu sama perempuan lain yang bikin kamu jatuh cinta padahal hubungan kita belum selesai. Lalu jadi apa namanya? Kalau bukan selingkuh,” tuding Jya. “Tapi ‘kan tidak begitu kejadiannya Jeyana….” Jya menggedikkan bahunya. “Jangan badmood dong… iya iya iya aku minta maaf tadi bicara yang tidak tidak ke kamu, kita akan selalu sama-sama. Aku janji selesai S2 kita menikah-” “Kalau selesai wisuda sekarang gimana?” tanya Jya menyesal ucapan Barra. “Gimana maksudnya?” Barra malah balik bertanya kepada Jya. “Menikah. Kita menikah segera,” jelas Jya. “Kamu bisa jauh dari aku?” tanya Barra. “Coba pertanyaannya dibalik,” kata Jya bukannya menjawab. “Aku bisa jauh dari kamu?” ucap Barra bernada tanya. “Nah… itu dia, kamu bisa jauh dari aku?” seru Jya membeo. “Bisa, demi masa depan kita yang cerah, kita harus merelakan sesuatu yang tidak ingin kita relakan, kita harus mengorbankan sesuatu yang kita sayangi termasuk waktu bersama kita. Perjuangan pasti ada pengorbanan,” jawab Barra dengan penjelasannya. “Kalau aku tidak bisa bagiamana?” tanya Jya. “Kamu harus bisa.” “Kalau begitu, kita menikah setelah wisuda,” paksa Jya. Barra terdiam beberapa saat, tidak tahu akan menjawab apa pernyataannya dari kekasihnya itu, terdengar memaksa tapi ia tidak terpaksa jika menurut kata hatinya untuk menurut. Ia juga ingin segera menikah dengan kekasihnya yang sudah menemaninya dan menjaganya selama ia berada di negeri orang. Barra tersenyum sendu. “Aku tahu, tetap sama. Aku akan berjuang lagi, menunggu dengan sabar atau kali ini kamu yang harus menunggu aku dengan sabar,” ucap Barra. “Aku akan coba lagi Barra. Aku akan coba,” balas Jya. Barra menampilkan senyum tulusnya pada Jya. Kekasih yang selama beberapa tahun belakangan ini ia jaga. Hubungan mereka spesial, tapi ia menjaga kekasihnya dan tidak pernah sekalipun berniat untuk merusaknya. Mereka saling membutuhkan untuk saling menyemangati dan menguatkan. Bisa menjadi teman untuk belajar, mengobrol, bercerita, bertukar pikiran, bahkan saling membantu untuk menyelesaikan tugas. Mereka lengkap jika bersama, dan mereka kurang jika terpisah. Pertengkaran pun mereka lalui, entah itu dari Jya atau dari Barra, diantara mereka akan selalu ada yang lebih dulu untuk mengucapkan maaf. Dari siapa yang lebih dulu menyadari kesalahan masing-masing dari introspeksi diri. Saling menyesal adalah kunci dari damai dan harmonisnya hubungan keduanya. “Ayo,” ajak Jya sudah menyandang tas ranselnya dan bersiap untuk menenteng tas berisi buku-buku yang memang ia bawa sendiri, lalu ditangannya terdapat beberapa buku miliki perpustakaan yang hendak ia kembalikan. “Bar? Bisa bantu aku tidak?” tegur Jya pada Barra yang rupanya tanpa sadar ia melamun sambil menoleh menatapi Jya. “Hello… Barra kamu masih di sini?” panggil Jya sekali lagi. “Bar!” panggil Jya sedikit lebih keras disertai dengan tepukan pelan pada bahu Barra. “Oit duh aku melamun, tidak sengaja tidak sengaja sudah selesai Sayang?” sahut Barra tersentak. Jya tidak berbicara tapi memberikan isyarat dengan gerakan menunjukkan pada buku yang masih berada di atas meja menunggu untuk diangkat dan dikembalikan pada tempatnya. “Oh… udah, ayo. Bisa kamu bawa itu semua?” tanya Barra seraya mengangkat lima buku tebal di atas meja dan mengikuti langkah Jya masuk ke sela-sela rak lebih dalam menjauhi meja tempat Jya belajar sebelumnya. “Bisa kok,” sahut Jya. “Kamu bisa bantu kembalikan bukunya ke sesuai dengan rak nya ‘kan?” tanya Jya. “Bisa, aman.” Setelah itu mereka terpisah karena Barra pergi menuju rak yang berbeda tempat nomor seri buku tersebut berada tiga rak dari rak tempat Jya mengembalikan buku pinjamannya. Setelah sekitar beberapa menit mereka terpisah Barra kembali menemui Jya yang sudah menunggunya. “Siniin.” Barra mengambil alih tas ransel Jya untuk ia bawa. “Apa gak runtuh bahu kamu kalau begini setiap hari?” tanya Barra setelah merasakan bagaimana beratnya tas ransel kekasihnya. “Ya… mau gimana lagi, kamu sendiri juga ngamanin ini ‘kan?” balas Jya. “Aku tidak begini sebelumnya, ada caranya supaya tidak membawa beban banyak setiap pergi ke kampus atau ke perpustakaan.” “Jangan sombong, kita berbeda.” “Iya sayang, kita berbeda.” Sepasang kekasih itu berjalan beriringan menuju pintu keluar. Tepat saat satu langkah di luar pintu perpustakaan. “Hai Barra!” sapa seorang wanita berpakaian kurung khas mahasiswa di kampus tersebut. “Oh hai Sala, awak nak masuk?” balas sapa dari Barra. “Ya… awak?” Sala menatap Barra dengan tanya. Barra tersenyum menjawab, “finish, kami nak gerak ke kedai. Awak dah lunch ke?” Sala tersenyum kecut. “Belum lagi, hectic sangat ni tak sempat lunch,” jawab Sala. “Nak join?” tawar Barra pada Sala. Kemudian Barra menoleh ke arah Jya. “Sayang kita ajak Sala lunch, boleh?” tanyanya pada Jya. Jya tidak mungkin menolak permintaan Barra dalam kondisi mereka saat ini. “Eee tak tak tak, tak payah… saya harus siapkan keje dulu, tengah busy nanti saya lunch sejap, tak payah nak ajak, awak pegi lunch lah dengan…” “Jeyana, kita belum berkenalan,” ucap Jya seraya tersenyum mengulurkan tangan bermaksud berjabat tangan dengan Sala, teman kekasihnya. “Aaa… Jeyana, saya Sala friend your boyfriend hahaha… awak tengah skripsi juga ke?” tanya Sala setelah menyambut jabatan tangan dari Jya sebelumnya. “Hmm ya… comon join lunch?” tawar Jya pada akhirnya. “Eum… tak payah, thank you so much guys, sorry maybe anytime saya join dengan korang but not now,” tolak Sala sekali lagi. “You oke tak lunch dulu?” tanya Barra. “Please guys… saya tak kan mati cuma karena tak lunch sekali,” balas Sala. “Eum, saya ambil diri masuk dalam dulu ee?” “Oh oke, silahkan.” “Bye guys, see ya.” Sala berpamitan sambil melangkah masuk ke dalam perpustakaan meninggalkan Barra dan Jya yang menatapi punggung sempit itu menghilang dari balik dau pintu besar perpustakaan. “Cantik?” ucap Jya dengan nada tanya. “Lebih cantik girlfriend saya,” jawab Barra. “Habis itu kenapa masih natapin pintunya?” sindir Jya. “Aduh calon istri saya cemburu…. Iya, cemburu ‘kan?” goda Barra. “Siapa?” tanya Jya berpura-pura tidak perduli dengan nada ketus. “Hmm… siapa yang merasa sajalah,” balas Barra. “Jahat,” sindir Jya. “Siapa?” Barra balas bertanya. “Boleh tidak saya cari calon suami baru saja?” gumam Jya. “Oh tidak bisa, anda sudah menjadi calon istri dari Barra Pratama. Ayo kita menikah,” ucap Barra dengan ajakan menikahnya. Terdengar main-main tapi Jya ambil hati dengan ucapan itu. Apakah benar terjadi mereka akan menikah dan menjadi sepasang suami istri yang saling melengkapi? Nyatanya ada hambatan terbesar pada hubungan yang terlihat baik-baik saja itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD