19. Sisi Lain Manusia

1029 Words
"Mustahil." Isla menatap ke luar jendela dengan pandangan yang tak percaya. "Isla!" Teresa menatap Isla yang secara tiba-tiba keluar dari kelas. "Isla!" panggilnya sekali lagi, namun Isla sama sekali tak menggubrisnya dan gadis itu dengan cepat menghilang dari pandangan Teresa. Satu per satu anak tangga Isla turuni dengan langkah terburu-buru dan sepanjang jalan murid-murid sudah mulai memenuhi koridor, membuat Isla menelan ludah. Kejadian di luar tentu saja bukan fenomena alam biasa, ia tahu betul, pasti ada dalang di balik semua ini. Kedua kaki Isla menyentuh permukaan rumput yang kini sudah mulai memutih secara perlahan, dengan pandangan yang menatap ke sekitar, berharap ia akan segera menemukan seseorang namun hasilnya nihil. Selang beberapa detik kemudian sebuah batangan es yang menyerupai stalaktit, persis yang ia temui di Trollehallar melewati wajahnya sebelum akhirnya menancap di atas permukaan tanah tepat di sebelah sepatunya. Kepala Isla menengadah, lalu ia dengan jelas bisa melihat seseorang berdiri di atas atap sekolahnya seraya menatap ke arahnya dengan salah satu sudut bibir yang terangkat. "Sial." Isla merutuk pelan, sebelum akhirnya gadis itu mau tidak mau menggerakkan lagi kedua kakinya untuk menaiki satu per satu anak tangga yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. Gadis itu membuka pintu yang mengarah langsung ke atap, dan benar-benar menemukan seseorang di sana. "Bagaimana caranya kau bisa sampai ke sini?" tanya Isla dengan napas terengah. Ia menatap pria di depannya dan samar-samar tanda berupa es kristal itu menyala, menandakan kalau sesuatu yang berbahaya akan segera datang. Slash! Telat satu detik saja, mungkin Isla akan kehilangan salah satu telinga miliknya namun Isla dengan cepat bisa bergerak menghindar, bahkan gadis itu sampai kehilangan keseimbangannya dan jatuh. "Refleksmu sudah meningkat ya, sekarang," ujar pria itu seraya tertawa pelan. Batangan es itu kembali ke telapak tangannya seakan-akan kalau itu terbuat dari magnet dan bisa menempel dengan begitu mudah. "Apa yang kau inginkan?" Isla kembali berdiri dan menatap pria yang berdiri di depannya. "Kau masih bertanya apa yang aku inginkan?" Salah satu sudut bibir milik Aric—pengguna kristal es itu pun naik, membentuk seulas seringaian tipis. "Tentu saja—Rhys," lanjutnya. Isla seketika bungkam dan gadis itu mengepalkan kedua tangannya. "Bahkan tidak dalam mimpimu!" Dengan gerakan cepat, Isla meraih sebuah balok kayu kecil di dekatnya dan ia langsung bergerak memukul Aric bahkan menendangnya hingga tubuh pria itu terdorong ke belakang. "Gadis kurang ajar!" Tiba-tiba pintu atap itu menutup dengan sendirinya dan membeku, membuat Isla tak bisa ke mana-mana. "Ingat, kau hanyalah manusia lemah yang membosankan! Aku pasti akan langsung membunuhmu, menusuk lehermu itu dengan es milikku hingga kau kehabisan darah di sini tapi Kai berkata kalau dia masih ingin berada di bumi dan bermain-main dengan tempat tinggal manusia ini," ujar Aric seraya berjongkok, menyesuaikan tubuhnya dengan Isla yang sudah merosot ke bawah. "Tapi aku tidak akan pernah memberikan Rhys padamu!" ujar Isla lantang. Aric menyeringai. Lalu bersamaan dengan itu, seseorang muncul secara tiba-tiba hanya dalam satu kedipan mata saja. Tubuh Isla terkesiap. Ia melihat sosok pria yang sama seperti yang ada di perpustakaan. Pria itu menatap Isla intens tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. "Kenapa kau membuat cuaca di sini menjadi terlalu dingin?" Tao, yang merupakan si pengendali waktu itu menatap Aric dengan tatapan tajam, hingga Isla menyadari kalau salju yang turun di sana semakin deras. "Ah, maaf. Tolong salahkan gadis ini, karena dia terlalu keras kepala!" tukas Aric. Kedua mata Tao lalu beralih pada Isla, "Kau tahu, Aric. Mungkin ucapan Denzel benar, kalau tidak semua manusia itu lemah. Kita tidak tahu sisi lain yang dimiliki oleh manusia, kan, jadi kita harus berhati-hati. Buktinya saja dia tadi bisa melakukan serangan yang mendadak padamu," ujarnya. "Ingat, Nona. Jika kau ingin semuanya berubah menjadi masalah yang begitu rumit, maka serahkan Rhys sesegera mungkin dan kami akan segera menyelesaikan semuanya dengan cara yang baik," lanjut Tao dengan intonasi yang begitu tenang. "Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku akan percaya dengan begitu mudah saat ditawari hal seperti itu? Aku tau, apa yang kalian rencanakan. Entah aku menyerahkan Rhys atau tidak, secara baik-baik atau tidak, kalian akan tetap membuat bumi ini berantakan dan bahkan kalian mungkin akan menghancurkannya. Aku tidak sebodoh yang kalian pikir," ujar Isla seraya menatap Aric dan Tao bergantian dengan tatapan yang tajam. "Kau dengar, Tao? Kau dengar barusan apa yang dia katakan? Sudah kubilang, kalau gadis ini sangat keras kepala dan menyebalkan! Kenapa kita tidak langsung menghabisinya saja?" Aric sudah bersiap dengan batangan es yang kembali muncul di telapak tangannya. Isla sempat menunduk, dan gadis itu menatap tangan milik Tao secara diam-diam, memperhatikan sesuatu bergambar hourglass di sana yang perlahan mulai bersinar. Tiba-tiba ia mendengar suara jentikan jari, dan di detik berikutnya Isla menatap ke sekitar, menatap butiran salju yang berhenti bergerak di udara, layaknya di sebuah film yang pernah ia tonton, seolah ada tombol jeda di sana. Merasa tak yakin dengan penglihatannya, Isla lalu menatap ke arah lain dan ia dibuat semakin tak percaya, saat melihat seekor burung yang berhenti terbang di atas sana. "Ti-tidak mungkin," lirih Isla. "Aku tidak main-main, Nona." Tao berlutut, menyesuaikan tingginya dengan Isla. "Aku akui kau memang pintar, tapi mencoba tak ada salahnya, kan? Jika kau baik-baik, maka kami juga akan membalasmu dengan cara yang baik juga. Jangan kau pikir kalau kami tak tahu tempat tinggalmu. Rhys itu masih satu bangsa dengan kami, dan dia bisa dengan mudah ditemukan. Jadi, menyerahlah sebelum kami menghancurkan semua yang ada di rumahmu," ujarnya pelan namun terdengar penuh penekanan. "Kau beruntung karena Tao tidak mematahkaj tulang lehermu," ujar Aric dengan kedua tangan yang sudah dilipat di depan d**a. "Jangan pernah lakukan apapun pada rumahku dan jangan pernah kalian berani melukai ibuku sedikit pun!!" ujar Isla lantang. Salah satu tangannya terangkat dan ia dengan cepat melayangkan sebuah pukulan tepat mengarah ke wajah Tao namun di detik berikutnya tubuhnya sudah berada di perbatasan atap dengan tangan yang sudah mencekik lehernya, membuat Isla kesulitan bernapas. "Gerakannya cepat sekali," batin Isla. Ia masih berusaha melepaskan tangan milik Tao yang mencengkeram lehernya dengan begitu kuat, namun tenaganya tidak sebanding dengan lelaki itu, membuat semua energi yang ia keluarkan terasa sia-sia. "Sudah kubilang kalau kau melakukannya dengan baik-baik, aku juga akan melakukan hal yang sama," tegas Tao seraya memperkuat cengkeraman tangannya. Ia mengempaskan tubuh Isla dengan kuat hingga tubuh gadis itu tersungkur. —TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD